Kaskus

Hobby

adegustinasariAvatar border
TS
adegustinasari
Ketika Hidayah Itu Datang

Sudah berulang kali, Aisyah berselisih paham dengan Nenek. Sebenarnya dirinya pun enggan, apalagi melihat wajah beliau yang kian lanjut dimakan usia. Namun, kebiasaan Nenek meminjamkan uang pada orang lain dengan bunga tinggi, membuat Aisyah harus segera bertindak untuk mengingatkannya.

“Kau pikir uang dari mana untuk mencukupi semua kebutuhanmu, ha? Untuk makan, kuliahmu?”

Lagi-lagi, Nenek akan marah jika Aisyah kembali mengajak beliau untuk bertawakal. Tak perlu mencari uang dengan cara yang haram walau dengan alasan keterpaksaan. Allah tak akan pernah meninggalkan hamba-Nya yang berada dalam kesulitan.

“Tapi, Nek, bukan berarti kita harus menghalalkan yang haram, kan?”

“Cukup! Kamu itu masih anak kemarin sore, Aisyah. Tak akan pernah mengerti bagaimana sulitnya untuk hidup. Sebaiknya kamu nggak usah ikut campur apa pun yang Nenek lakukan.”

Wanita sepuh itu memalingkan wajahnya dari Aisyah, lalu menatap nanar ke arah jendela. Aisyah mendesah, lalu perlahan menyingkir dari hadapan beliau.

Untuk saat ini, ia memang belum berhasil mengubah pendapat Nenek, tapi hal itu tak akan menyurutkan niatnya. Aisyah akan memikirkan cara yang lain agar Nenek mau berubah.

***

Andai boleh memilih, rasanya Aisyah ingin pergi jauh dari rumah, menghindar dari urusan hal-hal yang dilematis. Namun, meninggalkan Nenek sendirian dalam kubangan dosa, apakah dirinya sanggup? Lagi pula, Aisyah hanya memiliki Nenek dalam hidupnya, sepeninggal orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan dua tahun silam.

Beberapa lembar uang Aisyah keluarkan dari celengan. Lalu sebuah senyum terlihat dari sudut bibir tatkala ia selesai menghitungnya. Lumayan! Setidaknya uang ini cukup untuk membeli bahan makanan selama satu bulan ke depan.

Kekurangannya bisa ditutupi dengan mengajar les privat untuk anak-anak SD.
Kebetulan kemarin Bu Rohimah, salah satu dosen di kampusnya menawarkan Aisyah untuk mengajar. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ini merupakan kesempatan emas yang tidak boleh untuk disia-siakan.

Aisyah mendesah. Bayang-bayang wajah Nenek menyelimuti pikiran gadis itu.

‘Maafkan Aisyah, Nek. Bukan Aisyah tak menghargai apa yang sudah Nenek lakukan , tapi cucumu ini berusaha agar sesuatu yang syubhat tak masuk ke dalam tubuh,’ batinnya pilu.

Sudah satu bulan Aisyah menjalankan rencananya tanpa sepengetahuan Nenek. Beliau memang sempat curiga melihat cucunya itu tampak ogah-ogahan jika disuruh makan. Namun, selalu ada alasan agar Nenek tak lagi bertanya.

Aisyah sengaja membeli beberapa bahan makanan yang tahan lama dan tidak mudah rusak, sehingga bisa dimasak dua atau tiga hari. Bahkan, tak jarang gadis dua puluhan itu melaksanakan puasa Senin dan Kamis demi menghemat pengeluaran. Alhamdulillah jika ikhlas semua bisa dijalani.

Namun, Aisyah sama sekali tidak menyangka bahwa usahanya malah memberikan dampak negatif bagi fisiknya. Tiba-tiba saja kedua matanya seperti enggan untuk terbuka. Pusing menyergap, mengubah pandangan menjadi gelap. Semua sendi serasa ngilu, lemah tak bertenaga. Hingga tubuh pun tak lagi mampu untuk menyangga.

Lambungnya akan kembali melontarkan setiap makanan yang masuk ke dalam tubuh. Tubuhnya bergolak, nyeri, disertai kepala yang berdenyut seperti dicucuk beribu jarum. Aisyah pun akhirnya limbung, tak sadarkan diri.

Seorang wanita cantik berpakaian putih memeriksa keadaan Aisyah. Dinginnya stetoskop membuat tubuh Aisyah sedikit bergetar. Tak jauh darinya Nenek berdiri sambil menatap cemas.

“Bagaimana, dok?” tanya Nenek sesaat setelah wanita itu memeriksa.

“Tifus. Untuk sementara pasien harus makan makanan yang lunak dulu, dan hindari makanan makanan yang terlalu asam.”

Nenek mengganggu lalu beringsut mendekati Aisyah setelah dokter itu keluar dari kamar. Dirabanya kening, pipi, dan dahi cucu kesayangannya itu. Berharap apa yang ia lakukan dapat sedikit meringankan deritanya.

Tiga hari Aisyah dirawat, tiga hari pula Nenek senantiasa menemani. Tak dihiraukan tubuhnya yang juga terlihat lelah. Berbagai makanan selalu beliau bawa agar selera makan Aisyah bertambah. Namun, selalu ditolak. Ia hanya minum air putih dan makan makanan yang dibawa oleh teman-teman yang kebetulan datang menjenguk.

Sebentar lagi Ramadan segera tiba, tinggal menghitung hari. Aisyah berharap di bulan suci nanti, Nenek dapat menemukan hidayahnya. Gadis itu tak ingin orang yang sangat ia kasihi terlampau jauh masuk ke dalam jurang kemaksiatan.

Suara pintu dibuka, membuat Aisyah menoleh. Nenek masuk sambil masuk sambil membawa mangkuk putih di tangan, lalu duduk di sebelah Aisyah.

“Sudah bangun?”

Aisyah mengangguk.

“Kebetulan Nenek beli bubur ayam langganan kita. Pasti kamu lapar, kan?” ujar Nenek sambil bergerak menyendok bubur lalu mengarahkannya ke mulut Aisyah.

Namun, Aisyah malah memalingkan wajahnya, menolak.

“Kenapa?”

“Aisyah nggak mau makan, Nek.”

“Tapi, kamu harus tetap makan, biar cepat sembuh. Sedikit saja, ya.” Nenek berusaha membujuk.

“Aisyah mual. Mau muntah,” ujarnya berbohong.

Ditundukkan wajahnya tak ingin melihat benik mata Nenek yang mengarah padanya.

“Aisyah marah sama Nenek?”

Gadis itu menggeleng, lalu diam tak menjawab.

Nenek mendesah pelan. “Maafkan Nenek jika selama ini kita sering berbeda pendapat. Nenek hanya berusaha menolong mereka yang kesulitan. Lagi pula, bunga yang Nenek tetapkan lebih rendah dari rentenir yang lain.”

“Tapi, tetap saja apa yang Nenek lakukan itu dosa. Maafkan Aisyah yang sering membantah. Aisyah hanya tak ingin dosa berkalang tanah menyelimuti Nenek.”

Nenek menunduk. Sekilas, Aisyah dapat melihat kedua sudut mata beliau mulai berair. Pelan, gadis itu menyentuh bahu Nenek lalu memeluknya lembut. Beliau terisak, kemudian memeluk tubuh Aisyah erat.

“Maafkan, sifat egois dan keras kepala Nenek, Aisyah. Pintu hati Nenek sudah tertutup. Aisyah sakit begini juga karena Nenek, kan? Nenek tau selama ini kamu sering puasa, tidak mau makan makanan yang sudah Nenek masak atau pesan walau kamu berusaha untuk menyembunyikan. Nenek sedih. Lebih baik Nenek kehilangan harta dari pada harus kehilanganmu.”

“Maafkan Aisyah, Nek. Karena sudah membuat Nenek sedih dan cemas.”
“Bimbing Nenek ya, Syah supaya Nenek bisa lebih dekat dengan-Nya. Apalagi sebentar lagi Ramadan, Nenek ingin di bulan suci itu bisa berubah lebih baik.”

“Tanpa diminta pun, Aisyah akan melakukannya, Nek.”

Rasa bahagia menyelimuti keduanya. Kini perselisihan di antara mereka telah padam. Ternyata hidayah itu datang di saat yang tepat. Tak sabar Aisyah menyongsong bulan suci Ramadan bersama dengan Nenek.

Tamat.
jiyanqAvatar border
jiyanq memberi reputasi
1
1.5K
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan