Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ghofiruddinAvatar border
TS
ghofiruddin
Pulang Kampung: Selamat Datang di Rumah Sakit Jiwa (Part III)

Taman di depan gedung fakultas Ilmu Budaya itu ditumbuhi lima pohon yang berdiri kokoh dan sangat rindang. Empat pohon berada di setiap sudut taman yang dirancang dengan bentuk persegi panjang. Sedangkan sebuah pohon beringin yang menjulurkan serabut-serabut seperti akar tepat berada di tengah-tengah. Pohon beringin itu dikelilingi oleh empat bangku panjang dari kayu yang dipolitur dengan warna coklat tua yang semuanya membelakangi pohon beringin itu. Tanah di taman itu ditanami dengan rumput yang tampak segar menghijau dengan ketinggian yang sama rata. Ada tatakan batu ditempatkan sebagai pijakan langkah bagi siapapun yang ingin duduk di kursi taman itu. Tatakan batu itu ditempatkan supaya orang-orang tidak menginjak-injak rumput supaya rumput hias itu bisa tetap tumbuh secara merata. Papan bertuliskan ‘Dilarang Menginjak Rumput Taman’ juga terpasang di setiap sudut sebagai pengingat.

Di salah satu bangku di bawah pohon beringin itu, Rizbach dan Wulan bercengkerama. Mereka mengambil jarak satu lengan satu sama lain, namun tatapan mata mereka tidak berjarak, terus menerus bertautan, meski berkali-kali mengerjap, berkedip karena insting syaraf yang genting. Mereka bicara, bicara, dan hanya bicara. Terkadang salah satu dari mereka bercerita yang diselingi dengan penggambaran tentang suatu benda atau hal. Terkadang pula salah satu dari mereka menjelaskan suatu hal yang ditanyakan oleh pasangannya. Mereka berdiskusi dan terkadang disertai adu argumen yang apabila emosi telah memuncak, Rizbach akan mendinginkan suasana dengan rayuan gombal yang seperti biasa membuat wajah Wulan merona.

“Mas Riz,” kata Wulan. “Setelah ini apa sampeanjadi pulang kampung?”

Rizbach diam, tidak segera menjawab. Dia pandangi wajah dan mata yang lentik itu mencoba menyelusup ke dalam benak Wulan. Dia mengulas senyum simpul.

“Kenapa ndak di sini saja sih?” saran Wulan. “Di sini kan sampean juga tetap bisa menulis, bahkan dipasrahi pekerjaan jadi salah satu editor di penerbitan kampus, meski digaji ala kadarnya. Kalau pulang kampung, nanti sampean harus mencari lowongan dulu.”

“Wulan,” dan pandangan itu semakin menghujam, Wulan menunduk. “Aku cinta kehidupan di kampung. Bagiku kota ini hanyalah sebuah persinggahan. Kita itu di sini hanya untuk singgah, menuntut ilmu. Dan prinsipku, ilmu itu ingin aku tularkan kepada orang-orang, terutama anak-anak muda di kampung kita sana. Kalau semua orang kampung memilih mencari pekerjaan di kota, kampung itu nanti siapa yang akan membangun.”

Wulan tidak membantah. Dia hanya larut pada sebuah lamunan, lamunan tentang perpisahan yang tidak bisa dihindari karena Rizbach telah memutuskan untuk kembali ke kampung. Sementara dia sendiri masih harus melanjutkan studinya kurang lebih hingga dua tahun ke depan.

“Aku tahu setelah ini kita akan jauh,” Rizbach melanjutkan. “Ya jauh. Tapi bagiku kita tidak akan benar-benar jauh. Ada telepon, ada sosial media yang bisa mendekatkan. Dan lebih dari itu, kepercayaan. Kalau aku dan kamu senantiasa saling percaya satu sama lain, maka kita akan dekat terus. Jadi, percayalah.”

“Aku percaya mas,” balas Wulan kembali menatap wajah Rizbach. “Tapi rindu itu sakit mas, dan obatnya hanya pertemuan. Aku ndak tahu mas, apa aku akan kuat menahan sakit itu.”

Mereka terdiam dalam hening dan dibuai oleh sepoi angin yang berhembus membelai kulit mereka. Suara-suara langkah kaki, suara-suara bising kendaraan bermotor tidak membuat rasa hening itu menghilang. Rasa hening itu semakin dalam.

Layang sworo ra iso ngobati, roso kangen marang sliramu yayi. Layang sworo ra iso nggenteni, kulino aku nyandhing sliramu yayi,” Wulan membacakan sebuah penggalan lirik lagu berbahasa Jawa itu dengan sesenggukan. Dan perlahan, air mata itu memenuhi kedua pelupuk matanya, tidak terbendung dan akhirnya menetes deras, mengalir membasahi pipi.

Rizbach diam. Kedua matanya sembap dan dadanya sesak. Dia raih tangan kiri Wulan. Dia genggam erat-erat tangan itu. Dia dekatkan tempat duduknya, tidak mengambil jarak lagi. Dan, kepala Wulan yang terasa berat, tanpa diperintah telah bersandar di bahu Rizbach.

“Luapkan, love. Luapkan,” kata Rizbach yang semakin erat menggenggam tangan Wulan. 

“Luapkan semua hingga seluruhnya hilang. Luapkan, hingga semuanya terasa ringan.”

Lagi-lagi telepon genggam itu berdering. Nada dan getaran telepon genggam itu menyentak keheningan di antara mereka berdua, yang tidak saling bicara selama beberapa saat. Wulan mengangkat bahunya, menyeka air matanya dan bertanya.

“Siapa mas?”

“Bapak,” jawab Rizbach.

Sampean cepat angkat.”

Rizbach menjawab panggilan itu setelah sempat memikirkan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan sesuatu keinginan kepada bapaknya.

Assalaamu’alaikum,” kata Rizbach membuka percakapan di telepon itu.

Wa’alaikumsalaam,” suara seorang pria terdengar di seberang saluran. “Piye le, koe ning di?

“Aku sekarang di taman pak,” jawab Rizbach dengan bahasa santai. “Sampean ning endi, sudah di kampus to?”

“Aku di parkiran le, baru saja tiba. Piye?”

Peh, maaf pak,” ucap Rizbach. “Ndak jadi pak wisudanya. Ini ada yang lebih penting dari sekedar prosesi wisuda. Masalah perasaan, masalah masa depan. Bapak tunggu saja di parkiran situ. Aku yang ke sana.”

Weh, ndak jadi piye le maksudmu, ini bapak dan ibumu sudah tampil dengan pakaian terbaik, parfum terbaik, semua serba terbaik, masa ndak jadi.”

“Nanti saja pak penjelasannya,” jawab Rizbach. “Ini ada seseorang yang mau saya kenalkan kepada bapak, kepada ibu.”

“Terserah wis, ndang ke sini.”

“Siap, Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumsalam.

Rizbach menutup panggilan itu dan beralih memandang Wulan di sampingnya yang memancarkan ekspresi terkejut. Dia tidak menyiapkan diri untuk menemui orang tua Rizbach. Dia hanya memakai kaos press-body belang-belang merah muda dan putih, dan celana jins biru yang juga membalut ketat kakinya. Dia berpikir bagaimana nanti penilaian orang tua Rizbach terhadap dirinya. Dia khawatir, jangan-jangan nanti dipandang sebagai perempuan yang tidak baik. Dia merasa sangat tidak percaya diri.


bersambung...
bukhorigan
pulaukapok
pulaukapok dan bukhorigan memberi reputasi
2
551
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan