

TS
ulfa1812
Ayah
AYAH
Siang semalam, karena sedang dalam masa pandemi Corona, kami terpaksa melaksanakan kegiatan belajar di rumah.
Kami berjanji akan bekerja secara kelompok, sambil menunggu yang lain datang, aku mengobrol riang bersama dua temanku yang rumahnya terletak jauh ke pesisir pantai dekat laut, sedangkan rumahku agak ke dalam.
"Fa, tengok ni, gelang emas aku, baru beli," kata Zaya sambil menunjukkan gelang emasnya yang memang terlihat baru.
Aku dan Sania hanya tersenyum kecut, dia beralih mengeluarkan HP-nya.
"Ini HP merk Op*o yang paling trend," ujarnya pongah, mengipas-ngipas wajahnya menggunakan HP berwarna hitam itu.
Bibir ini masih kelu untuk berujar, melihat tingkahnya yang begitu engkek (pongah, suka pamer-pamer) membuat kami kurang nyaman, berharap teman yang lain segera datang agar segera memulai kerja kelompok.
"Ayah aku tak pernah pelit, selalu kasih ape yang aku endak," tuturnya, satu kaki terangkat ke meja sedangkan tangan memutar-mutar pulpen.
Cih!
"Dah tu?"
"Ayah aku jadikan aku anak kesayangan, tak pernah keje di rumah. Tengok kau tu, tak ade emas, HP burok, suke disuroh-suroh same Emak," ejeknya makin kelewatan, Sania hanya menghela napas sedangkan aku membunyikan jemari.
"Zaya, Sandra korang nak denga cerite aku, tak?" tanyaku seraya membetulkan cara duduk, menangkupkan tangan ke pipi sembari menatap dua temanku bergantian.
Kuceritakan dengan bahasa Indonesia di sini, takut kalian gak paham kalau bahasa Melayu.
"Seorang Ayah datang pada Ayahku lima hari yang lalu, mengiba minta diberi kerjaan sedangkan Ayahku hanya seorang nelayan kecil. Beliau mengiba dengan alasan anak gadisnya minta dibelikan HP dan emas." Kujeda cerita, menuang air ke dalam gelas kemudian meneguknya.
"Anaknya tak pernah bekerja di rumah, itulah sebabnya mengapa ia menikah lagi dan terpaksa menjadikan istrinya sebagai Ibu Rumah Tangga dan babu."
"Seorang Ayah itu mengeluh dan menangis di hadapan keluarga kami sekaligus di hadapanku yang saat itu baru selesai salat Magrib. Beliau menangis sejadi-jadinya, memperlihatkan tulang-tulang yang tak lagi berisi daging, hanya lapisan kulit hitam yang terlihat membungkus tulang renta itu. Ada luka di punggungnya karena bekerja paruh waktu sebagai buruh bangunan." Kuseka air mata yang tak sengaja mengalir di pipi. Membayangkan jika aku bersikap malas seperti anak itu, mungkin nasib ayahku akan sama seperti nasib ayah dari anak itu.
"Ketahuilah teman, seorang Ayah akan berusaha mati-matian membelikan dan menuruti apa yang diinginkan anaknya, tak peduli beribu hujaman di tubuh yang akan ia rasakan, tak peduli beribu luka yang akan dirasakan, beliau tetap menghadang semua itu, beliau hebat, ya, dia adalah Ayah kita semua."
"Lalu, bagaimana dengan Ayah itu?" tanya Sania ikut kalut, matanya berembun. Sedangkan Zaya tampak terdiam seribu bahasa.
"Beliau bilang, 'lebih baik saya makan garam asal anak saya makan nasi, lebih baik saya menderita agar anak saya bahagia' itu yang dia bilang tempo hari." Mataku menangkap sosok Zaya yang mulai rapuh.
"Yah, aku memang tak seberuntung kau Zay, punye segalenye, sedangkan aku cume anak nelayan biase. Aku disuruh-suruh itu karene emang tugas aku sebagai anak perempuan satu-satu de, aku harap, cerite tadi dapat jadi pelajaran untuk kite semue, tak usah mintak banyak same abah tu, die belum tentu ade duet, jangan nak menanges kalau tak dapat barang yang diendakkan, belaja usaha sendiri cari duet, nabung diket-diket," ceramahku panjang.
Zaya memundurkan kursi lalu pergi, tampaknya dia pulang, sedangkan Sania ikut pamit mengejar Zaya. Kerja kelompok batal!
"Ketahuilah, Zaya. Ayah yang kuceritakan tadi adalah Ayahmu, dan beliau bekerja menjadi tukang tarik jaring ikan bersama Ayahku." Mata ini menatap Zaya dan Sania yang mulai menjauh, beralih menatap foto ayahku yang terpajang di dinding.
Ayah, terima kasih atas semuanya.
END
Ayah kalian gimana gengs? Jangan banyak nuntut ya, orangtua belum tentu punya uang.
I Love Abah!
Dari Orang Melayu, 26 November 2020
Siang semalam, karena sedang dalam masa pandemi Corona, kami terpaksa melaksanakan kegiatan belajar di rumah.
Kami berjanji akan bekerja secara kelompok, sambil menunggu yang lain datang, aku mengobrol riang bersama dua temanku yang rumahnya terletak jauh ke pesisir pantai dekat laut, sedangkan rumahku agak ke dalam.
"Fa, tengok ni, gelang emas aku, baru beli," kata Zaya sambil menunjukkan gelang emasnya yang memang terlihat baru.
Aku dan Sania hanya tersenyum kecut, dia beralih mengeluarkan HP-nya.
"Ini HP merk Op*o yang paling trend," ujarnya pongah, mengipas-ngipas wajahnya menggunakan HP berwarna hitam itu.
Bibir ini masih kelu untuk berujar, melihat tingkahnya yang begitu engkek (pongah, suka pamer-pamer) membuat kami kurang nyaman, berharap teman yang lain segera datang agar segera memulai kerja kelompok.
"Ayah aku tak pernah pelit, selalu kasih ape yang aku endak," tuturnya, satu kaki terangkat ke meja sedangkan tangan memutar-mutar pulpen.
Cih!
"Dah tu?"
"Ayah aku jadikan aku anak kesayangan, tak pernah keje di rumah. Tengok kau tu, tak ade emas, HP burok, suke disuroh-suroh same Emak," ejeknya makin kelewatan, Sania hanya menghela napas sedangkan aku membunyikan jemari.
"Zaya, Sandra korang nak denga cerite aku, tak?" tanyaku seraya membetulkan cara duduk, menangkupkan tangan ke pipi sembari menatap dua temanku bergantian.
Kuceritakan dengan bahasa Indonesia di sini, takut kalian gak paham kalau bahasa Melayu.
"Seorang Ayah datang pada Ayahku lima hari yang lalu, mengiba minta diberi kerjaan sedangkan Ayahku hanya seorang nelayan kecil. Beliau mengiba dengan alasan anak gadisnya minta dibelikan HP dan emas." Kujeda cerita, menuang air ke dalam gelas kemudian meneguknya.
"Anaknya tak pernah bekerja di rumah, itulah sebabnya mengapa ia menikah lagi dan terpaksa menjadikan istrinya sebagai Ibu Rumah Tangga dan babu."
"Seorang Ayah itu mengeluh dan menangis di hadapan keluarga kami sekaligus di hadapanku yang saat itu baru selesai salat Magrib. Beliau menangis sejadi-jadinya, memperlihatkan tulang-tulang yang tak lagi berisi daging, hanya lapisan kulit hitam yang terlihat membungkus tulang renta itu. Ada luka di punggungnya karena bekerja paruh waktu sebagai buruh bangunan." Kuseka air mata yang tak sengaja mengalir di pipi. Membayangkan jika aku bersikap malas seperti anak itu, mungkin nasib ayahku akan sama seperti nasib ayah dari anak itu.
"Ketahuilah teman, seorang Ayah akan berusaha mati-matian membelikan dan menuruti apa yang diinginkan anaknya, tak peduli beribu hujaman di tubuh yang akan ia rasakan, tak peduli beribu luka yang akan dirasakan, beliau tetap menghadang semua itu, beliau hebat, ya, dia adalah Ayah kita semua."
"Lalu, bagaimana dengan Ayah itu?" tanya Sania ikut kalut, matanya berembun. Sedangkan Zaya tampak terdiam seribu bahasa.
"Beliau bilang, 'lebih baik saya makan garam asal anak saya makan nasi, lebih baik saya menderita agar anak saya bahagia' itu yang dia bilang tempo hari." Mataku menangkap sosok Zaya yang mulai rapuh.
"Yah, aku memang tak seberuntung kau Zay, punye segalenye, sedangkan aku cume anak nelayan biase. Aku disuruh-suruh itu karene emang tugas aku sebagai anak perempuan satu-satu de, aku harap, cerite tadi dapat jadi pelajaran untuk kite semue, tak usah mintak banyak same abah tu, die belum tentu ade duet, jangan nak menanges kalau tak dapat barang yang diendakkan, belaja usaha sendiri cari duet, nabung diket-diket," ceramahku panjang.
Zaya memundurkan kursi lalu pergi, tampaknya dia pulang, sedangkan Sania ikut pamit mengejar Zaya. Kerja kelompok batal!
"Ketahuilah, Zaya. Ayah yang kuceritakan tadi adalah Ayahmu, dan beliau bekerja menjadi tukang tarik jaring ikan bersama Ayahku." Mata ini menatap Zaya dan Sania yang mulai menjauh, beralih menatap foto ayahku yang terpajang di dinding.
Ayah, terima kasih atas semuanya.
END
Ayah kalian gimana gengs? Jangan banyak nuntut ya, orangtua belum tentu punya uang.
I Love Abah!
Dari Orang Melayu, 26 November 2020


jiyanq memberi reputasi
1
565
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan