- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Rollade Dokter


TS
drhans
Rollade Dokter
Rollade Dokter
Menjadi seorang dokter umum /spesialis lokal serba salah dan serba susah. Sekolah sudah paling lama, paling mahal, ehh, paling banyak mendapat intervensi.
Stigma-nya, ganti pejabat - ganti peraturan. Tinggal Anda sedang bernasib baik atau bernasib kurang beruntung.
Salahnya sendiri sih, kenapa mau masuk sekolah kedokteran, bukan ambil jurusan bisnis, hukum atau lainnya. Kamu toh sudah berkomitmen bahwa kelak bila menjadi seorang dokter, kamu harus berjiwa sosial-kemanusiaan.
Masalah nanti kamu sendiri, di-'manusia'-kan oleh pihak yang berwenang, yah itu nanti, sekali lagi, tergantung nasibmu, baik atau sebaliknya.
Jangan hitung-hitungan matematika loh ya, bahwa kamu pasti kaya-sejahtera, itu nanti tergantung nasibmu, baik atau 'baik' ?
Kalau kamu bisa kaya, itu ekses/akibat/konsekuensi yang kamu dapat dari menolong orang loh, jangan ngarep sebelumnya. Nanti dituduh komersial.
***
Lulus sekolah belum langsung menyandang predikat dokter, loh.
Mesti adaptasi lagi, dinas kerja lagi untuk pemerintah ( nama programnya macam-macam, intinya sama). Pokoke, kudu sabar bro.
Memangnya perut bisa diisi dengan sabar? Ya engga la yau, kamu 'nyambi-nyambi' deh selama menunggu. Kerja di klinik-klinik biar dapat pengalaman + fulus.
Kalau ga mau susah, yah kamu minta subsidi dari orang tua diperpanjang deh, khan kamu orang kaya (?). He-he-he.
***
Penempatan di daerah yang ditunggu-tunggu akhirnya kesampaian juga.
Kamu 'ditugaskan' deh sebagai dokter, yang berwenang penuh untuk membangun di tempat tugasmu.
Syukur-syukur, daerah penempatanmu cukup makmur, sehingga kamu bisa 'ikutan kecipratan sedikit', kalau tidak, yah gapapa, kamu khan 'dihormati dan dihargai' sebagai pahlawan bangsa, loh.
Urusan 'laennya', sak pinter-pinternye dewe lah. Wong dokter je, mosok mlarat.
***
Selesai tugas di daerah, kalau kamu mau meneruskan ambil spesialisasi, kamu siapkan deh otak, mental dan terutama (lagi-lagi) fulus.
Ga punya money, jangan ngarep deh, mending siap-siap nyari lahan buat buka praktek, gih.
Syukur-syukur, nasib baik, rejeki baik, praktekmu rame.
Kalo kagak, gimana dong? Yah, kamu siap-siap 'alih profesi'-lah, urusan dapur ngebul, khan ga bisa menunggu.
Maka jangan heran ya, titel sih dokter, tapi ada yang jadi pedagang, petani, penyanyi, tukang mie, sampai ke penulis (seperti ... siapa lagi, he-he-he). Pokoke, dapur bisa ngebul dan bisa jalan-jalan trus.
***
Bagi yang nasibnya sedikit beruntung. Praktek dokter lumayan, bisa deh mulai cicil motor, mobil, rumah dan lainnya. Bisanya nyicil, cil, cil ... trus.
Habis mau gimana lagi, penghasilan ngarep dari pasien yang datang berobat setiap harinya. Itu khan ga tentu pendapatannya.
Blum lagi langsung dipajakin dengan tarif paling geeuuddeee, jadi nyicil trus.
Sedikit yang lebih beruntung, setelah 'habis-habisan' demi sekolah spesialis, mulai deh 'bales dendam' di rumah sakit atau di klinik praktek dokter spesialis.
Speed ditancap pol, praktek dari matahari mulai terbit sampai matahari mau terbit lagi. Pokoke, selama 'mesin blum aus', tancap gigi 5 trus.
Waktu bersama anak-istri 'dikorbankan' demi membayar cicilan mobil yang lebih bagus, rumah yang lebih besar, dan lainnya.
Jangan lupa loh, pajaknya yang geeuuddeeee banget juga bertambah dashyat. He-he-he.
***
Ehh, udah kerja habis-habisan, penuh dedikasi dan rasa sosial kemanusiaan yang tinggi, masih dicemooh dan diremehkan oleh sebagian orang.
Bagi kalangan yang mampu, dokter lokal selalu dipandang sebelah mata dan dianggap 'kalah kelas' bila dibandingkan dengan dokter luar.
Bagi kalangan setengah mampu, dokter lokal juga sering dianggap terlalu 'komersial' dan terlalu 'pelit bicara' dibanding dokter luar.
Eloknya, bagi kalangan kurang mampu pun, eh, dokter lokal juga dianggap 'kalah pintar' sama si engkoh-engkoh penjual obat dan si mbok penjual jamu. Wuuiiihhhh.
Untungnya, waktu mau terusin cerita nasib dokter, kepalaku digetok istri tercinta karena kebanyakan bengong, menurutnya.
Dokter lokal khan, ga begitu loh nasibnya. Semuanya 'makmur-makmur', 'sehat-sejahtera', dan 'baik-baik pengabdiannya' kok. Dokter masih menjadi idola masyarakat kok(?).
Yah sudah, daripada pusing, mendingan kita sudahi balada dokternya, sambil makan rollade bikinan eks dokter (yang alih profesi). He-he-he, yuk.
Salam semua. Be happy. Gbu.
Catatan:
Hormat dan salut untuk para dokter dan ikatan profesinya: IDI. Terus berjuang dan semangat. Kita semua mendukungmu. Bravo.
Menjadi seorang dokter umum /spesialis lokal serba salah dan serba susah. Sekolah sudah paling lama, paling mahal, ehh, paling banyak mendapat intervensi.
Stigma-nya, ganti pejabat - ganti peraturan. Tinggal Anda sedang bernasib baik atau bernasib kurang beruntung.
Salahnya sendiri sih, kenapa mau masuk sekolah kedokteran, bukan ambil jurusan bisnis, hukum atau lainnya. Kamu toh sudah berkomitmen bahwa kelak bila menjadi seorang dokter, kamu harus berjiwa sosial-kemanusiaan.
Masalah nanti kamu sendiri, di-'manusia'-kan oleh pihak yang berwenang, yah itu nanti, sekali lagi, tergantung nasibmu, baik atau sebaliknya.
Jangan hitung-hitungan matematika loh ya, bahwa kamu pasti kaya-sejahtera, itu nanti tergantung nasibmu, baik atau 'baik' ?
Kalau kamu bisa kaya, itu ekses/akibat/konsekuensi yang kamu dapat dari menolong orang loh, jangan ngarep sebelumnya. Nanti dituduh komersial.
***
Lulus sekolah belum langsung menyandang predikat dokter, loh.
Mesti adaptasi lagi, dinas kerja lagi untuk pemerintah ( nama programnya macam-macam, intinya sama). Pokoke, kudu sabar bro.
Memangnya perut bisa diisi dengan sabar? Ya engga la yau, kamu 'nyambi-nyambi' deh selama menunggu. Kerja di klinik-klinik biar dapat pengalaman + fulus.
Kalau ga mau susah, yah kamu minta subsidi dari orang tua diperpanjang deh, khan kamu orang kaya (?). He-he-he.
***
Penempatan di daerah yang ditunggu-tunggu akhirnya kesampaian juga.
Kamu 'ditugaskan' deh sebagai dokter, yang berwenang penuh untuk membangun di tempat tugasmu.
Syukur-syukur, daerah penempatanmu cukup makmur, sehingga kamu bisa 'ikutan kecipratan sedikit', kalau tidak, yah gapapa, kamu khan 'dihormati dan dihargai' sebagai pahlawan bangsa, loh.
Urusan 'laennya', sak pinter-pinternye dewe lah. Wong dokter je, mosok mlarat.
***
Selesai tugas di daerah, kalau kamu mau meneruskan ambil spesialisasi, kamu siapkan deh otak, mental dan terutama (lagi-lagi) fulus.
Ga punya money, jangan ngarep deh, mending siap-siap nyari lahan buat buka praktek, gih.
Syukur-syukur, nasib baik, rejeki baik, praktekmu rame.
Kalo kagak, gimana dong? Yah, kamu siap-siap 'alih profesi'-lah, urusan dapur ngebul, khan ga bisa menunggu.
Maka jangan heran ya, titel sih dokter, tapi ada yang jadi pedagang, petani, penyanyi, tukang mie, sampai ke penulis (seperti ... siapa lagi, he-he-he). Pokoke, dapur bisa ngebul dan bisa jalan-jalan trus.
***
Bagi yang nasibnya sedikit beruntung. Praktek dokter lumayan, bisa deh mulai cicil motor, mobil, rumah dan lainnya. Bisanya nyicil, cil, cil ... trus.
Habis mau gimana lagi, penghasilan ngarep dari pasien yang datang berobat setiap harinya. Itu khan ga tentu pendapatannya.
Blum lagi langsung dipajakin dengan tarif paling geeuuddeee, jadi nyicil trus.
Sedikit yang lebih beruntung, setelah 'habis-habisan' demi sekolah spesialis, mulai deh 'bales dendam' di rumah sakit atau di klinik praktek dokter spesialis.
Speed ditancap pol, praktek dari matahari mulai terbit sampai matahari mau terbit lagi. Pokoke, selama 'mesin blum aus', tancap gigi 5 trus.
Waktu bersama anak-istri 'dikorbankan' demi membayar cicilan mobil yang lebih bagus, rumah yang lebih besar, dan lainnya.
Jangan lupa loh, pajaknya yang geeuuddeeee banget juga bertambah dashyat. He-he-he.
***
Ehh, udah kerja habis-habisan, penuh dedikasi dan rasa sosial kemanusiaan yang tinggi, masih dicemooh dan diremehkan oleh sebagian orang.
Bagi kalangan yang mampu, dokter lokal selalu dipandang sebelah mata dan dianggap 'kalah kelas' bila dibandingkan dengan dokter luar.
Bagi kalangan setengah mampu, dokter lokal juga sering dianggap terlalu 'komersial' dan terlalu 'pelit bicara' dibanding dokter luar.
Eloknya, bagi kalangan kurang mampu pun, eh, dokter lokal juga dianggap 'kalah pintar' sama si engkoh-engkoh penjual obat dan si mbok penjual jamu. Wuuiiihhhh.
Untungnya, waktu mau terusin cerita nasib dokter, kepalaku digetok istri tercinta karena kebanyakan bengong, menurutnya.
Dokter lokal khan, ga begitu loh nasibnya. Semuanya 'makmur-makmur', 'sehat-sejahtera', dan 'baik-baik pengabdiannya' kok. Dokter masih menjadi idola masyarakat kok(?).
Yah sudah, daripada pusing, mendingan kita sudahi balada dokternya, sambil makan rollade bikinan eks dokter (yang alih profesi). He-he-he, yuk.
Salam semua. Be happy. Gbu.
Catatan:
Hormat dan salut untuk para dokter dan ikatan profesinya: IDI. Terus berjuang dan semangat. Kita semua mendukungmu. Bravo.




politon21 dan bukhorigan memberi reputasi
2
610
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan