Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yesung3424Avatar border
TS
yesung3424
Surat Malam Minggu untuk Keluarga
Gimana malam minggu kalian ? 

Malam minggu, semua malam bagiku sama, bedanya besok libur. 

Tapi, saat tingkat akhir seperti ini. Semua malam emang rasanya sama aja. Di kosan sendirian, lihat jalanan orang-orang pada keluyuran, sementara diri duduk sambil makan sembari twitteran. 

Maklum, jomblo tapi ya apa boleh buat emang gini adanya. Eh, tiba-tiba pulsa 100K masuk. Dari orang rumah katanya. Jadi, malam minggunya inget sama gundah gulana. Mbrebes mili pada akhirnya, merasa belum bisa jadi apa-apa.

Iya, maaf jarang nelpon. Bukan bermaksud gak kangen, tapi..., selalu ada tapi yang bingung gimana jelasinnya. 

Udah semester sembilan, berjuang di tahap administrasi menuju ujian, was-was jika harus bayar ukt di tahun depan. Tapi, tiba-tiba ingat saja bahwa memang setiap malam minggu tidak ada yang spesial. There is nothing special.

Bukan hanya malam minggu, tapi juga hari raya, tahun baru, apapun perayaan besar rasanya sama. Apa itu kumpul keluarga, hanya kumpul tapi sesaat hampa sebenarnya. Keluarga ini utuh, tapi tidak ada yang spesial. Orang tua tetap bekerja, bahkan setiap hari mereka selalu bekerja. Ya, mereka selalu di rumah karena rumah itu tempat mereka bekerja. 

Warung itu, antara hidup dan matinya keluarga. Bising setiap hari, tapi tak bisakah untuk tutup sementara ? Tutup pun, orang-orang tetap datang. Benar-benar tidak menghargai ya kalian. Huh.


Sementara laki-laki satu-satunya yang paling muda sangat enggan diikuti oleh adiknya. Barangkali dia dianggap seperti kuman, enyahlah sejauh mungkin dan jangan menyusahkan kakak, bersikaplah mandiri. Dia suka bermain dan menghabiskan waktu dengan teman-temannya.

Kamu benar-benar kesepian ya. Apa itu liburan ? Apa itu tahun baru-an ? Apa itu merayakan lebaran ? Omong kosong, makanya memilih merantau dan jarang pulang. Orang-orang pada makan bersama, keluarga ini memilih bekerja dan anak-anaknya yang satu ramai di tetangga, satunya di kamar hilang gairah hidupnya. 

Tak bisakah kalian mengadakan acara bersama ? 
Tak bisakah kita makan bersama di tempat yang sama ?
Tak bisakah kita berlibur bersama ? 
Tak bisakah kita mengobrol bersama tanpa harus menuntut dan mengkritik cerita yang ada ? 
Tak bisakah kalian mendukung apapun pilihan hidup anak perempuan ini ?
Tak bisakah kalian memilih memendam kekaguman terhadap anak tetangga ?
Tak bisakah kalian menyimpan masalah anak perempuan itu dibandingkan menjadikannya bahan cerita untuk tetangga ?
Tak bisakah kalian memberikan apa yang dia tak pernah miliki, bukan sekadar janji atau ucapan belaka ?
Tak bisakah kalian sedikit lebih peka padanya ? 
Tak bisakah kalian menerimanya seapada adanya dia, seperti dia menerima kalian ?

Ya, kalian tak tahu. Dia tahu benar menjadi orang tua dengan segala keterbatasan ekonomi sangatlah tidak mudah. Tapi, tak bisakah memberikan sedikit waktu meski itu hanya setaun sekali untuk pergi keluar bersama atau sekadar makan bersama ? 

Dia, dia seperti tidak tahu apa kehangatan keluarganya. Dia saat kecil pernah jatuh, tapi ayahnya malah memarahinya. Dia menangis keras, ibunya menggendongnya. Dia tahu ayahnya sering berkata kasar, dan dia tahu itu tidak baik. Dia tahu ayahnya suka membuat keributan dan marah pada ibunya, meski pada hal-hal kecil. Dia juga tahu, ibunya terkadang mengeluh karena dia meminta uang padahal untuk membeli buku. Rasanya dia seperti sebuah beban, tapi dia memang butuh, maka dia menabung diam-diam.

Sepatunya, baru beli ketika rusak. Bolong, dijahit ulang, bolong lagi, maka jahit ulang lagi. Hingga temannya merasa iba dan ingin memberikan dia sepatu. Dia jarang jajan di luar, karena dia tahu itu menghabiskan uang. Ibunya selalu menekankan, "Itu, hanya untuk orang mampu. Kita ini orang biasa."

Sudah cukup baginya untuk "sadar diri". Dan dia terbiasa hidup apa adanya, menerima yang ada, meski tidak seperti tren yang ada. Hanya saja, dia begitu suka buku. Hingga orang-orang menyebutnya "si kutu buku", lalu mengejeknya "nanti kepala kamu botak, belajar terus tiap hari". Tapi, dia sangat sadar bahwa "pendidikanlah yang akan mengubah hidupnya".

Dia selalu juara kelas, tapi tak ada artinya di mata keluarganya karena dia tidak rajin mengerjakan tugas rumah tangga. Kerjaannya belajar saja, sementara rumahnya bising oleh pengunjung setiap harinya dari pagi hingga malam tiba. Kini, di saat dia tumbuh dewasa dia sadar betul untuk tidak meminta. Dia sadar betul mendapat label "beban" membuatnya memilih banyak diam, meski ia tahu itu haknya. Dia makin sadar, dia harus meraihnya dengan jerih payahnya sendiri.

Kebahagian dia tidak di atas orang tuanya, bukan juga kakaknya. Dia telah krisis kepercayaan, dia terkadang amat kesepian dan menangis sepanjang malam. Dia ingin pergi jauh, bebas, belajar, dan berproses menjalani hidup tanpa harus mendengar banyak mulut bicara.

Dia hanya lelah, dia ingin pulang meski di rumah. Dia hanya ingin ketenangan. Dia mengeluh dan bercerita, tapi sebagai orang tua kalian malah menyuruhnya tinggal di seberang desa saja dan menganggapnya lelucon. 

Tak pernahkah kalian berpikir mengapa dia enggan pulang ? 
Tak pernahkah kalian berpikir dia ingin lebih dekat dengan keluarganya ?
Tak pernahkan kalian berpikir dia selalu menyimpan semuanya sendirian ? 

Dia merasa bersalah tiap kali mengingat kalian. Anak bungsu yang dianggap hanya manja tapi menyimpan rasa bagaimana jika nanti belum mampu membanggakan dan membalas budi kedua orang tuanya. Si bungsu yang seringkali diremehkan karena tidak pandai mengerjakan tugas rumah tangga, dinilai pemalas, tapi berjuang keras di luar sana. 


Terima kasih atas setiap suka dan duka yang kalian cipta. 

Diubah oleh yesung3424 20-11-2021 15:32
bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
1
583
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan