Kaskus

Hobby

MayamukijahAvatar border
TS
Mayamukijah
LINGERI part 2
Aku sedang membersihkan rumah, kala Mba Ratna, kakak perempuanku datang berkunjung.

Kebetulan ini hari minggu, dan aku sedang off kerja.

Ibu sengaja masak lebih, karena sepertinya Ibuku tahu kedatangan Mba Ratna ke sini, beruntung tadi kami sudah ke pasar memenuhi kebutuhan rumah.

Aku selalu menghindar ketika Mba ku itu datang ke rumah. Bukannya apa-apa, ah... Sudahlah...

"Bu, aku ke kamar ya, kepalaku sakit," ujarku memberi alasan.

"Jangan alesan kamu, sini aku mau bicara sama kamu!" ujar Mba Ratna sedikit marah.

Aku duduk dengan malas di sofa, sementara kedua ponakanku itu nyaris membuat seluruh rumah berantakan.

"Aku dengar kemarin rumah sempat gelap, kenapa bisa begitu Ran?" tanya Mba Ratna langsung ke inti masalahnya.

"Token habis Mba," jawabku sekenanya.

"Kenapa harus gelap dulu, kan kamu bisa belikan sebelum kerja?" tanyanya dengan suara menghakimiku.

"Lupa," jawabku pendek.

"Udah, gak papa, yang pentingkan langsung di nyalain toh?" ujar Ibu menengahi.

"Ndak, bisa gitu donk Bu, Rani mestinya lebih tanggap karena dia yang sama Ibu," ungkap Mba Ratna kesal.

"Loh kok aku sih Mba? Terus peran Mba apa?" tanyaku mulai memanas.

"Loh, kamu kan yang tinggal sama Ibu, Ya kamu lah yang mesti aware ke Ibu!" serunya tak kalah lantang.

"Mba kan tahu, aku gajian selalu lewat dari tanggal, kenapa bukan Mba aja yang sigap, tahu aku belum gajian!" seruku lebih kuat lagi.

"Aku kan ndak kerja kaya kamu Rin!" serunya lagi, "aku dari mana uang buat beliin token Ibu!"

"Mba kan bisa minta sama Mas Aslan, sepertinya Mas Aslan juga ndak keberatan jika ngisiin token Ibu!" balasku lagi sama kencangnya.

Mendengar kami berdua berteriak, anak-anak jadi menangis ketakutan.

"Tuh, gara-gara kamu teriak, anak-anakku jadi ketakutan!" seru Mba Ratna langsung memeluk kedua anaknya.

"Yang teriak siapa dulu!" seruku kesal.

"Sekarang siapa yang merapihkan ini semua!?" tanyaku dengan suara keras, "apa Mba?"

Anak-anak memeluk Ibunya erat, dan bergidik melihatku marah.

"Aku nyesel datang ke sini!" seru Mba Ratna langsung menggeret kedua anaknya pergi.

Aku terduduk lemas, sedang Ibu terus membujuk Mba Ratna agar melunak dengan mengikutinya sampai pintu pagar.

Aku mengusap wajahku kasar, napasku sesak menahan semua gejolak di dada. Aku terlalu keras pada anak-anak yang tak tahu apa-apa.

"Maafin Buklikmu ya Nduk," sesalku dalam hati.

Aku memejamkan mata kuat-kuat, dan menoleh saat tangan lembut mengelus wajahku.

Aku menatap wajah sendu itu, lagi-lagi matanya menggenang dengan sejuta luka di sana.

Ah, aku membuat surgaku kembali menangis hari ini. Andai beliau mengutuk saat ini, aku yakin, Allah langsung mengabulkan kutukan itu.

Tubuh kurus itu merengkuhku dalam-dalam, terasa hangat namun ada getaran yang membuatku curiga.

"Ono opo Bu?" (ada apa Bu?) tanyaku sambil menatap netra lamur itu.

Ibu hanya menggeleng, dan aku makin curiga. Aku memegang bahunya kuat-kuat dan menatap tajam.

Ku telusuri wajah Ibu yang memalingkan mukanya.

"Kalung Ibu mana?" tanyaku kemudian yang membuatnya pias seketika.

"A-ada..."

Aku menggeleng, yakin jika Ibu berbohong.

"Bu, kalungnya mana?" tanyaku lagi.

Ibu menunduk, air matanya mengalir deras di pipi.

"Bu!' sergahku sedikit menggoyangkan tubuh ringkih itu.

"Masmu Prapto, minjem Nduk, jarene buat modal tambahan," jawab Ibuku sambil menahan isak.

Aku melepas cengkatamanku dan bersandar lemas.

Sudah kedua kalinya Mas Parpto meminjam kalung Ibu dengan alasan serupa dan tidak pernah di kembalikan.

"Aku ngumpulin loh Bu, buat beli kalungnya," ujarku pelan.

"Nanti di kembalikan, Masmu wes janji," ujar Ibu mencoba membela.

"Ibu iku di apusi karo Mas Prapto, moso yo ora ngerti?" (Ibu itu di bohongi Mas Prapto, masa nggak ngerti?) tanyaku.

"Ini sudah ketiga kalinya loh Bu!" seruku gemas melihat Ibu selalu di perdaya anak-anaknya.

"Aku yakin tadi Mba Ratna juga minta uang kan ke Ibu!" seruku lagi.

Ibu hanya menunduk. Terkaanku benar adanya. Tidak itu saja, aku ingat Mba Ratna selalu meminta beras dengan alasan Ibu dan aku tak butuh makan banyak. Ah, tega sekali dia!

"Bu, Mas Prapto sama Mba Ratna itu sudah kaya Bu!" ujarku mengingatkan.

"Liat, tadi Mba Ratna kesini aja bawa mobil sendiri, masa iya minta sama Ibu?"

Ibu hanya mengusap air matanya.

Aku memeluknya erat.

"Kamu belum jadi Ibu, makanya kamu ndak tahu bagaimana rasanya jadi Ibu," ucap Ibu bergetar dalam pelukanku.

"Aku tahu Bu, tapi mereka juga anak Ibu, mestinya beban ini jangan aku tanggung sendiri Bu," keluhku dalam hati.

Ting.

Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Ibu.

Ibu membacanya, nampak ke kalutan di wajah keriputnya.

Aku langsung menarik ponsel dari genggamannya. Seperti terkejut Ibu berusaha mengambil ponselnya.

Namun aku langsung berdiri dan menjauh dari jangkauan Ibu.

(Bu, uang simpanan Rani buat nikahannya, aku minta ya, toh dia ndak bakal nikah cepet-cepet ini kan? buat bayar cicilan mobil Bu, Mas Aslan ndak mau bayarin mobil yang aku pakai tadi.)

Aku meradang, menatap wajah tua itu yang menghiba.

"Kasihan Nduk, ponakanmu," ujar Ibuku.

Aku menggeleng kepala, namun melihat luruh air mata Ibu, aku bersimpuh di kakinya.

"Bu, ampun Bu, tapi aku ndak rela." ujarku menangis.

"Kasihan, Dimas sama Putri, mereka masih kecil, mereka butuh kendaraan itu buat antar jemputnya sekolah," ujar Ibuku memelas.

"Terus, aku gimana Bu?" tanya ku pilu.

Ibu mengusap punggungku lembut, di kecupnya pucuk kepalaku.

"Rejekimu pasti banyak jika kamu nolongin saudaramu, Ibu yakin itu," jawab Ibu yang membuatku menangis tersedu.

Aku ke kamar, merebahkan tubuh yang penat sangat. Setelah merapihkan seluruh rumah yang seperti kapal pecah. Mata yang perih dan kepala pusing karena kebanyakan menangis.

Aku berbalik dan tak sengaja menyenggol tas kertas yang berisi dua lingeri.

Ku lihat kedua pakaian kurang bahan itu, menepis khayal untuk memakainya dalam jangka dekat.

Ah, pikiranku makin kacau saja. Saat berkhayal pria tampan menatapku terperangah ketika memakai gaun ini di depannya.

"Pria, pria siapa? Calon aja aku ndak punya? Siapa yang mau melamar?" ujarku sambil menghela napas panjang.

Ada sedikit rasa bahagia melihat senyum Ibu tadi, kala aku mengiyakan uangku, diberikan pada Mba Ratna.

Next
jiyanqAvatar border
jiyanq memberi reputasi
1
796
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan