Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

janahjoy35Avatar border
TS
janahjoy35
ISTRI KEDUA - Ibu adalah madrasah pertama setiap anak
Aku belajar sabar dari rasa kecewa, belajar tegar dari rasa sedih, dan belajar kuat dari rasa sakit.


Setiap pulang sekolah, aku dan Bima-kakakku akan mencongkel jendela kamar kami yang memang biasa tidak di kunci untuk masuk rumah lewat jendela itu. Saat jam-jam pulang sekolah ibu memang tidak ada dirumah. Ibu sibuk mengurus kebun ayah yang berhektar-hektar luas nya. Tapi sayang, jerih payahnya mengurus kebun tidak pernah ia nikmati. Begitu musim panen, semua hasil penjualannya di pegang ayah dan istri tua nya. Bahkan sekedar untuk makan ibu, aku dan kakakku Bima, ibu harus mengemis dulu kepada ayah, baru ayah mau kasih.

Begitulah nasib ibuku, seorang istri kedua yang berasal dari keluarga miskin dan hanya mendapat predikat bodoh karena pasrah saja di perlakukan selayaknya pembantu oleh ayah dan istri tua nya. Bahkan terlihat jelas, keluarga ayah tidak pernah menyukai ibu tidak juga menyukaiku. Tapi mereka menyukai Bima, mungkin karena Bima laki-laki dengan wajah yang sangat mirip dengan Ayah. Beda denganku yang mirip sekali dengan ibu.

“Cha, laper gak?” Tanya Bima yang kini sudah mengganti baju seragamnya dengan kaos oblong dan celana pendek. Aku berlari ke dapur ke meja makan. Tidak ada tudung saji disana, hanya ada bobokokecil berisi nasi yang mungkin cukup untuk aku dan Bima.

“Mau makan apa A Bima? Tidak ada lauk atau sayur.” Aku kembali ke kamar dengan langkah gontai.

“Kamu ganti baju dulu, nanti Aa buatkan sesuatu yang enak.” Bima memiliki karakter yang selalu tenang dan santai, seperti tidak pernah ada kesusahan dalam hidupnya. Andai saja aku bisa sesantai dia menjalani kehidupan ini.

Kudengar pintu dapur terbuka, kini aku tau apa yang akan Bima buat. Memang cuma itu keahliannya, membuat 'kuah sambal'. Dan dia selalu bangga dengan menu andalannya itu, katanya menu itu yang membuat kelompoknya juara tata boga. Yah, harus aku akui, di saat kepepet begini, dari pada makan dengan garam doang, kuah sambel Bima jauh lebih baik.

Di halaman belakang rumah, Bima memiliki satu pohon cabe rawit yang ia rawat seperti Malika. Itulah penyelamatku dan Bima ketika kita lapar dan gak punya lauk atau sayur.

Bima kembali ke dapur dengan membawa 6 butir rawit segar. Karena sudah sangat hapal kondisi ini, aku sudah menyiapkan ulekan dan cobek lengkap dengan garam juga penyedap rasa. Dan tadaaaa!!! sambel sudah jadi. Bima menambahkan air hangat, jadilah ‘kuah sambel’ lezat siap di santap dengan nasi dingin.
Aku rasa selama ada ‘‘kuah sambel’’ dan nasi, hidup kami tidak terlalu buruk.

***


Musim libur sekolah telah tiba. Selain menemani Nenek mencari kayu bakar, kegiatanku yang lain adalah berpetualang bersama teman-teman. Tapi tidak hari ini. Hari ini adalah hari Jumat. Setiap hari Jumat ibu tidak pergi ke ladang. Ibu sibuk mengurus pekerjaan rumah seperti nyuci baju, nyetrika dan banyak lagi. Bima memonopoli TV bekas yang baru ayah bawa dari rumah istri pertamanya. Jadilah aku bermain sendiri di teras rumah, menggambar pemandangan hutan di kertas kalender bekas. Ya, aku sangat suka menggambar. Dan kata teman-temanku aku jago menggambar.

“Neng, amang titip dagangan amang ya disini, amang mau jumatan dulu.” Seorang lelaki paruh baya tiba-tiba sudah berdiri di depan teras rumah. Belum juga aku jawab boleh atau tidak, laki-laki itu sudah meletakan keranjang dagangannya di teras rumah. “Makasih ya Neng,” katanya lalu bergegas pergi menuju mesjid yang tidak jauh jaraknya dari rumahku.

Setelah berusaha untuk tidak penasaran dengan isi dagangan si amang-amang, akhirnya aku coba kembali fokus menggambar. Tapi sial, semilir angin tenpa permisi membawa aroma lezat dagangan si amang melewati hidungku dan cepat sekali di respon oleh perutku yang memang sudah meronta-ronta minta di isi.

Aku lihat ke kiri, liat ke kanan dan liat sekitar. Sepi. Aku dekati keranjang dagangan si amang-amang, perlahan aku buka tutupnya. Aroma lezat semakin menyeruak memenuhi penciumanku. “Tahu sumedang,” bisikku pada diri sendiri.

Aku liat lagi ke kiri, liat lagi ke kanan, liat lagi ke sekitar. Sepi banget. Dengan cepat aku masukan 4 potong tahu sumedang kedalam mulutku. Mulutku penuh dengan tahu, sampai aku kesulitan mengunyah.

“Ngapain kamu Cha?” tiba-tiba Bima muncul tepat di belakangku. Aku bekap mulutku yang masih penuh tahu.

Plak!!

Tamparan Bima membuat tahu sumedang yang belum sempat aku kunyah muncrat keluar dari mulutku.

“Maling tahu kamu ya?” aku menggelengkan kepala cepat.

“Ah iya, kamu maling tahu!” aku menggeleng-gelengkan kepala lebih cepat lagi.

“Ibu… Bu… Cahaya maling tahu Bu…“ Bima berlari kedalam rumah, meninggalkan aku yang kini panik. Dengan segala upaya, akhirnya tahu sumedang bisa aku kunyah dan telan.

Aku bergegas kedalam rumah hendak mengejar Bima, tiba-tiba ibu sudah bediri dengan tatapan marah dan murka ke arahku. Tangannya membawa pedang-pedangan yang terbuat dari bambu. Mainan milik Bima.

“I…Ibu.. a.. akuu…” aku terbata-bata sambil mundur perlahan, takut dengan pedang-pedangan Bima. Dari bambu lho, keras lho itu.

PLAKKK!!!!

“Aw, ibu… sakiittt,” aku mengelus lenganku yang di pukul keras ibu.

“Ibu gak pernah ngajarin kamu mencuri ya!!!”

PLAKKK!

PLAKKK!

PLAKKK!

“KITA MEMANG MISKIN, BUKAN BERARTI KITA BOLEH MENCURI!!!!.” Suara ibu melengking tinggi, diantara rintihan dan tangisanku yang mengaduh dan memohon ampun. Ibu tidak peduli dan terus memukuliku, lagi lagi dan lagi. Tangan, punggung, paha, punggung lagi, punggung lagi dan terus menghajar punggung karena aku sudah tersungkur di lantai.

Sampai pedang-pedangan Bima ambyar, ibu baru berhenti memukulku. Ibu terduduk lemah di lantai, tangannya bergetar hebat. Matanya yang tadi menatap nyalang seakan ingin memakanku bulat-bulat mulai berkaca-kaca. Kesedihan bercampur dengan kekecewaan menjadi satu dalam tatapannya.

Aku masih terisak, menahan diri supaya tidak menangis kejer. Rasa sakit di sekujur tubuhku sungguh hebat, sampai aku tak kuat walau hanya untuk bergerak.

Kulihat Ibu bangkit perlahan, aku memejamkan mataku bersiap menerima pukulan lagi. Tapi beberapa detik aku tunggu tidak ada pukulan susulan dari Ibu. Aku beranikan diri membuka mata, ternyata Ibu sudah masuk kedalam rumah.

Pelan-pelan aku berusaha bangkit. Dengan langkah tertatih, aku pergi meninggalkan rumah. Satu orang yang aku ingat di saat-saat seperti ini. Nenek.

Nenek selalu bilang, "Ibu adalah madrasah pertama untuk setiap anak." Aku rasa, aku memiliki seorang guru killer di Madrasah pertamaku. Sebaiknya aku tidak melakukan kesalahan lagi.


***

Diubah oleh janahjoy35 14-12-2021 17:08
nawir98
jiyanq
saprolman
saprolman dan 5 lainnya memberi reputasi
6
727
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan