Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

janahjoy35Avatar border
TS
janahjoy35
ISTRI KEDUA - Harga yang harus di bayar
  Tidak ada yang gratis. Bahkan perpisahanpun harus mengorbankan rindu sebagai bayarannya

-Asheah Nour

 

Usaha warung Ibu semakin berkembang, bahkan omset dalam satu hari bisa mencapai lebih dari 3 jutaan. Melihat potensi itu, Ayah yang usaha tani nya mulai menurun, usaha angkutan kota nya pun sama-sama menurun, mulai melirik usaha Ibu. Ayah jadi lebih sering di rumah, menemani Ibu menjaga warung.

Sementara itu aku semakin sibuk. Urusan mengemas terigu, minyak goreng, sagu, gula pasir dan item-item lain yang ada di warung Ibu yang saat belanja masih dalam bentuk bal-an atau karungan, menjadi urusanku. Aku mengemas satu karung terigu atau satu jerigen minyak goreng kedalam kemasan 1 kiloan, ½ kiloan dan ¼ kiloan. Aku sudah jarang belanja, entah bagaimana ceritanya, urusan belanja dan keuangan warung kini di ambil alih oleh Ayah.

Dengan berjalannya waktu, akupun mulai terbiasa dengan keberadaan Ayah. Betul kata Ibu, mau bagaimanapun Ayah ya Ayahku yang darahnya mengalir dalam tubuhku dan harus aku hormati.

Setiap hari Minggu, aku akan ikut Ayah ke pasar. Tepatnya terpaksa ikut karena dipaksa supaya ada tukang bawa-bawain belanjaan ke mobil. Jadi aku di bawa untuk menggantikan kuli panggul. Sepelit itu emang Ayahku. Dia lebih rela melihatku ngangkat-ngangkat dan mangul bawaan yang berat, padahal katanya aku ini anaknya, darah dagingnya, perempuan pula. Ketimbang dia harus mengeluarkan uang untuk bayar kuli panggul di pasar.

Tapi anehnya Ayah selalu royal kalau urusan dengan Ibu Suri dan anak-anaknya dari Ibu Suri. Sebelum ke pasar, Ayah selalu mampir kerumah Ibu Suri. Dari pada aku diam di mobil dan kepanasan, biasanya aku ikut turun dan duduk di teras rumah Ibu Suri. Menunggu Ayah bercengkrama mesra dengan keluarga pertamanya.

Bathinku selalu sakit, melihat bagaimana Ayah bisa begitu hangat bersenda gurau dengan anak-anak Ibu Suri yang tidak lain adalah kakak-kakak ku. Sementara denganku, begitu jauh. Hubungan kami tidak seperti selayaknya Ayah dan anak, tapi lebih mirip bos dan jongos. Tapi anehnya aku tidak pernah berani kkomentar apalagi menuntut hal yang sama seperti anak-anaknya yang dari Ibu Suri.

“Ayah, minta duit dong!” Kata Dewa, anak bungsu Ayah dan Ibu Suri. Secara usia Dewa 3 tahun lebih tua dariku.

“Ibu juga!” Ibu Suri bergelayut mesra pada Ayah. Kulihat Ayah mengeluarkan segulungan kertas yang membungkus  segepok uang. Uang belanja warung. Tanpa ragu ayah mengambil beberapa lembar uang dan memberikannya kepada Ibu Suri juga Dewa. Sebetulnya kejadian ini bukan sekali dua kali, hampir setiap Ayah belanjan ke pasar untuk warung, Ayah akan mampir. Dan setiap mampir selalu seperti ini. Hatiku sakit bagai di silet. Aku dan Ibu bersusah payah untuk mengumpulkan uang itu. Ibu harus bangun dari jam 3 subuh dan baru tutup warung jam 11 malam. Bahkan untuk menyenangkan dirinya sendiri saja, Ibu berpikir dulu. Sedangkan Ayah bisa dengan mudahnya mengambil uang itu dan memberikannya kepada Ibu Suri. Tapi lagi-lagi, aneh. Aku tidak bisa sama sekali marah atau protes kepada Ayah. Sama hal nya dengan Ibu, aku hanya memendamnya dalam hati.

***

Musim bersepeda tiba. Melihat anak-anak yang bermain sepeda setiap sore membuatku menginginkan sepeda juga. Aku sudah bilang sama Ibu, tapi jawaban Ibu selalu sama. Harus minta sama Ayah.

“Ayah, aku pengen sepeda.” Kataku memecah keheningan dalam mobil yang penuh sesak belanjaan. Ayah meliriku selintas kemudian kembali fokus menyetir.

“Ayah, aku tidak pernah minta apapun sama Ayah. Aku tidak minta komputer seperti Dewa.” Ayahku masih diam lurus menatap jalan.

“Dewa pengen komputer aja Ayah beliin walaupun itu mahal, aku hanya ingin sepeda…”

“Baiklah, tapi kamu harus janji. Kalau Ayah beliin sepeda, kamu harus nurut sama Ayah.” Jawaban Ayah sungguh di luar ekspektasiku. Selama ini aku tak pernah berani minta apapun dari Ayah, karena selalu berakhir dengan penolakan. Entah habis kerasukan apa, Ayah bisa dengan mudah mengabulkan perminataanku.

“Siap, aku akan nurut sama Ayah.” Kataku girang. Sudah terbayang di kepalaku, bersepeda keliling kampung bersama anak-anak lain. Pasti Seru.

***

Selalu ada harga yang harus di bayar untuk sebuah keinginan. Di balik kegembiraanku bisa bersepeda, aku mulai merasakan seakan ada sebuah rantai yang mengikat pergelangan kakiku. Aku merasa terikat dengan beban yang sangat berat. Beban pekerjaanku semakin banyak. Selain membantu Ibu dengan segala urusan warung, akupun harus selalu siap bantu Ayah dan menuruti segala permintaannya.

Seperti yang aku bilang, hubunganku dengan Ayah tidak pernah seperti selayaknya Ayah dan anak perempuannya. Tapi lebih mirip seperti Tuan dan pembantunya. Ayah selalu menyuruhku melakukan pekerjaan laki-laki seperti mencangkul parit yang banjir di saat hujan deras, membetulkan genteng bocor, mengganti ban mobil, mencuci mobil dan pekerjaan berat lainnya yang seharusnya tidak di kerjakan anak perempuan.

“Cahaya, sini!” panggil Ayah. Aku bergegas mendekati Ayah. “Tolong obatin Ayah,” kata Ayah sambil berjalan cepat kedalam kamar. Aku mengikutinya malas.

“Ayah sakit? Mana yang perlu di obatin?”  tanyaku ketika sudah di kamar. Ayah memberiku sebuah botol. ‘Obat Encok’ tulisan di botol itu.

Ayah duduk di ranjang, dan membuka sarungnya. “Kemaluan Ayah sering gatal, tolong di obatin pake itu.” Kata Ayah. Aku sempat berpikir bingung, kenapa Ayah minta tolong aku untuk hal seperti ini.

“Kamu kan anak Ayah, gak apa apa.” Seolah Ayah melihat kebingunganku. Tanpa bertanya apa-apa, aku mulai mengolesi kemaluannya.

“Udah semua Ayah.” Kataku sambil menutup botol ‘Obat Encok’ dan hendak bergegas keluar kamar. “Makasih Cha, jangan bilang-bilang kesiapapun ya, Ayah malu karena penyakitan.” Aku mengangguk mengerti dan lari keluar kamar menuju warung.

Di warung, Ibu sedang sibuk mencuci setumpuk piring kotor dan gelas kotor. “Ibu, sinih biar Cahaya aja yang nyuci,” pintaku. Biasanya aku paling malas mencuci piring, tapi rasanya aku butuh sabun yang banyak untuk membersihkan tanganku setelah mengobati Ayah. Entah kenapa aku merasa jijik. Dengan mencuci piring, aku bisa memakai sabun sebanyak yang aku mau.

***

Sejak kejadian mengobati Ayah, aku rasa Ayah berubah. Sikapnya jadi sangat baik. Ayah sering mengajakku ngobrol apa aja, bahkan Ayah mulai mengajarkanku menyetir mobil. Ketika di pasar, Ayah tidak lagi meninggalkanku di mobil sendirian sementara dia makan siang enak di restoran, sekarang dia selalu mengajakku makan enak. Jujur aku merasa senang, akhirnya aku merasakan juga sosok seorang Ayah.

“Cha?” tiba-tiba Ayah sudah berdiri di pintu kamar. Aku bergegas mendekatinya dan meninggalkan PR ku. “Ada apa Yah?” bukannya menjawab pertanyaanku, Ayah berjalan ke kamarnya. “Sinih Cha!” serunya, akupun masuk ke kamar Ayah.

“Tolong obatin Ayah.” Kata Ayah sambil menutup pintu kamar. Ini adalah kali ketiga Ayah meminta bantunku untuk mengobatinya. Aku rasa inilah hubungan Ayah dan Anak. Buktinya Ayah jadi sangat baik kepadaku.

Aku mulai mengobati kemaluan Ayah. Berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini Ayah memintaku lebih fokus mengobati di area tertentu. Sampai… “Idih, apaan tuh Yah? Kok keluar cairan putih kental begitu?” aku bergegas beranjak hendak keluar kamar. Selintas aku lihat, Ayah berusaha meraihku, tapi aku lebih gesit menghindarinya, berlali ke pintu dan segera keluar dari kamar.

“Ihhh, jorok banget sih,” gerutuku sambil berjalan cepat ke warung. Aku segera mencuci tangaku yang kena cairan putih kental yang tiba-tiba keluar dari kemaluan Ayah. “Kenapa? Tangan kamu kenapa?” Tanya Ibu, panik melihatku.

Sambil mencuci tangan, aku bercerita pada Ibu soal aku yang di maintain tolong mengobati kemaluan Ayah yang katanya sakit, terus ada cairan putih kental keluar dari kemaluan Ayah. Aku pikir itu adalah hal biasa, tapi kenapa reaksi Ibu seperti saat memergokiku mencuri Tahu dulu. Wajah Ibu terlihat murka dan marah. “AYAAAAH!!!” teriak Ibu sambil berjalan cepat meninggalkan warung.

Samar aku dengar Ayah dan Ibu cekcok. Dari warung yang letaknya memang lumayan jauh dan di batasi oleh garasi, membuatku tidak bisa mendengar jelas apa yang terjadi antara Ayah dan Ibu. Tiba-tiba jeritan Ibu terdengar melengking tinggi, membuat sakit kuping yang mendengarnya. Aku mematung didepan washtafel, tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Tidak lama aku melihat Ayah keluar dengan wajah merah menahan marah. Ayah menatapku tajam, dalam tatapannya seperti ada ancaman dan lontaran kebencian. Aku menunduk takut dengan tatapan Ayah.

“Pergi! Jangan pernah balik kesini lagi! Kamu anggap apa aku dan anak mu ini, hah? Berani kamu kesini lagi, Guntur! Saya laporin kamu ke polisi.” Teriak Ibu dari pintu rumah. Tanpa berkata apa-apa, Ayah masuk kedalam mobil dan pergi. Aku menatap Ibu yang kini terduduk lesu di pintu. Dan aku masih belum mengerti apa yang sedang terjadi.

***


Diubah oleh janahjoy35 14-12-2021 17:43
medh1221
redrices
guruh180693
guruh180693 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
2.7K
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan