

TS
annirobiah
Tanah Bara
Quote:
"Pindah ajalah dulu. Pindah-pindah tempat tidur. Kali aja bisa sembuh,” ucap Ibu menirukan kalimat kakak iparnya dua puluh tahun silam. Ayah yang kesulitan bersuara hanya mampu memberi isyarat anggukan kepada istrinya. Ibu dilema. Banyak hal perlu dipertimbangkan. Suaminya sakit, itu realita yang harus diterima, tapi bagaimana memboyong enam orang anak yang masih lemah untuk menetap di bumi yang tidak pernah ia jejaki?
“Kita berangkat besok siang kalo udah setuju. Di sana ada rumah yang bisa tempatin. Kalonya soal makan, apa yang kami makan, itu juga yang kelen makan,” lagi, Ibu menirukannya.
Aku khidmat mendengar Ibu bercerita. “Uwakmu itu, dia datang tergesa-gesa dari sini ke kampung kita setelah malamnya bermimpi. Dia nggak banyak mikir. Selesai ngajar, dia langsung berangkat. Sampe kampung tengah malam. Aku bahkan kaget ada yang ngetok-ngetok pintu malam itu.”
“Mimpi?” tanyaku penasaran.
“Iya. Uwakmu mimpi didatangi almarhum suaminya. Suaminya ngomong kalo hidup dia tuh di sini enak, sampe lupa sama adeknya di kampung.”
Aku mengernyitkan dahi mendengar penuturan Ibu, sementara ia terus melanjutkan cerita. “Mimpi itulah yang bawa kita ke sini sampe sekarang.”
Awal tahun 2000-an, Ibu akhirnya memutuskan mengikuti saran kakak ipar. Tentunya dengan persetujuan ayah. Tidak ada pilihan lain. Pindah mungkin satu-satunya solusi yang terlihat kala itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana repotnya ibu memboyong seluruh anggota keluarga ke kota. Ayah sakit dan kami, anak-anaknya masih bocah ingusan yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Keberpindahan kami begitu cepat dan serba mendadak. Uak yang datang dini hari memberi tawaran, esok siangnya langsung dieksekusi. Tetangga tercengang dan turut prihatin, tapi mereka memberi doa, semoga ayah sembuh dan itu pula yang kami harapkan.
Berbulan-bulan telah dilewati, puskesmas dan rumah sakit dijejaki demi kesembuhan ayah. Tapi apa daya, penyakit gaib tidak menemui jalan medis. Seluruh tanah warisan dan perhiasan milik ibu habis sia-sia. Ibu belum menemukan pekerjaan di kota baru. Pengobatan ayah tak kunjung berhenti, sementara materi tergerus tiada berganti.
Aku, kala itu masih tidak tahu apa-apa. Yang kutahu dan masih ingat hingga sedewasa ini adalah aku pernah menemukan banyak ulat di pembaringan ayah. Tapi, aku kecil adalah aku yang tidak memiliki banyak pertanyaan. Semua berbalik ketika dewasa. Banyak hal yang ingin kupertanyakan mengenai ayah kepada ibu. Meski pada akhirnya memilih bungkam dan membiarkan ibu saja yang bercerita sesukanya.
“Dulu, pernah juga dipanggil orang pintar untuk ngobatin ayahmu pas udah pindah ke sini. Kunjungan pertama, nggak ada apa-apa. Kunjungan kedua, selopnya hilang dan yaudah … nggak datang lagi besoknya.”
Aku mengernyitkan kening. “He? Kok hilang pulak?”
“Ya, mana kutau. Pokoknya udah dicari dan nggak ada,” ujar Ibu saat kutanya.
“Tapi di kampung beberapa kali sempat sembuh juga. Itu karena mimpi …,” Ibu diam sejenak, “ada orang tua datang ke mimpiku, trus dia ngomong kalo ada sesuatu di tanah belakang rumah, di deket tiang pondasi. Besok paginya kusuruh ayahmu buat nyari dan ketemu.”
Aku diam saja, membiarkan Ibu bercerita sesukanya.
“Dapet biji item, sebesar biji pinang, tapi dalemnya kroak. Ya, keliatannya kroak, tapi nggak bisa dipecahin pake batu. Akhirnya dibuang ke sungai. Ayahmu sembuh setelah itu.”
“Emang nggak nampak siapa yang nanam di sana?”
Ibu menggeleng. “Belakang rumah emang biasa jadi jalan orang kampung ke pemandian. Tapi, udah taulah siapa yang buatnya.”
“Trus?” tanyaku penasaran.
“Kata ayahmu biar aja.”
What the …. Ah, rasanya aku ingin memaki ayah. Bagaimana bisa bilang biarkan saja, sementara keluarga kecilnya menjadi kesusahan karena itu.
“Beberapa kali juga datang ke rumah marah-marah pas ayahmu lagi makan. Tau jawaban ayahmu? Makan dulu aku, ya. Trus orang itu pergi gitu aja.”
Astaga. Apasih. Baku hantam aja kali, Yah. Gumamku dalam hati.
Dua tiga kali ayah sembuh setelah menemukan benda-benda aneh yang tertanam di sekitaran rumah. Setidaknya begitulah menurut penuturan Ibu hingga pada akhirnya, penyakit ayah semakin parah dan Ibu memutuskan menerima tawaran kakak iparnya.
Setahun hidup di tanah orang, ayah mulai membaik. Ia kemudian kembali ke kampung halaman mengurus semua harta benda miliknya. Rumah tempat kami tinggal dulu; satu-satunya harta warisan yang masih dimiliki ayah, ia serahkan kepada orang yang mengusik kami. Iya, tanah rumah itulah penyebabnya. Harta benda yang didapatkan ayah melalui warisan diganggu gugat oleh keturunan pemilik pertama.
Semua berawal semenjak nenek tiada. Nenek dan pemilik pertama adalah sepupu. Pemilik pertama memberikan tanah itu kepada nenek sebagai ganti uang yang dipinjamnya dahulu. Saat nenek masih hidup, semua masih damai. Tanah masih dingin untuk dijejaki hingga kemudian tanah menjadi panas dan baranya tak kunjung padam saat ayah belum menyerahkan miliknya begitu saja kepada orang lain.
Sejak dahulu, semasa nenek masih ada, sudah santer terdengar bahwa keturunan pemilik pertama sedang mempelajari ilmu hitam. Entah bagaimana ceritanya, percobaan ilmunya dilakukan terhadap ayah. Pada awal-awal percobaan, ayah hanya akan merasakan sakit tak terkira di bagian kepala tepat di pergantian hari. Setelah hari berganti, ayah tidur pulas dan seolah tidak mengalami apa-apa. Siang harinya, ayah juga masih bisa bekerja dari satu tempat wisata ke tempat wisata lainnya. Bermodal tustel, ayah menjajakan jasanya menjadi tukang foto keliling . Tapi, sakit yang terus berkunjung di waktu yang sama terasa ganjil bagi ibu. Ibu mendatangi beberapa orang pintar hingga ke kampung sebelah. Ayah sembuh beberapa waktu, lalu kambuh kembali.
Bisik-bisik rupanya sampai juga kepada Ibu bahwa Bone; keturunan pemilik pertama tanah rumah itu berguru kepada orang yang dimintainya pertolongan. Ibu akhirnya memasrahkan keadaan. Sudah menjadi rahasia umum, amplop yang lebih tebal akan diutamakan keinginannya.
Dua tahun masa percobaan dilalui dengan pasrah hingga akhirnya ajal menjemput nenek. Percobaan kemudian naik level. Kali ini, penyakit ayah dibuat semakin parah. Ayah mulai lelah, tapi sabarnya justru semakin bertambah. Kata ibu, tidak ada keinginan ayah untuk melawan. Entah seberapa besar mangkuk ketabahan ayah. Ia sudah disakiti, keluarga juga, tapi pada akhirnya ia memilih menyerahkan hartanya begitu saja.
Di sini, di Kota Guru Patimpus dan Putri Brayan bersatu, kami memulai kehidupan baru. Ayah mulai membaik, tetapi sesekali masih kambuh juga. Dua tahun menapakkan kaki di kota metropolitan ini, ayah benar-benar sembuh dari penyakit tak kasatmata. Tentu saja setelah rumah di kampung diberikan tanpa embel-embel kepada Bone.
“Apa Ayah meninggal juga karena santet?” Aku memberanikan diri bertanya lebih jauh. Ayah memang sudah pergi berbelas tahun lalu, saat usiaku masih tidak mengerti arti kehilangan sesungguhnya.
Ibu menggeleng lemah. Ia kemudian berujar, “nggak berapa lama, ayahmu mengidap paru-paru basah.”
Ah, aku mulai ingat beberapa hal tentang ayah. Dulu, ia memang acapkali batuk, tapi aku tidak benar-benar ingat apakah ayah seorang perokok hingga Ibu melanjutkan kalimatnya, “sebelum kau lahir, ayahmu pecandu berat. Sehari bisa abis tiga bungkus. Pas mulai batuk-batuk, dia stop gitu aja. Taunya bertahun-tahun kemudian malah udah kenak paru-paru basah.”
Aku terdiam. Pikiranku berkelana ke masa lalu menemui sosok lelaki paruh baya itu. Lalu berhenti pada sebuah titik ketika aku menjemputnya ke ujung jalan saat bayang tubuhnya terlihat. Ayah tersenyum di kejauhan. Aku semakin mempercepat langkah, lalu ketika sampai, ia akan menggandeng tangan mungilku dan kami kembali ke rumah.
“Ayah bawa ini,” ucapnya menunjukkan sekantong plastik kresek berwarna hitam. Lagi, bibirnya menyunggingkan senyum.
Membayangkan itu, mendadak air mataku luruh. Ayah tidak pernah menciptakan kenangan perihal sakitnya kepada kami. Jungkir balik hingga menungging yang dilakukannya kala kepala terasa ingin pecah di malam-malam tertentu pergantian hari tidak sedikit pun kami ketahui. Ayah selalu tersenyum bahkan ketika kutemukan ulat di pembaringannya dahulu.
Ayah tidak pernah bercerita mengapa kami sampai ke kota ini. Tidak ada satu kisah pun yang diungkapnya mengenai kampung halaman. Apa yang kami ingat adalah sesuatu yang kami alami sendiri di sana. Ayah, juga Ibu, berhenti menceritakan kampung halaman sejak kali pertama pindah dan memilih fokus pada penyembuhan.
Tapi, ajal tidak ada yang tahu. Ibu sendiri bahkan mengira bahwa ayah akan pergi dalam keadaan tidak lazim.
“Dulu, kukira ayahmu bakal meninggal waktu dia kesakitan sampe jungkir balik dan nungging-nungging …,” Ibu diam sejenak. Ada kaca-kaca pada matanya yang menua. “Atau pas dia cuma bisa di tempat tidur aja karena nggak sanggup lagi ngapa-ngapain. Dulu …,” kali ini suaranya mulai bergetar mengingat tambatan hatinya. “Hari-hariku selalu dihantui ketakutan kalo ayahmu akan meninggal.”
Kali ini, aku mulai enggan mendengar lanjutan cerita Ibu. Aku tahu ia pilu, pun sama halnya denganku. Ada sesuatu yang terasa tersekat di tenggorokan dan membuatku tak mampu mengeluarkan suara. Ini pulalah yang membuatku tidak banyak bertanya tentang ayah, lalu pada akhirnya membiarkan Ibu bercerita sesukanya saja.
Kalau sudah seperti ini, aku akan berpura-pura memainkan gawai. Jari akan menggeser dan menyentuh dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya, sementara pikiran membara jauh dari raga. Ibu pun demikian. Ia akan diam lama. Aku tidak menatapnya, meski dari sudut mata terlihat ia sedang mengenang masa silam.
Berbelas tahun sudah kepergian ayah. Apa yang tidak pernah mereka ungkapkan dahulu, perlahan-lahan mulai diceritakan ibu secara acak. Kadang kala, ibu mendadak menceritakan sakit ayah saat akan kembali ke peraduan. Lain waktu, tertawa mengisahkan kembali ketidaktahuan ibu yang akan merusak semua pekerjaan ayah tatkala kamar gelap; sebuah ruang yang disulap untuk mencetak roll film, mendadak lampu dinyalakannya. Sepenggal demi sepenggal, segala kenangan ayah mulai diceritakan ibu kepada kami. Satu-satunya yang tidak pernah diungkapkan adalah perihal keluarga Bone. Bahkan, kepulangan yang berkali-kali ke kampung halaman tidak pernah membuat ibu menunjukkan sosok itu kepada kami.
Ah, barangkali hanya aku saja yang tidak mengenal sosok itu karena usia yang terlalu dini saat kepindahan dahulu. Mungkin, abang dan kakak samar-samar masih mengingatnya, tapi yang pasti, mereka pun tampaknya enggan memberi tahu. Entah bagaimana kesepakatan itu bermula, segala hal yang berhubungan dengan keluarga Bone dianggap tidak pernah ada di dunia.
“Kita berangkat besok siang kalo udah setuju. Di sana ada rumah yang bisa tempatin. Kalonya soal makan, apa yang kami makan, itu juga yang kelen makan,” lagi, Ibu menirukannya.
Aku khidmat mendengar Ibu bercerita. “Uwakmu itu, dia datang tergesa-gesa dari sini ke kampung kita setelah malamnya bermimpi. Dia nggak banyak mikir. Selesai ngajar, dia langsung berangkat. Sampe kampung tengah malam. Aku bahkan kaget ada yang ngetok-ngetok pintu malam itu.”
“Mimpi?” tanyaku penasaran.
“Iya. Uwakmu mimpi didatangi almarhum suaminya. Suaminya ngomong kalo hidup dia tuh di sini enak, sampe lupa sama adeknya di kampung.”
Aku mengernyitkan dahi mendengar penuturan Ibu, sementara ia terus melanjutkan cerita. “Mimpi itulah yang bawa kita ke sini sampe sekarang.”
Awal tahun 2000-an, Ibu akhirnya memutuskan mengikuti saran kakak ipar. Tentunya dengan persetujuan ayah. Tidak ada pilihan lain. Pindah mungkin satu-satunya solusi yang terlihat kala itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana repotnya ibu memboyong seluruh anggota keluarga ke kota. Ayah sakit dan kami, anak-anaknya masih bocah ingusan yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Keberpindahan kami begitu cepat dan serba mendadak. Uak yang datang dini hari memberi tawaran, esok siangnya langsung dieksekusi. Tetangga tercengang dan turut prihatin, tapi mereka memberi doa, semoga ayah sembuh dan itu pula yang kami harapkan.
Berbulan-bulan telah dilewati, puskesmas dan rumah sakit dijejaki demi kesembuhan ayah. Tapi apa daya, penyakit gaib tidak menemui jalan medis. Seluruh tanah warisan dan perhiasan milik ibu habis sia-sia. Ibu belum menemukan pekerjaan di kota baru. Pengobatan ayah tak kunjung berhenti, sementara materi tergerus tiada berganti.
Aku, kala itu masih tidak tahu apa-apa. Yang kutahu dan masih ingat hingga sedewasa ini adalah aku pernah menemukan banyak ulat di pembaringan ayah. Tapi, aku kecil adalah aku yang tidak memiliki banyak pertanyaan. Semua berbalik ketika dewasa. Banyak hal yang ingin kupertanyakan mengenai ayah kepada ibu. Meski pada akhirnya memilih bungkam dan membiarkan ibu saja yang bercerita sesukanya.
“Dulu, pernah juga dipanggil orang pintar untuk ngobatin ayahmu pas udah pindah ke sini. Kunjungan pertama, nggak ada apa-apa. Kunjungan kedua, selopnya hilang dan yaudah … nggak datang lagi besoknya.”
Aku mengernyitkan kening. “He? Kok hilang pulak?”
“Ya, mana kutau. Pokoknya udah dicari dan nggak ada,” ujar Ibu saat kutanya.
“Tapi di kampung beberapa kali sempat sembuh juga. Itu karena mimpi …,” Ibu diam sejenak, “ada orang tua datang ke mimpiku, trus dia ngomong kalo ada sesuatu di tanah belakang rumah, di deket tiang pondasi. Besok paginya kusuruh ayahmu buat nyari dan ketemu.”
Aku diam saja, membiarkan Ibu bercerita sesukanya.
“Dapet biji item, sebesar biji pinang, tapi dalemnya kroak. Ya, keliatannya kroak, tapi nggak bisa dipecahin pake batu. Akhirnya dibuang ke sungai. Ayahmu sembuh setelah itu.”
“Emang nggak nampak siapa yang nanam di sana?”
Ibu menggeleng. “Belakang rumah emang biasa jadi jalan orang kampung ke pemandian. Tapi, udah taulah siapa yang buatnya.”
“Trus?” tanyaku penasaran.
“Kata ayahmu biar aja.”
What the …. Ah, rasanya aku ingin memaki ayah. Bagaimana bisa bilang biarkan saja, sementara keluarga kecilnya menjadi kesusahan karena itu.
“Beberapa kali juga datang ke rumah marah-marah pas ayahmu lagi makan. Tau jawaban ayahmu? Makan dulu aku, ya. Trus orang itu pergi gitu aja.”
Astaga. Apasih. Baku hantam aja kali, Yah. Gumamku dalam hati.
Dua tiga kali ayah sembuh setelah menemukan benda-benda aneh yang tertanam di sekitaran rumah. Setidaknya begitulah menurut penuturan Ibu hingga pada akhirnya, penyakit ayah semakin parah dan Ibu memutuskan menerima tawaran kakak iparnya.
Setahun hidup di tanah orang, ayah mulai membaik. Ia kemudian kembali ke kampung halaman mengurus semua harta benda miliknya. Rumah tempat kami tinggal dulu; satu-satunya harta warisan yang masih dimiliki ayah, ia serahkan kepada orang yang mengusik kami. Iya, tanah rumah itulah penyebabnya. Harta benda yang didapatkan ayah melalui warisan diganggu gugat oleh keturunan pemilik pertama.
Semua berawal semenjak nenek tiada. Nenek dan pemilik pertama adalah sepupu. Pemilik pertama memberikan tanah itu kepada nenek sebagai ganti uang yang dipinjamnya dahulu. Saat nenek masih hidup, semua masih damai. Tanah masih dingin untuk dijejaki hingga kemudian tanah menjadi panas dan baranya tak kunjung padam saat ayah belum menyerahkan miliknya begitu saja kepada orang lain.
Sejak dahulu, semasa nenek masih ada, sudah santer terdengar bahwa keturunan pemilik pertama sedang mempelajari ilmu hitam. Entah bagaimana ceritanya, percobaan ilmunya dilakukan terhadap ayah. Pada awal-awal percobaan, ayah hanya akan merasakan sakit tak terkira di bagian kepala tepat di pergantian hari. Setelah hari berganti, ayah tidur pulas dan seolah tidak mengalami apa-apa. Siang harinya, ayah juga masih bisa bekerja dari satu tempat wisata ke tempat wisata lainnya. Bermodal tustel, ayah menjajakan jasanya menjadi tukang foto keliling . Tapi, sakit yang terus berkunjung di waktu yang sama terasa ganjil bagi ibu. Ibu mendatangi beberapa orang pintar hingga ke kampung sebelah. Ayah sembuh beberapa waktu, lalu kambuh kembali.
Bisik-bisik rupanya sampai juga kepada Ibu bahwa Bone; keturunan pemilik pertama tanah rumah itu berguru kepada orang yang dimintainya pertolongan. Ibu akhirnya memasrahkan keadaan. Sudah menjadi rahasia umum, amplop yang lebih tebal akan diutamakan keinginannya.
Dua tahun masa percobaan dilalui dengan pasrah hingga akhirnya ajal menjemput nenek. Percobaan kemudian naik level. Kali ini, penyakit ayah dibuat semakin parah. Ayah mulai lelah, tapi sabarnya justru semakin bertambah. Kata ibu, tidak ada keinginan ayah untuk melawan. Entah seberapa besar mangkuk ketabahan ayah. Ia sudah disakiti, keluarga juga, tapi pada akhirnya ia memilih menyerahkan hartanya begitu saja.
Di sini, di Kota Guru Patimpus dan Putri Brayan bersatu, kami memulai kehidupan baru. Ayah mulai membaik, tetapi sesekali masih kambuh juga. Dua tahun menapakkan kaki di kota metropolitan ini, ayah benar-benar sembuh dari penyakit tak kasatmata. Tentu saja setelah rumah di kampung diberikan tanpa embel-embel kepada Bone.
“Apa Ayah meninggal juga karena santet?” Aku memberanikan diri bertanya lebih jauh. Ayah memang sudah pergi berbelas tahun lalu, saat usiaku masih tidak mengerti arti kehilangan sesungguhnya.
Ibu menggeleng lemah. Ia kemudian berujar, “nggak berapa lama, ayahmu mengidap paru-paru basah.”
Ah, aku mulai ingat beberapa hal tentang ayah. Dulu, ia memang acapkali batuk, tapi aku tidak benar-benar ingat apakah ayah seorang perokok hingga Ibu melanjutkan kalimatnya, “sebelum kau lahir, ayahmu pecandu berat. Sehari bisa abis tiga bungkus. Pas mulai batuk-batuk, dia stop gitu aja. Taunya bertahun-tahun kemudian malah udah kenak paru-paru basah.”
Aku terdiam. Pikiranku berkelana ke masa lalu menemui sosok lelaki paruh baya itu. Lalu berhenti pada sebuah titik ketika aku menjemputnya ke ujung jalan saat bayang tubuhnya terlihat. Ayah tersenyum di kejauhan. Aku semakin mempercepat langkah, lalu ketika sampai, ia akan menggandeng tangan mungilku dan kami kembali ke rumah.
“Ayah bawa ini,” ucapnya menunjukkan sekantong plastik kresek berwarna hitam. Lagi, bibirnya menyunggingkan senyum.
Membayangkan itu, mendadak air mataku luruh. Ayah tidak pernah menciptakan kenangan perihal sakitnya kepada kami. Jungkir balik hingga menungging yang dilakukannya kala kepala terasa ingin pecah di malam-malam tertentu pergantian hari tidak sedikit pun kami ketahui. Ayah selalu tersenyum bahkan ketika kutemukan ulat di pembaringannya dahulu.
Ayah tidak pernah bercerita mengapa kami sampai ke kota ini. Tidak ada satu kisah pun yang diungkapnya mengenai kampung halaman. Apa yang kami ingat adalah sesuatu yang kami alami sendiri di sana. Ayah, juga Ibu, berhenti menceritakan kampung halaman sejak kali pertama pindah dan memilih fokus pada penyembuhan.
Tapi, ajal tidak ada yang tahu. Ibu sendiri bahkan mengira bahwa ayah akan pergi dalam keadaan tidak lazim.
“Dulu, kukira ayahmu bakal meninggal waktu dia kesakitan sampe jungkir balik dan nungging-nungging …,” Ibu diam sejenak. Ada kaca-kaca pada matanya yang menua. “Atau pas dia cuma bisa di tempat tidur aja karena nggak sanggup lagi ngapa-ngapain. Dulu …,” kali ini suaranya mulai bergetar mengingat tambatan hatinya. “Hari-hariku selalu dihantui ketakutan kalo ayahmu akan meninggal.”
Kali ini, aku mulai enggan mendengar lanjutan cerita Ibu. Aku tahu ia pilu, pun sama halnya denganku. Ada sesuatu yang terasa tersekat di tenggorokan dan membuatku tak mampu mengeluarkan suara. Ini pulalah yang membuatku tidak banyak bertanya tentang ayah, lalu pada akhirnya membiarkan Ibu bercerita sesukanya saja.
Kalau sudah seperti ini, aku akan berpura-pura memainkan gawai. Jari akan menggeser dan menyentuh dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya, sementara pikiran membara jauh dari raga. Ibu pun demikian. Ia akan diam lama. Aku tidak menatapnya, meski dari sudut mata terlihat ia sedang mengenang masa silam.
Berbelas tahun sudah kepergian ayah. Apa yang tidak pernah mereka ungkapkan dahulu, perlahan-lahan mulai diceritakan ibu secara acak. Kadang kala, ibu mendadak menceritakan sakit ayah saat akan kembali ke peraduan. Lain waktu, tertawa mengisahkan kembali ketidaktahuan ibu yang akan merusak semua pekerjaan ayah tatkala kamar gelap; sebuah ruang yang disulap untuk mencetak roll film, mendadak lampu dinyalakannya. Sepenggal demi sepenggal, segala kenangan ayah mulai diceritakan ibu kepada kami. Satu-satunya yang tidak pernah diungkapkan adalah perihal keluarga Bone. Bahkan, kepulangan yang berkali-kali ke kampung halaman tidak pernah membuat ibu menunjukkan sosok itu kepada kami.
Ah, barangkali hanya aku saja yang tidak mengenal sosok itu karena usia yang terlalu dini saat kepindahan dahulu. Mungkin, abang dan kakak samar-samar masih mengingatnya, tapi yang pasti, mereka pun tampaknya enggan memberi tahu. Entah bagaimana kesepakatan itu bermula, segala hal yang berhubungan dengan keluarga Bone dianggap tidak pernah ada di dunia.
Diubah oleh annirobiah 05-09-2021 13:43






bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
1
798
Kutip
6
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan