Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat anggaran negara bekerja keras untuk menopang aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Di tengah penerimaan pajak yang masih terbatas, tambahan pengeluaran untuk pengendalian pandemi datang dari utang.

"Dalam kondisi ekonomi yang tertekan, butuh peranan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) untuk stabilisasi dan counter-cyclical. Ini agar APBN bisa memberikan stimulus. APBN adalah tools, bukan tujuan," papar Luky Alfirman, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, dalam acara Sarasehan 100 Ekonom, Kamis (26/8/2021).

Kebutuhan penanganan pandemi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ini membuat defisit APBN semakin dalam, menjadi 6,14% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020, menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Namun, Luky menegaskan Indonesia bukan satu-satunya karena negara-negara lain juga menghadapi tekanan akibat pandemi. Defisit fiskal di Malaysia mencapai 6% PDB sementara Filipina 7,6% PDB.

"Indonesia relatif terjaga sebenarnya. Kalau dari peraturan perundang-undangan Keuangan Negara, batas utang adalah 60% PDB. Sekarang masih 39,4% PDB, masih jauh di batas bawah Undang-undang Keuangan Negara. Insya Allah kita masih aman," jelas Luky.

link


"Indonesia relatif terjaga sebenarnya. Kalau dari peraturan perundang-undangan Keuangan Negara, batas utang adalah 60% PDB. Sekarang masih 39,4% PDB, masih jauh di batas bawah Undang-undang Keuangan Negara. Insya Allah kita masih aman," jelas Luky.