Kaskus

Story

dwindrawatiAvatar border
TS
dwindrawati
BAHAGIA SETELAH PERCERAIAN
"Mei, ini baju Mas kok masih kusut, sih? Nggak kamu setrika?" Mas Arya muncul dari dalam kamar. Di tangannya, tersampir sehelai kemeja putih bergaris horizontal yang memang dalam keadaan masih kusut.

"Oh iya, Mas. Maaf. Mei belum sempat nyetrika, Valetta rewel sekali kemarin. Nggak mau lepas, maunya digendong terus," jawabku memberi alasan yang sebenarnya.

Mas Arya mendengkus. Tergambar kekesalan pada wajah bersih yang tampaknya habis bercukur itu.

"Kan bisa kamu titipin ke ibu?" ujarnya. Tampak masih tak puas dengan alasan yang kukemukakan barusan.

"Ibu darah tingginya lagi kambuh, Mas. Memang kuminta beliau beristirahat, jadi aku seharian full ngurusin Letta." Kutatap wajah mas Arya, berharap ia juga melihat gurat lelah di wajah ini, lalu memberi pengertian sedikit saja pada kelalaianku kali ini.

"Baju yang lain kan banyak, Mas. Yang udah kusetrika. Ada kan, di lemari?" ucapku lagi.

"Tapi Mas maunya pakai yang ini, Mei. Hari ini Mas ada meeting sama calon client perusahaan, dan baju ini yang Mas anggap paling sesuai untuk dipakai. Citra dari seorang wakil perusahaan kan juga berpengaruh dalam meyakinkan calon client." Mas Arya berkata. Nada suaranya terdengar kesal.

Aku menghela napas berat. Tak mengerti dengan jalan pikiran Mas Arya yang bisa dibilang ribet.

"Ya sudah sini, biar Mei setrika bajunya yang mau Mas pakai itu." Aku berdiri, menjulurkan tangan untuk meraih kemeja ditangannya. Namun tanpa kuduga, ia justru menepis tanganku dengan kasar.

"Udah nggak usah! Biar kusetrika sendiri!" tukasnya tajam. Ia lalu berbalik kembali ke kamar. Samar kudengar ia berkata, 'percuma saja diurus dan dikasih nafkah kalau hal begini saja masih aku yang harus mengerjakan!'

Astaghfirullah ....

***

"Mas, uang bulanan yang Mas transfer kok cuma 2 juta?" Aku bertanya pada mas Arya yang sedang asik bermain dengan Valetta, bayi kami yang berusia delapan bulan, ketika selesai mengecek mutasi rekening pada aplikasi mobile banking-ku.

"Memangnya kenapa? Kurang?" sahut mas Arya dengan wajah dingin.

"Biasanya kan lebih, Mas. Aku tahu loh, gaji kamu berapa, Mas. Dan dua juta ini nggak ada seperlima gaji kamu, Mas." Aku menyuarakan protes.

"Kamu ini, dikasih segitu nggak ada bersyukurnya jadi istri. Kemarin aku kasih uang banyak juga percuma."

"Loh, percuma kenapa, Mas?" tanyaku bingung.

"Ya percuma, lah. Baju kerja juga aku yang nyetrika sendiri."

"Ya Allah Mas ... cuma karena masalah itu? Kan aku sudah kasih alasannya ...." Aku merasa lemas hingga kedua bahuku terkulai mendengar jawaban mas Arya.

"Kamu aja yang gak pinter bagi waktu, Mei. Pas si adek tidur kan, kamu bisa ngerjainnya. Jadi anak rewel menurutku nggak bisa kamu jadikan alasan."

Mas Arya bangkit dan berjalan keluar. Tak lama, terdengar deru mesin mobil dinyalakan, lalu menderum pelan dan suaranya makin menjauh pergi.

Tinggal lah aku berdua Valetta di sini. Aku kemudian duduk menggantikan mas Arya mengasuh Valetta. Tapi pikiranku kemana-mana. Memikirkan uang dua juta yang dijatah mas Arya. Bagaimana aku bisa menutup biaya pengeluaran dengan uang segini?

Bukannya aku tidak bersyukur dengan rejeki yang kuterima. Tapi sungguh, tanggunganku cukup berat karena harus membiayai kuliah adikku, juga membiayai pengobatan rutin ibu untuk terapi sebulan sekali. Sedang ayahku telah lama tiada. Ibu dan Lany adikku, hanya bergantung padaku saat ini.

Dulunya aku adalah wanita bekerja. Kebetulan, aku dulu sekantor dengan mas Arya. Ketika ia meminangku menjadi istri, ia memintaku untuk berhenti bekerja. Ia ingin, aku nantinya hanya fokus sebagai ibu rumah tangga saja.

Saat kukatakan mengenai kondisi keluargaku, mas Arya mengatakan bahwa ia siap mengambil alih tanggungjawabku untuk membiayai segala keperluan ibu dan juga Lany. Maka aku pun menyetujuinya untuk berhenti bekerja.

Padahal, saat itu aku sedang dipromosikan untuk menjadi manajer marketing oleh perusahaan. Tapi kupikir tak apalah, sudah selayaknya seorang istri harus patuh pada suami, bukan? Apalagi, mas Arya benar-benar membuktikan ucapannya.

Tapi kenapa sekarang mas Arya berubah? Lalu bagaimana kuliah Lany yang hanya tinggal dua semester lagi? Bagaimana aku membiayai pengobatan rutin yang harus ibu jalankan tiap sebulan sekali?

***

"Kenapa Mei, kok kamu ngelamun gitu?" Ibu menyapa saat aku duduk tepekur di atas ayunan yang terletak di samping kanan rumah, berhadapan dengan taman yang cukup luas dan kami tanami dengan aneka tanaman bunga hias.

"Nggak ada apa-apa, Bu," jawabku, lalu bergeser ke samping agar ibu bisa duduk.

"Kamu ribut, sama Arya?" tebak ibu. Hatiku serasa langsung mencelos mendengar tebakan ibu yang akurat itu. Aku pun terdiam, entah harus menjawab apa.

"Ibu kemarin nggak sengaja mendengar perdebatan kalian." Ibu berkata. Jeda sesaat sebelum ibu melanjutkan.

"Kasihan kamu, Mei. Sejak ayahmu meninggal, kamu yang harus jadi tulang punggung keluarga. Hanya rumah ini satu-satunya peninggalan almarhum ayahmu." Aku berpaling ke arah ibu yang pandangannya menatap lurus ke depan.

"Jangan bilang kasihan, Bu. Itu sudah jadi kewajiban Mei sebagai anak." Kugenggam erat tangan ibu yang mulai keriput.

"Ibu tak usah risau. Semua akan baik-baik saja, Mei akan cari cara." Kuyakinkan ibu sambil menatap matanya yang mulai kelabu.

****

"Mas, Mei mau kerja saja jika Mas nggak mau nambah uang bulanannya," ucapku pada mas Arya yang tengah bersiap-siap tidur.

"Kerja? Lalu Valetta?" Ia bertanya, urung merebahkan badan.

"Aku akan cari pengasuh untuk Valetta."

"Tega kamu ninggalin anak sama pengasuh sementara kamu di luar sibuk mengejar materi cuma untuk membiayai keluargamu? Mereka lebih penting dari aku dan Valetta? Ibu dan adikmu itu, sampai kapan mau jadi beban di punggungmu?"

Aku terpelongo mendengar ucapan mas Arya barusan. Teganya ia berkata begitu tentang keluargaku. Kutahankan sesak di dada ini. Jangan sampai ada air mata yang tumpah. Aku tak ingin terlihat lemah di depan mas Arya.

"Kamu yang tega, Mas. Sebelum kita menikah pun kamu sudah tahu mengenai kondisi keluargaku. Jika waktu itu kamu tak memintaku berhenti kerja, maka yang kamu anggap baban itu tidak akan berpindah ke kamu!" seruku penuh emosi.

"Jadi sekarang kamu nyesel menikah sama aku?" sinisnya sambil memicingkan mata kepadaku.

"Ini bukan soal menyesal atau tidak. Tapi di sini kamu yang mulai ingkar dari janjimu sendiri, Mas. Jika kamu tidak mau repot-repot membiayai ibu dan adikku yang kamu anggap 'beban', ya biarkan aku bekerja. Aku jadi tidak akan merepotkanmu lagi untuk masalah kebutuhan mereka." ungkapku.

"Ibuku perlu berobat, sedang Lany tinggal setahun lagi kuliahnya akan selesai. Aku tak mau kuliah Lany terhambat hanya karena tak ada biaya," lanjutku.

"Kan bisa cuti sebentar, lalu cari kerjaan dan nabung untuk membiayai kuliahnya sendiri. Kamu itu terlalu memanjakan adikmu. Kalau dia sukses nanti belum tentu dia mau membalas jasamu, Mei!"

"Lalu pengobatan ibuku? Kamu mau suruh ibu cuti berobat dan bekerja juga supaya bisa nabung untuk membiayai pengobatannya sendiri?" tukasku cepat.

Mas Arya bungkam setelah mendengar pertanyaanku yang menyindirnya itu.

"Pokoknya kamu nggak kuijinkan bekerja. Kamu di rumah aja ngurusin Valetta. Ibumu itu, diobatkan atau tidak diobatkan juga tetep saja ujung-ujungnya akan mati juga." Santai sekali lidah mas Arya mengucap kalimat sampah yang membuat darah mendidih dalam sekejab.

Tanpa sadar tanganku melayang ke wajah mas Arya. Sebuah tamparan cukup keras kudaratkan di pipi kanannya hingga meninggalkan bekas kemerahan. Lelaki itu terkejut, matanya membelalak lebar sambil menatapku.

"Kamu berani nampar aku, Mei? Dasar istri durhaka!" sentaknya dengan suara tinggi.

"Iya. Kamu memang pantas mendapatkannya, Mas," ucapku dengan ekspresi wajah dingin, sedingin es.

"Tak pantas kata-kata itu keluar dari mulut seorang menantu tentang mertuanya. Bagaimana jika posisi kita dibalik? Bagaimana perasaanmu jika aku yang bicara begitu tentang mamamu, Mas?"

Mas Arya segera turun dari ranjang. Ia bergerak menuju lemari pakaian lalu dengan cepat membereskan baju-bajunya ke dalam koper.

"Aku akan pergi dari rumah ini, dan baru akan kembali ketika kamu minta maaf dan bersujud di bawah kakiku, Mei. Kita lihat, bisa apa kamu kalau nggak ada aku!" ujarnya setelah selesai membereskan seluruh pakaiannya.

"Silahkan, Mas. Jangan mimpi aku mau melakukannya. Tanpamu pun aku tak takut karena ada Allah di sisiku. Lelaki sepertimu, sungguh tak sebanding jika harus kutukarkan dengan ibu dan adikku. Pergilah," jawabku sambil melipat kedua tangan di dada.

Mas Arya melempar tatapan bengis sebelum akhirnya keluar dari kamar kami, menyeret koper yang berisi pakaiannya.
Diubah oleh dwindrawati 09-09-2021 14:58
c4punk1950...Avatar border
mmuji1575Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 4 lainnya memberi reputasi
5
832
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan