

TS
faizalfadilah
For You
Hay guys kali ini ane bakal mengangkat cerita dari sebuah grup di sosial media.
Dari cerita ini di kisah kan seorang mahasiswa yang tulus mencintai wanita hingga menunggu 3 tahun lamanya .
Yo biar kita ga penasaran dengan kisah nya ,langsung aja ya guys kita ke inti ceritanya
*
Aku duduk di tepi ranjang dengan dada berdebar. Beberapa kali aku menoleh ke pintu dengan desir yang sedari tadi aku rasakan. Perlahan, pintu kamar dibuka, disusul sosok berkemeja putih masuk dengan senyum di wajahnya.
Aku menunduk, meremas jemari saat langkahnya kian mendekat, membuat desir di dadaku makin menguat.
**
Entah kapan mulanya aku dan dia akrab. Seingatku itu terjadi lima tahun yang lalu, saat aku membuka usaha kue. Dia melamar untuk mengantarkan kepada pelanggan. Sejak saat itu, dia bekerja kepadaku.
"Mbak, lapis Surabaya 2, bolu gulung 3, pie susu ori 1 kotak. Aku ambil sore." Pesan darinya.
"Oke." Aku membalas sambil sesekali memeriksa adonan dalam wadah.
Tak ada yang istimewa di antara kami. Bagiku, dia yang usianya lebih muda empat tahun dariku sudah aku anggap seperti adik.
.
Sore harinya, dia datang ke toko mengambil pesanan.
Makin lama, saat dia sudah beberapa minggu bekerja, dia sering membantu mengemas kue-kue.
"Kuliahnya gimana?" tanyaku.
"Gak gimana-gimana. Bosen!" Seperti biasa, dia bicara sekenanya.
"Jangan gitu. Kuliah itu untuk masa depan kamu." Aku memasukkan dus kue yang terakhir ke dalam paper bag.
"Dosennya gak ada yang cantik."
"Dih." Aku mencebik. "Kamu mau kuliah apa nyari pacar?"
"Kalo bisa keduanya, lebih asik itu, Mbak."
"Dasar, kamu!"
Aku dan dia terbiasa bercanda atau membicarakan hal sederhana. Kadang, dia menanyakan mata kuliahnya yang kebetulan sama dengan jurusanku dulu. Sementara aku menerima masukan darinya tentang memperluas jaringan, agar lebih banyak pelanggan.
.
Enam bulan berlalu sejak tokoku dibuka.
Hari itu menjadi hari paling suram dalam hidupku. Di bawah guyuran hujan, aku pulang dari toko pukul lima sore.
Tiba di rumah aku langsung menyiapkan makanan untuk suamiku. Biasanya, sebentar lagi dia sampai di rumah beserta Azalea—anak kami—yang selalu minta bermain di rumah Ibu bersama para sepupunya. Namun, sampai dua jam menunggu, mereka belum juga datang.
Sampai akhirnya, dering telepon saat azan Isya berkumandang membawa berita yang tak pernah aku ingin dengarkan seumur hidup. Berita yang membuat duniaku runtuh.
Suami dan anakku mengalami kecelakaan.
Entah bagaimana aku menggambarkan perasaanku saat itu. Ditinggalkan suami berpulang ke pangkuan Ilahi. Sementara Azalea—putri kecilku yang berumur tiga tahun—harus terbaring di ruang ICU.
Aku terpuruk.
Semua keluarga menguatkanku, memberi kasih sayang penuh agar aku tak jatuh. Ada Azalea yang membutuhkanku.
.
Tiga bulan lamanya pemulihan anakku. Pulih dalam artian pulang dari rumah sakit dan berlanjut dirawat di rumah.
Selesai masa iddah, aku kembali membuka toko. Hidup harus terus berjalan, apalagi sudah tak ada suami yang menopang perekonomian.
Azalea dirawat di rumah. Ibu dan saudara lain ikut membantu. Sepupu-sepupuku juga ikut mengurusi toko.
Sampai suatu hari. Tepatnya setelah tiga bulan masa Iddahku selesai, aku mengalami guncangan kembali dalam hidup. Dia yang sudah aku anggap seperti adik sendiri tega datang menemui Ibu untuk melamarku.
Aku, Ibu, dan saudara-saudara lain syok.
Dia bersikukuh, jika perasaannya kepadaku dan Azalea tulus. Namun, aku tak terima.
Pelan, aku memberi penjelasan, bahwa yang dia rasakan hanya simpati dan rasa kasihan saja. Sayang, sedikit pun dia tak mau mengerti. Hingga apa yang diutarakannya sudah di luar batas. Dia bilang, sudah menyukaiku sejak pertama bekerja.
Aku menamparnya.
Setelah kejadian itu, aku memecatnya. Entah dia berada di mana. Aku tak peduli lagi.
.
Setahun kemudian, dia datang kembali. Berkali aku menolak bertemu, tapi beribu kali dia tetap bersikeras ingin bicara kepadaku.
Akhirnya, aku menyerah.
Aku memberinya kesempatan menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan.
"Aku mohon, Mbak." Wajahnya terlihat tulus. "Jika kemarin-kemarin Mbak melihatku sebagai mahasiswa biasa yang sudah dianggap seperti adik sendiri, sekarang lihat aku sebagai laki-laki."
"Jangan main-main. Pernikahan bukan hal gampang segampang kamu datang ke rumah saat iddahku baru saja selesai," geramku.
"Aku minta maaf, Mbak. Tapi sungguh, beri aku kesempatan untuk buktikan perasaanku padamu ini gak main-main."
Aku menghela napas dalam seraya memejamkan mata perlahan. Memberi pengertian kepadanya, ternyata sama seperti membelah genangan alir. Mustahil.
"Baiklah." Akhirnya aku mengalah.
Seketika, senyum terbit di wajahnya. "Apa yang mesti aku buat, Mbak?"
"Kamu menghilang," ucapku datar.
Senyum itu langsung lenyap, diganti dengan tatap mata penuh tanya.
"Cobalah untuk menjauh dariku. Jika setelah menjauh perasaanmu tak berubah, maka datanglah kembali kepadaku."
"Berapa lama?" Dia bertanya pelan. Ada kegetiran dari suaranya yang terdengar bergetar.
"Tiga tahun."
.
Aku pikir, ucapanku itu bisa membuatnya menyerah, menyadari jika perasaannya kepadaku hanya sepintas saja. Nyatanya, setelah dia memblokir semua akses komunikasi kami, aku mulai merasa lain.
Perasaan cemas, takut, dan entah lainnya mengalahkanku. Sungguh tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Satu yang kupahami saat itu, hanya ingin tahu kabarnya.
"Selesai wisuda, dia langsung kembali ke kotanya."
Itu informasi yang kudapat dari salah satu teman kuliahnya.
Hatiku mencelus, menyadari dia benar-benar pergi ke seberang pulau sana dengan membawa sesuatu dalam hatiku.
Kehampaan.
.
Cinta bisa pudar seiiring berjalannya waktu. Pun semakin menguat saat diuji waktu. Itu yang dia buktikan. Tiga tahun berselang setelah permintaanku, dia benar-benar datang.
"Jadi, gimana sekarang? Udah bisa diajak nikah?" Dia bertanya santai.
**
Kini, melihatnya duduk di hadapanku dengan status baru, membuatku yakin akan satu hal. Bahwa saat kami tak saling bertemu dan bertukar kabar selama tiga tahun itu, bukan hanya dia yang mempertahankan perasaannya, tapi aku juga mulai memupuk rindu.
Tiga tahun itu membuatku sadar, perasaan sayang pada seorang mahasiswa yang sudah aku anggap seperti adik sendiri, berubah menjadi perasaan seorang wanita kepada kekasihnya.
Aku jatuh cinta.
"Sha, kenapa senyum-senyum gitu?" Dia menatap heran.
"Lucu."
"Apanya?"
"Kamu." Aku menggigit bibir, lalu mengalihkan pandangan.
Dia menaikkan sebelah alisnya. "Apanya?"
"Gak panggil aku 'Mbak' lagi?" Aku mendongak.
"Aku suamimu!" Dia berdecak sambil menggulung kemeja putihnya sampai sikut. "Sekarang, kamu harus panggil aku 'Mas'!"
Seketika, aku terbahak-bahak. Setiap mendengarnya memanggil namaku langsung, aku merasa ... geli. Entahlah nanti.
"Aku serius." Mata tajamnya menyipit.
"Naufal!" panggilku setelah tawa mereda.
"Ck!"
"Iya, iya, nanti." Aku menatapnya, kali ini dengan desir di dalam dada.
"Kapan?"
"Aku belajar dulu," elakku.
"Hm." Dia hendak beranjak.
"Kamu sabar, ya, ... Mas." Aku menyentuh lengannya.
Lalu, kami tersenyum diiringi perasaan dan debar masing-masing.
TAMAT.
Sumber:disini
Dari cerita ini di kisah kan seorang mahasiswa yang tulus mencintai wanita hingga menunggu 3 tahun lamanya .
Yo biar kita ga penasaran dengan kisah nya ,langsung aja ya guys kita ke inti ceritanya
*
Aku duduk di tepi ranjang dengan dada berdebar. Beberapa kali aku menoleh ke pintu dengan desir yang sedari tadi aku rasakan. Perlahan, pintu kamar dibuka, disusul sosok berkemeja putih masuk dengan senyum di wajahnya.
Aku menunduk, meremas jemari saat langkahnya kian mendekat, membuat desir di dadaku makin menguat.
**
Entah kapan mulanya aku dan dia akrab. Seingatku itu terjadi lima tahun yang lalu, saat aku membuka usaha kue. Dia melamar untuk mengantarkan kepada pelanggan. Sejak saat itu, dia bekerja kepadaku.
"Mbak, lapis Surabaya 2, bolu gulung 3, pie susu ori 1 kotak. Aku ambil sore." Pesan darinya.
"Oke." Aku membalas sambil sesekali memeriksa adonan dalam wadah.
Tak ada yang istimewa di antara kami. Bagiku, dia yang usianya lebih muda empat tahun dariku sudah aku anggap seperti adik.
.
Sore harinya, dia datang ke toko mengambil pesanan.
Makin lama, saat dia sudah beberapa minggu bekerja, dia sering membantu mengemas kue-kue.
"Kuliahnya gimana?" tanyaku.
"Gak gimana-gimana. Bosen!" Seperti biasa, dia bicara sekenanya.
"Jangan gitu. Kuliah itu untuk masa depan kamu." Aku memasukkan dus kue yang terakhir ke dalam paper bag.
"Dosennya gak ada yang cantik."
"Dih." Aku mencebik. "Kamu mau kuliah apa nyari pacar?"
"Kalo bisa keduanya, lebih asik itu, Mbak."
"Dasar, kamu!"
Aku dan dia terbiasa bercanda atau membicarakan hal sederhana. Kadang, dia menanyakan mata kuliahnya yang kebetulan sama dengan jurusanku dulu. Sementara aku menerima masukan darinya tentang memperluas jaringan, agar lebih banyak pelanggan.
.
Enam bulan berlalu sejak tokoku dibuka.
Hari itu menjadi hari paling suram dalam hidupku. Di bawah guyuran hujan, aku pulang dari toko pukul lima sore.
Tiba di rumah aku langsung menyiapkan makanan untuk suamiku. Biasanya, sebentar lagi dia sampai di rumah beserta Azalea—anak kami—yang selalu minta bermain di rumah Ibu bersama para sepupunya. Namun, sampai dua jam menunggu, mereka belum juga datang.
Sampai akhirnya, dering telepon saat azan Isya berkumandang membawa berita yang tak pernah aku ingin dengarkan seumur hidup. Berita yang membuat duniaku runtuh.
Suami dan anakku mengalami kecelakaan.
Entah bagaimana aku menggambarkan perasaanku saat itu. Ditinggalkan suami berpulang ke pangkuan Ilahi. Sementara Azalea—putri kecilku yang berumur tiga tahun—harus terbaring di ruang ICU.
Aku terpuruk.
Semua keluarga menguatkanku, memberi kasih sayang penuh agar aku tak jatuh. Ada Azalea yang membutuhkanku.
.
Tiga bulan lamanya pemulihan anakku. Pulih dalam artian pulang dari rumah sakit dan berlanjut dirawat di rumah.
Selesai masa iddah, aku kembali membuka toko. Hidup harus terus berjalan, apalagi sudah tak ada suami yang menopang perekonomian.
Azalea dirawat di rumah. Ibu dan saudara lain ikut membantu. Sepupu-sepupuku juga ikut mengurusi toko.
Sampai suatu hari. Tepatnya setelah tiga bulan masa Iddahku selesai, aku mengalami guncangan kembali dalam hidup. Dia yang sudah aku anggap seperti adik sendiri tega datang menemui Ibu untuk melamarku.
Aku, Ibu, dan saudara-saudara lain syok.
Dia bersikukuh, jika perasaannya kepadaku dan Azalea tulus. Namun, aku tak terima.
Pelan, aku memberi penjelasan, bahwa yang dia rasakan hanya simpati dan rasa kasihan saja. Sayang, sedikit pun dia tak mau mengerti. Hingga apa yang diutarakannya sudah di luar batas. Dia bilang, sudah menyukaiku sejak pertama bekerja.
Aku menamparnya.
Setelah kejadian itu, aku memecatnya. Entah dia berada di mana. Aku tak peduli lagi.
.
Setahun kemudian, dia datang kembali. Berkali aku menolak bertemu, tapi beribu kali dia tetap bersikeras ingin bicara kepadaku.
Akhirnya, aku menyerah.
Aku memberinya kesempatan menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan.
"Aku mohon, Mbak." Wajahnya terlihat tulus. "Jika kemarin-kemarin Mbak melihatku sebagai mahasiswa biasa yang sudah dianggap seperti adik sendiri, sekarang lihat aku sebagai laki-laki."
"Jangan main-main. Pernikahan bukan hal gampang segampang kamu datang ke rumah saat iddahku baru saja selesai," geramku.
"Aku minta maaf, Mbak. Tapi sungguh, beri aku kesempatan untuk buktikan perasaanku padamu ini gak main-main."
Aku menghela napas dalam seraya memejamkan mata perlahan. Memberi pengertian kepadanya, ternyata sama seperti membelah genangan alir. Mustahil.
"Baiklah." Akhirnya aku mengalah.
Seketika, senyum terbit di wajahnya. "Apa yang mesti aku buat, Mbak?"
"Kamu menghilang," ucapku datar.
Senyum itu langsung lenyap, diganti dengan tatap mata penuh tanya.
"Cobalah untuk menjauh dariku. Jika setelah menjauh perasaanmu tak berubah, maka datanglah kembali kepadaku."
"Berapa lama?" Dia bertanya pelan. Ada kegetiran dari suaranya yang terdengar bergetar.
"Tiga tahun."
.
Aku pikir, ucapanku itu bisa membuatnya menyerah, menyadari jika perasaannya kepadaku hanya sepintas saja. Nyatanya, setelah dia memblokir semua akses komunikasi kami, aku mulai merasa lain.
Perasaan cemas, takut, dan entah lainnya mengalahkanku. Sungguh tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Satu yang kupahami saat itu, hanya ingin tahu kabarnya.
"Selesai wisuda, dia langsung kembali ke kotanya."
Itu informasi yang kudapat dari salah satu teman kuliahnya.
Hatiku mencelus, menyadari dia benar-benar pergi ke seberang pulau sana dengan membawa sesuatu dalam hatiku.
Kehampaan.
.
Cinta bisa pudar seiiring berjalannya waktu. Pun semakin menguat saat diuji waktu. Itu yang dia buktikan. Tiga tahun berselang setelah permintaanku, dia benar-benar datang.
"Jadi, gimana sekarang? Udah bisa diajak nikah?" Dia bertanya santai.
**
Kini, melihatnya duduk di hadapanku dengan status baru, membuatku yakin akan satu hal. Bahwa saat kami tak saling bertemu dan bertukar kabar selama tiga tahun itu, bukan hanya dia yang mempertahankan perasaannya, tapi aku juga mulai memupuk rindu.
Tiga tahun itu membuatku sadar, perasaan sayang pada seorang mahasiswa yang sudah aku anggap seperti adik sendiri, berubah menjadi perasaan seorang wanita kepada kekasihnya.
Aku jatuh cinta.
"Sha, kenapa senyum-senyum gitu?" Dia menatap heran.
"Lucu."
"Apanya?"
"Kamu." Aku menggigit bibir, lalu mengalihkan pandangan.
Dia menaikkan sebelah alisnya. "Apanya?"
"Gak panggil aku 'Mbak' lagi?" Aku mendongak.
"Aku suamimu!" Dia berdecak sambil menggulung kemeja putihnya sampai sikut. "Sekarang, kamu harus panggil aku 'Mas'!"
Seketika, aku terbahak-bahak. Setiap mendengarnya memanggil namaku langsung, aku merasa ... geli. Entahlah nanti.
"Aku serius." Mata tajamnya menyipit.
"Naufal!" panggilku setelah tawa mereda.
"Ck!"
"Iya, iya, nanti." Aku menatapnya, kali ini dengan desir di dalam dada.
"Kapan?"
"Aku belajar dulu," elakku.
"Hm." Dia hendak beranjak.
"Kamu sabar, ya, ... Mas." Aku menyentuh lengannya.
Lalu, kami tersenyum diiringi perasaan dan debar masing-masing.
TAMAT.
Sumber:disini






bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
685
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan