- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Selera Nusantara (Indonesian Food)
Mencicipi Kuah Santan nan Gurih Khas Pantura


TS
ariqjaun
Mencicipi Kuah Santan nan Gurih Khas Pantura
Kuah santan sudah menjadi menu sarapan andalan warga pantura. Semua orang dari berbagai kalangan menyukainya. Saya adalah tipikal orang yang menyukai berbagai jenis makanan, mangut yang berkuah santan adalah salah satunya. Nasi mangut merupakan makanan khas Kota Pati. Rasanya gurih dan asin. Sedikit cerita, ketika saya sedang berada di Jogja dan melihat ada warung yang menjual makanan ini, saya kemudian mencobanya. Saya kaget, rasanya manis, berbeda dengan asal dari makanan berkuah santan ini berasal.
Warung Mbah Rom, yang tidak jauh dari rumah saya selalu ramai dikunjungi orang dari pagi hingga siang. Mbah Rom sudah memiliki anak-anak yang berkeluarga dan sukses di luar kota. Bisa dibilang anak-anak beliau berhasil dan sukses. Mbah Rom, 80 tahun, yang sudah bungkuk masih bersemangat untuk membuka warungnya. Biasanya beliau ditemani oleh dua orang anaknya yang hidup di sini. Saya sangat kagum terhadap anak beliau yang menemani di warung karena ia selalu berbicara menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil yang benar-benar asli dan sulit dipahami untuk generasi saya.
Mbah Rom tidak kerasan jika hanya diam saja sehingga beliau memutuskan untuk masih membuka warungnya meskipun anak-anak beliau sudah menjadi orang sukses. "Ya meskipun saya sudah tua tapi saya masih ingin kerja, daripada diam di rumah." ujar beliau.
Di samping rumah bertingkat dua milik salah satu anaknya, Mbah Rom membuka warungnya. Makanan yang disajikan hanyalah Nasi Mangut dengan berbagai macam lauk. Ciri khas mangut Mbah Rom adalah warna kuahnya yang sangat bening berbeda dengan mangut kebanyakan. Mangut yang bening menandakan bahwa santan yang dipakai tidak terlalu banyak. Meskipun hanya memakai sedikit santan rasa makanan masih enak dan gurih.
Lauk yang dijual ada berbagai macam. Beberapa lauk adalah khas pantura. Seperti, ikan manyung, janjan, tunul, pe, tongkol, belut dan ikan-ikan gorengan lainnya. Belut menjadi lauk primadona di warung Mbah Rom padahal menurut saya dagingnya sedikit dan lebih banyak durinya. Untuk ikan manyung, tunul, pe, dan tongkol dimasak melalui proses pengasapan. Ikan ini sudah dalam proses pengasapan ketika dijual yang kemudian akan dimasak dengan memanfaatkan uap air yang direbus.
Ketika makan di warung Mbah Rom kita akan selalu merasakan makanan yang baru selesai dimasak. Setiap masakan yang ada akan cepat habis dan kemudian akan diisi lagi menu yang sama sehingga pembeli akan selalu merasakan makanan segar. "Kuahnya sedikit atau banyak?" tanya Mbah Rom. "Ya, banyak, Mbah." jawabku.
Saya memilih ikan manyung untuk menemani nasi mangut dan minuman sejuta umat, es teh. Sedikit kecap untuk menambah cita rasa. Asap masih keluar ketika saya menyendok suapan pertama. Saya lebih suka makanan panas daripada makanan yang adem atau dingin. Entah kenapa lidah saya seolah-olah sudah beradaptasi ketika makanan yang masih panas masuk ke mulut.
Tidak seperti mangut yang lain, kuahnya yang bening tidak menimbulkan kesan berminyak di bibir. Bumbu kuah juga meresap di ikan manyung. Teksturnya sangat empuk. Bagian yang paling saya sukai adalah bagian jeroannya yang terasa kenyal dan sedikit pahit.
Nasi sudah habis tetapi lauk masih ada kemudian saya memutuskan untuk menambah satu porsi nasi. Kali ini nasi dan kuahnya lebih panas daripada sebelumnya. Aroma kuahnya sangat lembut masuk melalui hidung.
Mayoritas pembeli adalah warga sekitar desa, para bapak-bapak yang biasanya sarapan sebelum pergi ke ladang atau pulang dari ladang. Terkadang juga ada beberapa orang dari luar desa seperti saya. Suasana warung sangat khas suasana desa. Obrolan mengenai harga jual ketela atau hasil panen sawah menjadi topik pembicaraan yang tiada habisnya
.
Satu hal lagi mengenai ciri khas warung Mbah Rom adalah harga yang kelewat murah. Mbah Rom akan mengurangi jumlah harga daripada harga normal. Misalnya harga 3 tempe adalah 1.500 menjadi 1.000, kemudian total harga 23.000 akan dibulatkan menjadi 20.000 saja. Mungkin saja ini sebagai bentuk sedekah Mbah Rom. Di desa-desa kita akan banyak menjumpai warung dengan patokan harga seperti yang dilakukan Mbah Rom.
Warung Mbah Rom, yang tidak jauh dari rumah saya selalu ramai dikunjungi orang dari pagi hingga siang. Mbah Rom sudah memiliki anak-anak yang berkeluarga dan sukses di luar kota. Bisa dibilang anak-anak beliau berhasil dan sukses. Mbah Rom, 80 tahun, yang sudah bungkuk masih bersemangat untuk membuka warungnya. Biasanya beliau ditemani oleh dua orang anaknya yang hidup di sini. Saya sangat kagum terhadap anak beliau yang menemani di warung karena ia selalu berbicara menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil yang benar-benar asli dan sulit dipahami untuk generasi saya.
Mbah Rom tidak kerasan jika hanya diam saja sehingga beliau memutuskan untuk masih membuka warungnya meskipun anak-anak beliau sudah menjadi orang sukses. "Ya meskipun saya sudah tua tapi saya masih ingin kerja, daripada diam di rumah." ujar beliau.
Di samping rumah bertingkat dua milik salah satu anaknya, Mbah Rom membuka warungnya. Makanan yang disajikan hanyalah Nasi Mangut dengan berbagai macam lauk. Ciri khas mangut Mbah Rom adalah warna kuahnya yang sangat bening berbeda dengan mangut kebanyakan. Mangut yang bening menandakan bahwa santan yang dipakai tidak terlalu banyak. Meskipun hanya memakai sedikit santan rasa makanan masih enak dan gurih.
Lauk yang dijual ada berbagai macam. Beberapa lauk adalah khas pantura. Seperti, ikan manyung, janjan, tunul, pe, tongkol, belut dan ikan-ikan gorengan lainnya. Belut menjadi lauk primadona di warung Mbah Rom padahal menurut saya dagingnya sedikit dan lebih banyak durinya. Untuk ikan manyung, tunul, pe, dan tongkol dimasak melalui proses pengasapan. Ikan ini sudah dalam proses pengasapan ketika dijual yang kemudian akan dimasak dengan memanfaatkan uap air yang direbus.
Ketika makan di warung Mbah Rom kita akan selalu merasakan makanan yang baru selesai dimasak. Setiap masakan yang ada akan cepat habis dan kemudian akan diisi lagi menu yang sama sehingga pembeli akan selalu merasakan makanan segar. "Kuahnya sedikit atau banyak?" tanya Mbah Rom. "Ya, banyak, Mbah." jawabku.
Saya memilih ikan manyung untuk menemani nasi mangut dan minuman sejuta umat, es teh. Sedikit kecap untuk menambah cita rasa. Asap masih keluar ketika saya menyendok suapan pertama. Saya lebih suka makanan panas daripada makanan yang adem atau dingin. Entah kenapa lidah saya seolah-olah sudah beradaptasi ketika makanan yang masih panas masuk ke mulut.
Tidak seperti mangut yang lain, kuahnya yang bening tidak menimbulkan kesan berminyak di bibir. Bumbu kuah juga meresap di ikan manyung. Teksturnya sangat empuk. Bagian yang paling saya sukai adalah bagian jeroannya yang terasa kenyal dan sedikit pahit.
Nasi sudah habis tetapi lauk masih ada kemudian saya memutuskan untuk menambah satu porsi nasi. Kali ini nasi dan kuahnya lebih panas daripada sebelumnya. Aroma kuahnya sangat lembut masuk melalui hidung.
Mayoritas pembeli adalah warga sekitar desa, para bapak-bapak yang biasanya sarapan sebelum pergi ke ladang atau pulang dari ladang. Terkadang juga ada beberapa orang dari luar desa seperti saya. Suasana warung sangat khas suasana desa. Obrolan mengenai harga jual ketela atau hasil panen sawah menjadi topik pembicaraan yang tiada habisnya

Satu hal lagi mengenai ciri khas warung Mbah Rom adalah harga yang kelewat murah. Mbah Rom akan mengurangi jumlah harga daripada harga normal. Misalnya harga 3 tempe adalah 1.500 menjadi 1.000, kemudian total harga 23.000 akan dibulatkan menjadi 20.000 saja. Mungkin saja ini sebagai bentuk sedekah Mbah Rom. Di desa-desa kita akan banyak menjumpai warung dengan patokan harga seperti yang dilakukan Mbah Rom.
0
479
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan