Tahun berganti, jersey pun berganti sponsor dan model. Siapa yang punya prinsip update every single year,  adalah orang yang tepat bagi pasarna jersey baru ini. Mereka yang selalu up to date  tidak akan melewatkan pembelian kostum kebesaran klub kesayangan mereka.

Yang membuat jersey ini semakin mahal adalah emblem dan sponsor yang terpampang di jersey terbaru. Teknologi dan merek kenamaan seperti Adidas, Nike dan Puma, memberikan nilai utama dalam penilaian banderol yang akan dipasarkan.

Ada harga, ada kualitas. Ya, mungkin penggemar jersey KW Thailand masih bisa bernafas lega ya. Tidak ada kenaikan harga yang signifikan. Tapi bagi kaum penggemar berduit atau keturunan sultan, tentu juga tidak ada masalah apabila dihadapkan dengan harga brand orisinil, jersey pemain tersohor dan terbubuh tanda tangan. Kaum ini rela membelanjakan berapapun harga jersey tersebut.

Terkadang di Indonesia, memang jersey terbaru tidak langsung kita dapati ketika launching di store-store  resmi. Maka kaum semi/full-sultan tadi,  rela pergi ke negara tetangga atau langsung ke negara dimana klub tersebut berada. Khan maen !

Cukup addicted ya. GanSis termasuk yang mana? KW atau Original? 

Beberapa tahun belakangan adalah momennya para penimbun. Masker, sanitizer, obat-obatan, dll, adalah objek yang sangat dicari. Karena banyak nya permintaan, penjualan pun meningkat diawal, menyebabkan habisnya stok barang untuk barang-barang kebutuhan kesehatan tersebut.

Oleh para penimbun, barang tersebut ditahan pendistribusiannya. Seolah-olah barang tersebut langka, berhenti produksi atau pasokan telah dihentikan dari negara yang memproduksi. Tapi, permintaan tidak menurun, malah semakin tinggi. Para penimbun mencoba menjual secara online dan terbatas. Harga yang dipasang pun cukup fantastis.

Covid-19 semakin merebak. Kebutuhan akan obat-obatan melonjak sebanyak 12x lipat, tidak akan terjadi transaksi jika banderol mahal tidak ditebus. Pemerintah sudah mengambil ancang-ancang untuk mengatasi kelangkaan obat-obatan ini. Walaupun resmi, penjualan masih secara terbatas dan dengan harga yang masih belum normal. Kalau tidak dibeli, nyawa adalah taruhannya. Sabar sabar, ini ujian 

Selain masalah Covid-19, masalah kecantikan juga sudah lumrah di negara kita. Akibat dari influence negara tetangga agak jauh, Korea Selatan. Berbagai produk kecantikan membanjiri pasaran Indonesia, mulai dari luar hingga dalam tubuh, dari kulit, hingga wajah.

Pemakaian yang wajar sih, tidak ada masalah ya, hanya saja akan ada masa ketergantungan atas perawatan tersebut. Sewajarnya manusia yang merasa memiliki kekurangan. Nah, bagi kaum perfeksionis, kekurangan ini tidak bisa diabaikan, kekurangan ini adalah aib, kekurangan ini harus ditutupi bahkan kalau bisa dihilangkan.

Maka bermunculan-lah klinik kecantikan, aestetik dan kawan-kawan (ane ga hapal) untuk mengakomodir kebutuhan ini. Semakin dirawat, semakin mahal, semakin tertarik. Ujung-ujungnya biaya yang tidak murah. Permintaan pun kadang semakin tidak wajar, terakhir mengambil tindakan instan "Plastiki Cheirourgiki" alias Operasi Plastik. Uang yang dikeluarkan bukan level "kacangan" lagi nih, perawatannya pun akan semakin detil dan berkepanjangan.

Yah, termasuk addicted  juga ga ya? 

Kalau yang satu ini tidak ada yang menolak, mau dibilang coffee addicted  juga tidak masalah ya. Jaman sekarang warung kopi sangat menjamur, setiap kesempatan lowong selalu kita isi untuk "ngopi", bisa duduk sendirian di pantri, bisa juga ngajak kumpul dan kongkow di coffee spot.

Aceh yang mendapat sebutan "negeri sejuta warung kopi", adalah pelopor menjamurnya warung kopi dimana-mana. Tidak jarang kita mendengar bahwa warung-warung itu adalah kepunyaan dari acehness entrepreneur  atau pengusaha asal Aceh.

Dulunya kita hanya mengenal kopi hitam dan kopi susu dan satu lagi kalau akhir bulan, ada yang memesan "kopi pancung", dengan harga setengahnya saja (kopinya juga ga penuh segelas). Dengan harga yang relatif murah, dulunya penikmat kopi tidak disibukkan dengan berbagai jenis sajian kopi. Sekarang (beberapa tahun lalu), dengan kemunculan brand luar negeri seperti Starbucks di Indonesia, warung-warung kopi tadi mencoba melihat new target  untuk peluang pasar baru, yaitu kaum pecinta kopi sejati, ekspatriat dan kaum hawa.

Ya, warung-warung kopi dituntut untuk lebih "mengundang", dengan suasana homie, etnik dan modern, dengan baristanya, mesin kopinya, biji kopi yang digunakan, hingga estetika penyajian kopi itu sendiri. Fasilitas dan keunggulan ini tidak gratis, para bapack-bapack dan new target  tadi harus membayar lebih untuk secangkir kopi kekinian dan suasana yang lebih bersahabat.

Mungkin memang tidak terlalu mahal, tapi harga kopi cenderung naik menurut artikel ini. Tentu saja bagi penikmat kopi dengan brand luar negeri akan merasakan kenaikan tersebut, tapi juga tidak menutup kemungkinan kopi lokal juga ikut-ikutan menaikkan harganya.

Apakah itu mempengaruhi tingkat konsumsi? Tidak sama sekali kisanak 

Tidak jauh dari cangkir kopi, sebatan rokok masih membara. Ya, sahabat kentalnya kopi ini adalah sesuatu fenomena produk yang tidak bisa disepelekan kehadirannya. Disatu sisi, ia adalah penebus dahaga akan nikotin, disisi lain ia adalah dosa dan penyakit untuk orang sekitar.

Penggunaan rokok tidak bisa dihentikan. Berbagai slogan dan penerapan gambar anti rokok serta akibat yang ditimbulkan, seakan hanya lelucon yang tidak perlu digubris. Pemerintah telah memberlakukan berbagai cara untuk menurunkan tingkat konsumsi masyarakat, salah satu caranya dengan menaikkan tarif cukai rokok tersebut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 198/PMK.010/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, pemerintah telah mencanangkan kenaikan tarif cukai di tahun 2021 inihingga mencapai 12,5%.

Pertinyiinnyi, apakah kenaikan tersebut mempengaruhi tingkat konsumsi? jawabannya tentu tidak semudah itu ferguso !!. Konsumsi rokok masih saja sama, hanya saja ketika kita membelinya, kita akan sedikit bergumam "hadeuh..koq makin mahal aja", tapi tetap kita beli karena "kebutuhan" akan dahaga nikotin tadi.

Rokok tidak akan langka, rokok masih dengan taste  yang sama, masih dengan formula yang sama, tapi harganya semakin mahal. Koq masih ada aja yang beli ya?, kaum yang tidak tergoyahkan ini, mungkin masih memiliki pendapatan yang rutin dan pasti (misalnya gaji perbulan), tapi bagaimana dengan yang bertahan dengan gaji dari pekerjaan serabutan?, artikel ini menjelaskan kepada kita bahwa mereka sudah mulai menciptakan pabrik mandiri. Pabrik yang dimaksud adalah cara pelintingan tembakau dengan tangan sendiri.   Di Kota Semarang, para pemuda menyebutnya sebagai Rokok Tengwe atau rokok linting dewe.

Tidak ada rokok pabrik, linting dewe pun jadi.  Karena kecanduan itu, para perokok sudah tidak memperhatikan merek, apapun caranya, selagi ada jalan maka akan di-aminkan dan dilakukan dengan seksama dalam waktu sesingkat-singkatnya.