Kaskus

Hobby

unievejvongsaAvatar border
TS
unievejvongsa
Sepiring Nasi dan Bawang Goreng (Kisah Nyata)
Sepiring Nasi dan Bawang Goreng (Kisah Nyata)





.


          "Gue pinjem duitlah ...," ujarnya memelas. 


Dia Hasan, teman satu pekerjaanku di pabrik. 


"Duh, gimana, ya ... gue tanya istri dulu, lah ...," jawabku lesu.


"Ayolah, tolongin gue. Lu sama bini, kan sama-sama kerja. Anak belum ada. Masa gak punya pegangan sama sekali. Entar gajian gue bayar!"


Memang, istriku juga bekerja di toko mas tapi dengan gaji yang tidak seberapa. Terlebih, meski belum ada anak, pengeluaran kami walau tidak kekurangan, tetapi tidak seringan yang Hasan bayangkan. Kami harus membayar sewa kontrakan, kemudian ibu dan dua adikku yang masih bersekolah juga menjadi tanggung jawab kami selepas bapak meninggal.


"Iya, tapi gue tanya bini dulu."


"Kalau gak kasian liat bini, gak bakal gue simpen malu minta tolong  sama lu. Tadi istri gue nangis karena gak ada persediaan uang sama sekali. Anak gue juga gak dikasih sangu. Padahal sebelum berangkat gak sarapan dulu." Ditangkupkannya kedua belah tangan menutup wajah, kemudian menyugar rambut gusar. Seketika hatiku terenyuh. 


___


"Bekal kita sampai Abang gajian  nanti ada 500 ribu, Bang. Simpanan kita kan sudah habis dipakai study tour Muna kemarin. Memangnya Bang Hasan mau pinjam berapa?"


Aku tersenyum kecut. Sita memang istri super sabar. Tiga tahun berumah tangga, tak secuil tabungan pun kami miliki karena harus berbagi membiayai sekolah Muna dan Anissa adikku.


"Katanya, sih, 400 ribu, Dek. Kita bagi dua saja. Untuk kita 250 ribu, sebagiannya lagi kita pinjamkan pada Hasan. Tapi beras masih ada, Dek?"


"Beras masih ada, Bang. Iya, pinjamkan saja. Tiga hari lagi juga, kan, Abang sudah gajian." Disodorkannya dua lembar berwarna merah dan satu lembar berwarna biru padaku.


Hasan memang sudah biasa meminjam uang. Jika memang ada yang bisa dipinjamkan, dengan mudah, pasti Sita setuju untuk meminjamkan. Karena memang Hasan tidak pernah ingkar janji.


___


"Mas ... tadi selepas dek pulang kerja, Ibu kemari." 


"Hmmm ... lalu?" 


"Katanya, Anissa harus bayar uang ujian besok. Kalau besok gak bayar, Anissa gak bisa ikut ujian." 


Seketika perhatianku dari televisi teralihkan. Sita tersenyum kecut.


"Kamu kasih, Dek?"


"Aku kasih, Bang. Mau bagaimana lagi. Kasihan kalau Anissa gak bisa ikut ujian."


"Berapa, Dek?"


"200 ribu, Bang." 


Aku terhenyak.


"Berarti bekal kita habis, Dek?"


"Masih ada sisa 30 ribu, Bang. Tapi token listrik habis," ujarnya sembari tersenyum getir.


Ada kilau di matanya.


"Abang pasti laper. Mau makan? Adek ngutang telor ke warung Bu Salamah, ya?"


"Emang Adek berani? Kita, kan gak terbiasa ngutang."


"InsyaAllah berani. Bu Salamah pasti ngasih, koq, Bang."


Aku mengangguk mengiyakan. Tak tega sebenarnya.


___


Tak lama, Sita kembali dengan wajah sendu. 


"Warung Bu Salamah tutup, Bang. Katanya sedang kondangan ke rumah saudaranya."


Selain warung bu Salamah, kami memang tidak berani mengutang di warung lain. Karena hanya ke warung Bu Salamah setiap hari kami berlangganan belanja. 


"Gak pa-pa, Dek. Makan yang ada saja."


"Gak ada apa-apa, Bang. Cuma ada garam. Eh, iya, ada sisa bawang goreng di toples."


"Iya, itu saja, Dek."


Tak lama, Sita muncul dengan sepiring nasi garam dan sejumput bawang goreng.


"Koq cuma sepiring, Dek?"


"Nasinya cuma sisa sepiring. Adek lupa gak masak nasi. Gak pa-pa, adek gak laper, koq."


"Gak boleh, gitu. Ayo kita makan bareng. Apa perlu abang suapin?"


Akhirnya Sita mau makan sembari sesekali memainkan gawainya. 


"Bang ... ini bukannya FBnya Mbak Sari istrinya Bang Hasan, ya?"


"Memangnya kenapa, Dek?" tanyaku sembari menyuap.


"Enggak, Bang. Barusan lewat di beranda lagi makan-makan di gerai ayam geprek yang baru buka itu sama Bang Hasan dan anaknya. Hehehe." Sita tertawa sumbang.


Glek! Sesuap nasi yang tadinya terasa nikmat mendadak terasa seperti kerikil. Sulit sekali tertelan.


"B-besok abang tagih, Dek." 


"Gak usah, Bang. Lusa juga Abang gajian. Bang Hasan juga pasti bayar." Kembali ia menyuap. Sekilas, kulihat bulir bening jatuh ke pangkuannya.


"Dek ...."


"Ini salah, Abang!" ujarnya sembari berusaha tersenyum.


Ada sesak yang tiba-tiba menyeruak. Memang, ini salahku. Ia sudah menderita sejak dulu. Dari kecil Sita sudah yatim piatu. Seharusnya aku membahagiakannya, bukan malah menambah beban penderitaanya.


"Iya, Dek. Maafkan abang. Maafkan keluarga abang yang terus-terusan merecoki keuangan kita. Maafkan abang juga dengan mudah terenyuh dan memberikan pinjaman pada Hasan."


"Bukan itu maksud adek, Bang. Adek ikhlas, koq, membantu keluarga Abang. Mereka keluarga adek juga. Masalah Bang Hasan juga kan adalah kesepakatan kita berdua. Tapi ...."


"Tapi apa, Dek?" potongku.


"Abang inget, gak? Waktu lamar adek, Abang ngomong gini ke Nenek dan Kakek, meski tidak berkecukupan, kalau adek nikah sama Abang, gak akan kehujanan dan kepanasan. Gak bakal gak nemu makan meskipun cuma sama nasi dan bawang goreng. 


Jadinya kan sekarang terkabul. Kita gak kepanasan dan kehujanan, tapi rumah cuman ngontrak. Terus sekarang kita makan sama nasi dan bawang goreng aja, kan? Coba dulu Abang ngomongnya, gini ... Kalau adek nikah sama Abang, kita bakal punya rumah mewah, makan setiap hari sama ayam dan daging. Mungkin sekarang kita jadi orang kaya," jelasnya panjang lebar.


Aku melongo, kemudian tergelak. Sita juga ikut tergelak. Meski tetap ada kemilau yang seakan ia tahan agar tak tumpah dari netranya.


Hargai orang yang menolongmu, terkadang ia membantu bukan karna teramat mampu!


Indramayu, 18 April 2020

carioverkreditAvatar border
jiyanqAvatar border
uniekirdpanAvatar border
uniekirdpan dan 5 lainnya memberi reputasi
6
2.4K
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan