Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

janahjoy35Avatar border
TS
janahjoy35
ISTRI KEDUA - Awal Neraka-ku

Saat ketidakadilan merajalela, keberanian menjadi berkah bagi semesta.
-Najwa Shihab


Muthia tiba-tiba mencengkram lenganku, “Tunggu dulu! Ini beneran? Ayah lu?” tanyanya. Terlihat jelas ekspresi kaget dan tidak percaya di wajahnya.

“Beneran lah! Tapi terserah lu mau percaya atau enggak,” aku melepas cengkraman tangannya dan mengambil seraup kacang asin.

“Gila sih, gue gak tau harus ngomong apa. Sedih gue denger kisah hidup lu. Ngapa sih lu Teh? Gak cukup apa, muka lu doang tuh yang punya tampang sedih?” Muthia menarik napas dalam sambil menatap ke langit biru dari balik kaca jendela. Aku lihat, dia sesekali menyeka air matanya yang sudah tak terbendung. “Ngapa sih Teh, lu kaya Cha Eun Tak? Semua cerita hidup lu menyedihkan.” Katanya sambil terisak.

Aku makan kacang asin dengan cepat, berusaha untuk tak ikut menangis. “Enggak semua menyedihkan sih! Buktinya ini gue sekarang bahagia. Bisa ngopi dan makan kacang asin sambil berbagi cerita ama lu. Bisa tinggal di tempat nyaman, walalupun masih ngontrak,” aku terkekeh, sementara Muthia masih berusaha meredakan tangisnya. “Bisa punya pekerjaan yang halal. Bisa mandiri. Bahkan aku bisa bantu memenuhi kebutuhan Ibu walau belum banyak.” Lanjutku.

“Aaaaakkk….! Tuh kan emang cerita hidup lu menyedihkan….” Tangis Muthia kembali menjadi, membuatku jadi bingung dan bertanya-tanya sendiri ‘emang kalimat gue barusan, terkesan menyedihkan ya? Gue sekarang udah baik-baik aja lho, gue udah mandiri, udah bahagia’

“Ini… lu jadinya mau lanjut nangis, apa lanjut dengerin cerita gue?” Tanyaku, berusaha membuat Muthia berhenti nangis.

Muthia mengangguk beberapa kali sambil terus menyeka air matanya yang masih saja belum berhenti. “Lanjut ceritanya… Tapi tunggu! Gue buang ingus dulu.”

***


Tidak terasa bulan sudah berganti bulan. Waktu berlalu cepat sejak kejadian keluarnya cairan putih dari kelamin ayah yang berakhir dengan pertengkaran hebat antara Ayah dan Ibu. Hal itu juga yang menyebabkan Ayah pergi dan tidak kembali sampai detik ini.

Sejak kejadian itu, Ibu selalu terlihat murung dan sedih. Sementara aku berusaha seperti biasa dan tidak pernah terjadi apa-apa. Walaupun sebetulnya aku masih betanya-tanya tentang apa yang telah terjadi antara mereka. Yang aku tau, aku adalah penyebab mereka bertengkar. Yang aku tau, semua ini salahku.

Aku masih tetap dengan rutinitasku seperti biasa. Tapi sejak kepergian Ayah, aku mulai kembali belanja ke pasar setiap pulang sekolah.
Jujur aku merasa lebih nyaman Ayah tidak pulang. Rasanya aku kembali terbebas, terlepas dari kekangan dan perintah-perintah Ayah yang kadang di luar nalarku. Sampai suati hari, tiba-tiba Ayah datang….

Ibu terlihat senang dan bahagia akhirnya Ayah kembali pulang. Awalnya akupun turut senang. Tapi aku tidak pernah duga, inilah awal ‘neraka’ dalam hidupku.

***


Sejak kembalinya Ayah, duniaku seperti berubah. Aku ada tapi seolah tak ada. Sikap Ayah menjadi sangat teramat dingin. Bahkan aku menjadi seperti hantu, sosok yang tak Ayah lihat. Sementara Ibu seolah mendukung itu. Ibu mulai jarang ngobrol kecuali menyuruhku pekerjaan-pekerjaan rumah dan bantu-bantu di warung. Aku menjadi terasing di rumah orang tuaku sendiri.

Kehidupan Ayah, Ibu dan Daffa-adikku terlihat semakin hangat dan baik. Mereka sering bercengkrama di meja makan sambil makan malam bersama. Sementara aku akan makan sendiri di kamar, kadang di dapur atau kadang di meja kebesaranku tempat aku ngantongin terigu, minyak, gula dan lainnya. karena jika aku paksakan makan bersama mereka, Ayah akan tiba-tiba pergi dan Ibu akan terlihat sedih. Se-cinta itu ternyata Ibu sama Ayah.

Aku jadi teringat, waktu itu aku masih SD, Ibu masih mengurus kebun dan kehidupan kami masih sangat sulit. Untuk makan saja dulu sangat susah. Hanya saat Ayah giliran di rumah Ibu saja ada cukup nasi dan lauk, itupun cuma ikan asin. Ada kalanya Ayah membawa daging sapi, tapi itu hanya khusus untuk dia sendiri. Aku dan Bima di larang makan. ‘Jangan! itu punya Ayah kamu, nanti kalau habis sebelum Ayah kamu kembali ke rumah Ibu Suri, Ayah kamu pasti marah’ selalu itu jawaban Ibu kalau aku dan Bima merengek meminta daging sapi milik Ayah. Secinta itu Ibu sama Ayah.

***


Aku mulai menciptakan duniaku sendiri dalam ruang sepi. Entah sebesar apa salahku, sampai aku di perlakukan seolah aku bukan bagian dari keluargaku sendiri. Tidak ada tempat untukku mengeluh dan bercerita. Nenek yang akhirnya memutuskan menerima lamaran seorang kakek dari Kota, kini tinggal jauh di Kota. Entah dimana itu, aku tidak tau. Bima? Entahlah, mungkin dia sekarang bahagia tinggal bersama sodara Ayah yang terkenal kaya dan baik itu. Kini aku sendiri, benar-benar sendiri.

Ayah mulai sering mengajak Dewa. Bahkan Catra-kakak Dewa, Ayah membuatkannya ruko untuk bisnis usaha kuliner di sebrang warung Ibu. Seolah Ayah ingin menyatukan dua keluarganya, menyatukan istri pertama dan keduanya dengan membawa anak-anak Ibu Suri kerumah Ibu. Sementara Ibu, terlihat sangat menerima mereka, menyayangi mereka melebihi aku anak kandungnya sendiri. Bahkan Daffa bisa dengan mudah akrab dengan Dewa yang pintar main game dan seolah melupakanku.

Suasana rumah terlihat semakin ramai, terlihat semakin harmonis dan hangat. Sementara aku? Semakin ramai rumah, aku semakin kesepian, semakin merasa sendirian. Semakin harmonis Ayah, Ibu dan anak-anaknya yang lain, semakin aku merasa terabaikan dan terusir.
Dari meja tempat aku ngantongin terigu, aku bisa melihat Ayah begitu bahagia bermain PS bersama Dewa dan Daffa. Mereka tertawa bersama. Sesekali Ayah berteriak memanggil Ibu, mengatakan betapa pintar anak-anaknya main PS. Ibu tertawa riang, jelas kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Sementara aku? Aku harus ngantongin terigu yang berkarung-karung banyaknya, gula dan minyak sambil nonton keceriaan mereka. Jika malam sudah larut, aku akan mengendap masuk ke warung dan mencoba bermain PS sendirian, dalam keheningan dan gelap. Aku juga butuh hiburan kawan.

***


Setiap hari aku bisa melihat Ayah memuji anak-anaknya yang lain, sementara aku masih saja seperti tak terlihat oleh nya. Pernah aku bertanya sama Ibu, ‘kenapa Ayah berubah dan seperti membenciku?’ tapi jawaban Ibu selalu sama ‘itu hanya perasaan kamu aja, gak apa-apa’ selalu begitu. Aku mulai berpikir, mungkin Ibu tidak menyayangiku. Mungkin aku memang pantas dibuang, pantas diabaikan, mungkin itu alasan yang tepat kenapa Ibu bisa tega meninggalkanku padahala usiaku belum genap 2 bulan.

Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab menimbulkan asumsi-asumsi negatif yang kini membentengi hidupku dengan keluargaku. Aku mulai berpikir, seandainya aku bisa pergi. Seandainya ada tempat aman yang bisa aku tuju.

Semakin aku merasa kesepian, aku semakin berontak. Aku mulai bandel, dan lebih sering main ke rumah teman atau sodara. Aku suka menghabiskan waktu berlama-lama di luar. Jika tidak ada teman atau sodara yang bisa aku kunjungi, aku akan menghabiskan waktu di atas bukit, duduk di bawah pohon sambil memandangi pemandangan alam yang asri dan indah. Dari bukit, dunia terlihat sangat luas. Seandainya ada tempat yang aman disana untukku tinggali, ingin rasanya aku pergi kesana dan tak harus kembali ke rumah. Kalau kata orang, rumahku surgaku. Untukku, rumahku nerakaku.


***

Diubah oleh janahjoy35 27-12-2021 07:19
bukhorigan
redrices
rinandya
rinandya dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.1K
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan