Kaskus

Story

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ghofiruddinAvatar border
TS
ghofiruddin
Pulang Kampung; Selamat Datang di Rumah Sakit Jiwa (Part IV)
Pulang Kampung; Selamat Datang di Rumah Sakit Jiwa (Part IV)
“Kenapa kok terkejut gitu, love?” tanya Rizbach.

Sampeanini benar-benar kurang ajar,” ejek Wulan, nada suaranya antara marah, sedih, namun ada setitik kegembiraan di sana. “Baru saja sampean membuatku nangis, terus sekarang, membuatku terkejut, bingung. Aku malu mas, menemui orang tua sampean dengan pakaian seperti ini.”

“Tenanglah, tenanglah,” hibur Rizbach. “Aku temani. Toga sialan ini biar aku copot, ganti pakaianku biasanya. Ayo wis, sudah ditunggu.”

Rizbach menanggalkan toganya itu dan seketika langsung tampaklah penampilan asli dirinya; kaos oblong, celana jins robek di lutut yang sedari tadi menjadi pakaian pelapis. Toga itu, dia tinggalkan di taman begitu saja.

Rizbach berdiri, menggapai tangan Wulan yang juga ikut berdiri kemudian mereka berjalan beriringan. Keluar dari taman, pasangan ini langsung mendapatkan tikaman-tikaman dari mata-mata yang belum mengenal, yang hanya mampu menilai dari penampilan, dari apa-apa yang bisa dilihat. Namun, mereka berdua sudah tidak peduli. Mereka sudah terlalu biasa dengan itu. Mata itu menyiratkan, seorang perempuan secantik Wulan, yang putih dan mulus kulitnya, bak kulit putri penghuni istana yang selalu terawat, tidak pantas berpasangan, berjalan berdampingan dengan seorang lelaki berpenampilan gembel.

Mereka berdua sudah berada di tempat parkir yang dimaksud; gedung enam lantai yang terbuka tanpa ada kaca-kaca pembatas. Banyak mobil dengan beragam merk luar negeri ada di sana. Rizbach tidak mendapati orang tuanya di lantai satu. Begitu juga di lantai dua. Ketika berjalan mencari orang tuanya itu, telepon genggamnya kembali berdering. Ada sebuah pesan singkat masuk. Dia membuka, lalu membacanya.

Dari: Bapak

Kok lama? Ini bapak di lantai 4 sisi utara, agak tengah-tengah

Rizbach tidak membalas pesan singkat itu. Dia dan juga Wulan hanya segera bergegas menuju lantai empat melalui tangga-tangga yang ditempatkan di setiap pojok lantai gedung parkiran itu. Mereka berdua telah berada di lantai tiga dan sudah mulai menginjakkan kaki di anak tangga menuju ke lantai empat. Namun, Wulan tiba-tiba berhenti, memegang pergelangan tangan kanan Rizbach yang karena itu juga ikut berhenti. 

“Kenapa lagi?” tanya Rizbach sembari tersenyum. Namun, senyum itu tidak menenangkan Wulan. Wajah itu menampakkan kekhawatiran yang sangat.

“Aku takut, mas.”

Rizbach belum menghilangkan senyumnya itu. Dia masih diam. Dan dalam keadaan tanpa kata itu, dia mendekati Wulan yang berada dua anak tangga di belakangnya. Seketika kehangatan memancar dari sebuah titik di kening Wulan dan merambat ke sekujur tubuhnya. Wulan terkejut namun menikmati kehangatan itu. Matanya  terpejam.

“Maaf love, aku mencium keningmu,” kata Rizbach kemudian, berbisik lirih ke telinga Wulan. “Aku harap ini bisa menenangkanmu.”

Wulan memeluk tubuh Rizbach. Dia benamkan kepalanya di dada lelaki yang baginya merupakan lelaki paling jujur yang pernah dia temui. Dia merasa tenang tapi menangis, menangis tanpa suara. Air matanya mengalir begitu saja dan membasahi kaos oblong hitam yang telah dipakai Rizbach selama hampir seminggu ini.

Rizbach menepuk bahu Wulan yang terasa begitu ringkih di tangannya. Dia dorong dengan begitu lembut tubuh Wulan yang wanginya telah sedikit tercampur dengan bau asam kecut dari tubuh Rizbach. Dia pandang wajah yang menangis itu. Dia menghela napas dalam.

“No woman, no cry,” kata Rizbach. “Don’t worry, uye?

Mereka melanjutkan meniti sisa-sisa anak tangga menuju lantai empat. Di lantai empat, mereka tidak butuh waktu lama untuk menemukan orang tua Rizbach. Seorang bapak berkacamata yang rambut serta bulu-bulu di wajahnya telah didominasi oleh uban sedang berdiri di belakang sebuah sedan putih yang bodinya tampak mengkilat. Bapak itu memakai pakaian yang sangat rapi: kemeja batik tenunan dan celana panjang warna hitam dari bahan katun yang lembut. Dia sedang berbicara dengan seorang perempuan yang tinggi badannya tidak sampai menyentuh pundaknya. Wajah perempuan itu tampak bulat di antara balutan jilbab merah di kepalanya. Ibu itu juga memakai kemeja batik dengan motif yang sama dengan yang dipakai si bapak. Rok panjang warna hitam dari katun yang dia pakai menandakan bahwa bapak dan ibu itu telah menyiapkan diri untuk tampil kompak di acara wisuda ini.

Ya Allah,” kata ibu itu saat Rizbach dan Wulan telah berada di hadapan. “Lihat pak, cah bagusyang satu ini. Kok malih ngono iku, kenapa? MasyaAllah, rambut gondrong, setengah gimbal malahan, wajah brewok, kenapa kamu ini?”

“Ini style ala wong mbambung, Mama,” jawab Rizbach bercanda. “Yang begini ini lagi ngetrend di kalangan orang-orang yang lebih suka berjalan di pinggiran.”

Perempuan tua itu geleng-geleng dan mengaduk-aduk rambut Rizbach yang kumal. Sementara itu, si bapak hanya tersenyum, senang melihat anak dan ibu tiri itu sangat akrab. Wulan yang berdiri di belakang Rizbach juga ikut tersenyum, hanya saja dia begitu kaku untuk menyikapi keadaan yang kini sedang terjadi. Dia sangat tegang.

“Lihat pak,” kata ibu itu memperlihatkan telapak tangannya yang berminyak. “Ketombe, minyak jadi satu. Jarang shamponan ya kamu?”

“Ya seperti itulah, Mama,” jawab Rizbach dengan santai. “Sudahlah, ndakusah dibahas penampilan saya ini. Suatu saat pasti akan sembuh-sembuh sendiri.”

“O tidak bisa,” bantah ibu itu dengan menirukan gaya suara seorang komedian.

“Kamu kalau dibiarkan terus begini nanti malah bisa tambah menjadi. Sekarang masih di dunia mahasiswa tidak masalah. Tapi, nanti ketika terjun di tengah-tengah masyarakat, yang begini ini akan membuatmu susah bergaul.”

“Sudah,” lerai si bapak. “O ya, kamu kenapa tidak jadi ikut wisuda?”

“Ho-oh,” cerocos si ibu. “Apa tidak lihat, bapak-ibu sudah tampil maksimal seperti ini, kompak menghadiri wisuda anaknya yang kuliah selama enam tahun. Malah tidak jadi?”

“Nanti saja bapak, ibu,” kata Rizbach. “Akan saya jelaskan. Sekarang, kita cari sebuah tempat yang nyaman di kota ini. Tempat makan sekaligus tempat nongkrong. Saya yang akan traktir.”

“Banyak uang sekarang ya kamu,” puji si ibu. “Tidak percuma kalau begitu kuliah dibuat lama, tapi sudah bisa mencari uang sendiri.”

Si bapak tidak berkomentar apapun. Dia hanya menyerahkan kunci sedan putih itu kepada Rizbach yang menerimanya dengan senang hati. Sudah sangat lama, dia tidak mengemudikan sedan itu. Terakhir, dia mengemudikan sedan itu adalah saat liburan lebaran dua tahun yang lalu. Liburan lebaran tahun lalu, dia tidak berkesempatan untuk mengemudikannya karena sedan itu sedang berada di bengkel. Memang sudah sangat lama, tetapi kepercayaan dirinya mengendarai sedan itu tidak berkurang sedikit pun.

“O ya le,” kata si bapak. “Yang mau kamu kenalkan itu bocah ayu ini ya?”

“Iya pak,” kata Rizbach singkat dan memberi isyarat pandang kepada Wulan untuk sedikit maju.

Wulan sedikit maju, berdiri sejajar dengan Rizbach. Dia kemudian meraih tangan si bapak, menunduk dengan penuh hormat dan mencium punggung tangan si bapak. Hal yang sama kemudian dia lakukan kepada sang ibu yang membalas dengan sedikit belaian di rambut hitam halus yang sedikit memancarkan kilau pantulan sinar langit itu.

“Ini lho Riz, kamu lihat,” kata si ibu. “Kalau sama orang tua itu salim, cium tangan dulu. Jangan baru muncul langsung ngomong sesuka hati”

InggihMama,” balas Rizbach disertai dengan senyum. Rizbach kemudian menjabat tangan bapak dan ibu tirinya itu disertai dengan ciuman di punggung tangan.

“Siapa cah ayunamamu?” tanya si bapak kemudian.

“Saya Wulan, pak-bu.”

“Oke dilanjutkan nanti saja kenalannya,” potong Rizbach.

Mereka berempat kemudian masuk ke dalam sedan putih itu. Rizbach berada di kursi kemudi. Di sampingnya, bapaknya langsung memutar musik Rock melankolis Indonesia era 90’an dengan tidak terlalu keras. Sedangkan di belakang, Ibu asyik berbincang-bincang dengan Wulan. Ibu banyak bertanya tentang diri Wulan, bercerita tentang banyak hal, dan Wulan hanya menjawab seadanya meski terkadang sedikit diimbuhi dengan pencitraan atau suatu penanaman kesan. Selebihnya, dia lebih banyak mendengarkan, mengedarkan senyum sembari mendengarkan pengalaman-pengalaman masa lalu si ibu.

Mesin sedan itu telah menyala. Seorang petugas parkir yang sedari tadi duduk di pos, menghampiri sedan itu dan memberikan aba-aba dengan peluit disertai dengan gerakan-gerakan tangan untuk mengarahkan sedan ke jalur laju. Rizbach mengikuti arahan itu dengan memperhatikan kaca spion, juga melalui kaca dalam. Tidak butuh waktu lama, sedan itu sudah berada di jalur laju. Rizbach membuka kaca jendela dan menyodorkan dua ribu rupiah kepada petugas parkir itu.

“Lho, sampean cak?” kata petugas parkir itu berlogat Madura.

“Iya cak,” balas Rizbach sopan. “Monggo.”

“O silahkan.”

Rizbach menutup jendela dan mulai menginjak pedal gas. Sedan putih itu pun terus melaju, perlahan-lahan keluar dari gedung parkiran itu, memasuki jalan dalam kampus, terus meluncur hingga memasuki jalan raya. Udara kota ini telah menjadi semakin panas dan pengap, tidak seperti ketika pertama kali Rizbach datang ke sini enam tahun yang lalu. Gedung-gedung, bangunan-bangunan terus dibangun, kendaraan-kendaraan bermotor dengan asapnya yang mencemari lingkungan juga semakin tahun semakin bertambah, menyebabkan macet parah yang memuakkan. Sedangkan lahan terbuka hijau semakin tahun senantiasa semakin turun.

Wah le,” kata si ibu saat sedan sudah memasuki jalan raya dan langsung terjebak di dalam kemacetan. “Kamu lumayan populer ya di kampus.”

Rizbach menyanyikan penggalan lirik sebuah lagu, “Hidup sederhana, nggak punya apa-apa, tapi banyak cinta. Hidup bermewah-mewahan, punya segalanya, tapi sengsara, yeah…

…Seperti para koruptor,” lanjut Rizbach berpadu dengan suara bapak dan ibu tirinya itu.

Wulan tersenyum menikmati kehangatan ini. Matanya beradu pandang dengan mata Rizbach melalui medium kaca yang terpasang di tengah-tengah ruang kemudi itu. Dan Rizbach pun ikut tersenyum menikmati senyum itu.



bersambung...
bukhorigan
pulaukapok
pulaukapok dan bukhorigan memberi reputasi
2
727
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan