Ini pertama kalinya ane mampir ke lapak kece satu ini. Sebelumnya, apa yang mau ane bagikan disini cuma cerita karangan. Mungkin ada beberapa bagian yang terinspirasi dari kisah nyata, tapi selebihnya hanya karangan fiksi dari ane semata.
Oh iya, daripada ane dikata nabur kentang, sebelumnya ane nggak mau janjiin kalau ini bisa ane update rutin mingguan, atau dalam tempo tertentu. Ane punya tiga kesibukan, ngampus, nggawe, ngaskus. Ehehe... jadi harap maklum kalo ane nggak bisa tepat waktu update karena tiga prioritas tadi.
Dan berhubung ini juga cerita fiksi, jadi tergantung kemampuan ane buat merangkai cerita nih... tapi sekali lagi, selamat menikmati cerita sederhana ini...
Aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadi pelaku pembunuhan temanku sendiri. Tapi berita seperti itulah yang beredar.
"Seorang Mahasiswa Tega Membunuh Temannya Sendiri Karena Iri Hati"
Sampai-sampai kalimat itu menjadi headline sebuah portal berita kenamaan di Indonesia, Surya Kabar. Parahnya lagi, aku sampai masuk dalam daftar pencarian orang sebagai pelaku penganiayaan terhadap seorang dosen yang bahkan tidak begitu kukenali!
Hanya demi bertahap hidup, dan membuktikan pada mereka semua aku harus meawan sendirian. Tapi siapa sangka, kalau masalahku ini melibatkan kelompok mafia yang dulu pernah ada di Indonesia. Kelompok mafia yang pada jamannya menjadi penyumbang terbesar peredaran narkotika berbahaya, bahkan turut andil dalam hampir empat puluh persen kasus perdagangan manusia dalam urun waktu sepuluh tahun terakhir!
Dan sebagai gantinya, aku harus meminta bantuan mereka - atau lebih tepatnya, meminta bantuan dari anak mafia legendaris Eddward Boris, yakni Bertholf Boris - jika sudah seperti ini, anggaplah aku bersekutu dengan raja Iblis.
Tapi seiring berjalannya waktu, dan makin besar perputaran kasus yang kualami, ada satu buah fakta besar yang tertutup rapat, bahwa kelompok mafia ini memiliki kaitan erat dengan pemerintah.
Tunggu, bagaimana bisa pemerintah dan mafia semengerikan Eddy Boris saling mendukung?
---
"Andai aku bisa tahu semua ini jauh sebelum kematian Ayahku, maka aku akan dengan bangga berdiri sebagai putra tunggal dari Bos Mafia!" Ujar Bertholf dengan lantang kepada kami, para pengikutnya.
Dan aku pun turut meng-iya-kan kata-katanya.
Spoiler for Prolog:
Setelah rangkaian ujian berlalu kini malam yang melelahkan kembali kuhampiri. Tertidur dengan seluruh tenaga yang habis terkuras. Yah, habis mau bagaimana? Aku berkuliah dijurusan Kedokteran. Sebuah jurusan yang memang memakan habis tenaga dan pikiran kit ajika kita memang tidak mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik.
Baru sesaat memejamkan mata, aku terusik dengan suara samar gemericik air yang menyapa atap genting rumah sederhana kami. Oh, iya sampai lupa bilang. Sejak aku kecil, aku dan kedua orangtuaku tinggal disebuah rumah dinas sederhana yang disediakan oleh kantor tempat Ayahku bekerja. Beliau bekerja sebagai prajurit TNI, jadi atas alasan itu beliau diberikan sebuah rumah dinas sederhana untuk ditempati selama menjabat jabatannya saat ini. Terganggu dengan suara bisingnya air hujan yang menghantam genting, aku kembali memaksa mata yang berat ini untuk terbuka. Mungkin ada yang bocor, karena tidak mungkin suaranya sekencang ini. Seakan memantul pada dinding-dinding rumah.
Saat mataku terbuka, perlahan ruangan gelap tanpa sedikitpun semburat cahaya sudah menyambut. Agak aneh, namun aku seolah sudah terbiasa. Ruangan yang terasa mengerikan, tapi tidak cukup untuk membuatku ketakutan. Ruangan yang begitu gelap, dan terasa lembab. Apa mungkin ada pemadaman listrik karena hujan? Masa, sih?
Aku bergerak turun dari ranjang, dan dikejutkan dengan sensasi basah dan dingin dari kaki bagian bawahku. Seolah, ada genangan air yang menyentuh kakiku. Aku menunduk, memastikannya, tapi hanya kegelapan yang ada. Bahkan tidak ada satupun bayangan yang bisa kulihat dari pantulan air ini. Ditengah segala perasaan tidak nyaman ini, ada suara cipratan air yang kudengar. Di depanku, tidak terlalu jauh, seorang anak kecil berjalan. Dia nampak linglung memperhatikan sekitarnya. Ada pancaran ketakutan dari matanya yang lebar. Sepertinya aku mengenal siapa anak itu, anak berdarah campuran. Tapi siapa ya?
Dia terus berjalan, hingga sebuah bayangan samar berdiri di balik tubuhnya yang kecil itu. Berjalan mengintai dari balik tubuhnya, membawa sebuah parang besar. Aku ingin mencoba menghentikannya, refleks alam bawah sadar untuk melindungi sosok yang kuanggap lebih lemah dariku. Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, sosok itu hanya bayangan. Tidak peduli berapa kali aku mencoba untuk menghempaskannya, ia hanya sebuah kabut hitam yang membentuk siluet tubuh orang dewasa. Tidak lebih.
Harusnya ia juga tidak bisa menyakiti anak itu kan?
Tapi aku salah.
Tangannya yang besar terayun, mengarahkan parang yang ia bawa dengan brutal, menghasilkan jejak darah dimana-mana. Dan hanya darah inilah yang terlihat berwarna di dalam tempat ini. Satu-satunya yang berwarna, yang bisa kurasakan, dan memiliki bau yang begitu membuatku mual. Bau amis luar biasa, seolah darah itu berasal dari bangkai hewan.
Begitu aku terbiasa dengan semua ini, yang bisa kulihat hanyalah tubuh seorang anak kecil yang tak berdaya, mengapung diatas genangan air. Disekitarnya darah merah bercampur dengan air yang kuduga berwarna hitam. Dari arah berlawanan denganku, seorang pria muda berpakaian serba hitam datang. Ia dengan panik berteriak memanggil temannya sambil mencoba mengangkat tubuh lemas anak itu.
Sesaat kemudian, kami saling beradu pandang. Saat matanya menatap padaku ada rasa marah, benci, dan sedih yang berkumpul menjadi satu. Tapi tunggu, ini bukan salahku!
“Hei!” aku mencoba mengejar sosok itu, mengikuti tetesan darah segar yang menjadi satu-satunya petunjuk yang nyata ditempat semu ini.
“Ini dimana?” teriakku pada sosok yang entah mengapa terus menjauh.
Langkah kami selisih begitu jauh, mengakibatkan aku tertinggal jauh di belakang. Dengan keyakinan yang entah datang dari mana, aku berjalan lurus. Darah yang awalnya begitu nyata terlihat, perlahan mulai memudar. Hingga akhirnya aku kembali sendirian tanpa jejak disini.
Aku terus berjalan, hingga akhinya menemukan sebuah daerah yang lebih lapang. Ada begitu banyak orang yang lalu-lalang, dan semua orang nampak sama seperti sosok yang mengangkat anak kecil tadi. Aku tidak bisa mengenali mereka satu sama lain. Mereka nampak seperti mengenakan pakaian selam lengkap, tanpa tabung oksigen. Pakaian lengan panjang dan celana panjang berwarna hitam. Atau mungkin biru gelap? Entah, semuanya nampak sama disini, hitam dan putih.
Mereka hilir-mudik memadamkan kobaran api, yang lagi-lagi, sebagai satu-satunya yang berwarna disini. Api itu tidak terlalu besar, tapi menyebar diseluruh bagian rumah. Hmm, mungkin bukan rumah, lebih seperti sebuah istana yang terlalu sederhana, dan rumah yang terlalu megah. Ada banyak pilar besar, jendela yang memanjang hampir setinggi bangunan tiga lantai, belum lagi tanaman-tanaman yang nampak semakin indah jika memiliki warna asli mereka. Bukan seperti kaset jaman dulu yang hitam-putih seperti ini.
Dari sekian banyak orang yang mondar-mandir, ada satu yang terdiam sambil mendekap sosok anak kecil yang kuikuti diawal tadi. Aku mendekatinya, tapi orang yang membelakangiku ini sepertinya tidak sadar kedatanganku.
“Tahan yaa… ambulan akan datang sebentar lagi…” bisiknya sendu pada telinga bocah yang tidak sadarkan diri itu.
Tubuhku diam, membatu diatas tanah yang kupijak. Angin kencang berhembus, menghantam punggungku. Aku terdorong sangat kuat, sampai nyaris membentur tubuh dua orang ini. saat tubuh ini mulai stabil berdiri, aku baru menyadari, kami sudah berpindah tempat dengan cepat. Kami berada diatas sebuah kapal yang kuduga sebagai kapal perang, hal ini terlihat dari banyaknya perlengkapan yang tidak lazim ada diatas kapal penumpang biasa.
Di daratan sana, terlihat api hebat yang masih berkobar. Ternyata itu bukan hanya sebuah rumah besar, melainkan benar-benar instana yang berada ditepi sebuah pulau yang tidak kukenal. Selain terbakar, bagian lain dari rumah itu hancur, seperti terkena longsoran tanah padahal tidak ada tanah yang lebih tinggi disekitarnya. Bagian lain lagi nampak hancur, seperti diserang dengan bom dari atas langit.
Aku termenung, menatap puing bangunan itu. Sampai sebuah suara yang berada tepat dibelakangku berbisik.
“Kalau kamu sudah besar, kamu boleh pulang. Tapi sekarang, kamu tinggal sama Ayah dulu yaa…” pria itu membelai pipi kemerahan bocah kecil tadi, pakaian tidurnya sudah berganti dengan selimut bersih. Meski begitu, semuanya tidak cukup untuk menutupi bercak darah yang tersebar.
Selamanya akan selalu seperti ini.
Aku yang tertidur, kembali ke masa dimana rasa sakit dan dendam ini dimulai, lalu terbangun dengan melupakan segalanya. Akan selalu menyakitkan. Bangun, dari mimpi penting yang tidak pernah kita ingat, dan lupa begitu saja, sampai kita memasuki fase mimpi berikutnya.
Andai aku bisa bertanya padanya, aku ingin tahu apakah mereka masih hidup?
wokehhh...
Sampai disini dulu Gan, Sis...
Sekali lagi ane mau mengucapkan maaf apabila ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian, ini asli fiktif. Dan... berhubung ane mengambil setting tempat di Indonesia, maka figur tentara yang ane gunakan TNI ya Gan, Sis. Tapi dalam plot sudah ane rancang agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Dan berhubung ane suka teori dalam film atau novel, Agan Sista boleh nih berteori dimari...