- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Mantan Kabais: Ada perbedaan pandangan mengenai status Papua
TS
mabdulkarim
Mantan Kabais: Ada perbedaan pandangan mengenai status Papua

Foto ilustrasi, sejumlah warga Papua melakukan protes menjelang pelaksanaan Pepera pada tahun 1969. - IST
Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis atau Kabais, Soleman B Ponto mengatakan perbedaan pandangan antara pemerintah dan pihak di Papua, menyebabkan tidak adanya titik temu kedua pihak.
Pemerintah berupaya membenahi Papua. Meningkatkan kesejahteraan orang Papua lewat berbagai kebijakan. Misalnya dengan Otonomi Khusus (Otsus), di sisi lain ada para pihak di Papua menuntut pelurusan sejarah, bergabungnya Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di antara pihak itu, ada yang memilih mengangkat senjata untuk mempertahankan apa yang dianggap benar.
“Bagaimana mau ketemu? Kalau saya lihat, ini beda sudut pandang. Mesti disamakan dulu sudut pandangnya,” kata Soleman Ponto dalam diskusi daring tentang Papua, Jumat malam (27/8/2021).
Ponto menyatakan, bagi pemerintah tidak penting bagaimana pelurusan sejarah Papua. Sebab, yang penting bagi pemerintah berupaya membenahi Papua lewat Otsus. Akan tetapi bagi para pihak di Papua, pelurusan itu penting, bukan Otonomi Khusus.
“Hal yang penting bagi Jakarta, tapi tidak penting bagi Papua. Hal penting bagi pihak di Papua, namun tidak penting bagi pemerintah. Satu pihak mau Otsus, pihak lain mau pelurusan sejarah. Selama pendapat ini tidak pernah ketemu, korban akan terus jatuh,” ujarnya.
Katanya, pemerintah tidak mungkin lepas tangan begitu saja terhadap Papua. Negara selalu ingin yang terbaik untuk provinsi tertimur Indonesia itu lewat kebijakan Otsus.Tuduhan pelanggaran HAM di Papua, dipandang tak dapat dijadikan alasan menuntut referendum untuk Papua.
“Otsus sudah final dan tidak mungkin ada referendum. Sudahlah, jangan lagi orang Papua diberikan angin surga bahwa akan merdeka suatu saat. Akan berakibat pertumpahan darah yang tidak selesai,” ucapnya.
Soleman Ponto mengakui, tidak salah apabila ada pihak yang menyatakan banyak korban kekerasan di Papua selama ini. Akan tetapi mesti dilihat mengapa itu terjadi, dan siapa korban itu sebenarnya.
“Saya tidak membantah jatuh korban. Itu adalah fakta. Namun bagi yang tidak suka, itu pelanggaran HAM. Akan tetapi, bagi pemerintah, itu mempertahankan negara,” katanya.
Sementara itu, aktivis Front Rakyat Indonesia untuk West Papua atau FRI-WP, Surya Anta Ginting berpendapat, selama ini sejarah masuknya Papua ke Indonesia banyak yang dialihkan. Tidak seperti kenyataan yang sebenarnya terjadi saat itu.
Katanya, melihat Papua mesti dari berbagai sudut Pandang. Pemerintah mengklaim orang Papua pada masa itu, juga setuju bergabung dengan Indonesia. Akan tetapi, bagaimana mungkin apa yang diklaim itu dapat diakui kebenarannya, sebab orang Papua yang telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961, tidak dilibatkan dalam perjanjian New York. Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat pada 15 Agustus 1962.
“Akhirnya pada 1 Mei 1963, Papua diserahkan sebagai wilayah perwalian dari Belanda ke Indonesia. Itu dianggap pemerintah kembalinya Irian Barat ke Indonesia. Itu pengalihan sejarah,” kata Surya Anta Ginting.
Katanya, ketika penentuan pendapat rakyat atau Pepera digelar di Papua pada 14 Juli–2 Agustus 1969, sistem yang dipakai bukan satu orang satu suara.Akan tetapi, rakyat Papua ketika itu menentukan apakah merdeka atau bergabung dengan NKRI, lewat perwakilan. Satu orang dapat mewakili beberapa orang. Cara itu, kini dikenal di Papua dengan sistem noken.
“Karena ketika itu, kalau mau pakai sistem satu orang satu suara, pasti pemerintah kalah. Sistem noken itu dibudayakan hingga kini, untuk membenarkan apa yang terjadi pada masa lalu,” ucapnya.
Editor: Angela Flassy
https://jubi.co.id/mantan-kabais-ada...i-status-papua
Apa mungkin Jokowi atau perwakilannya berdialog dengan KNPB atau ULMWP kayak SBY dengan GAM? Kalau tetap nuntut referendum sampai nggak bisa digugat oleh mereka gimana? Waktu Timtim kebetulan ada undang-undangnya lalu dicabut habis itu...
Kalau dituruti kredibilitas pemerintah bisa jatuh. Partai koalisi bisa aja ada yang cabut karena takut jadi pamornya di mata masyarakat.
Tapi coba bikin survei dulu kayak survei pilpres dengan 5000 orang di Papua dan Papua Barat. Kalau referendum diadakan, mau milih pisah atau tetap NKRI? Belum ada yang berani perusahaan survei nasional mencoba
muhamad.hanif.2 dan nomorelies memberi reputasi
2
991
18
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan