volcom77Avatar border
TS
volcom77
Sejarah Perang Puputan Badung 1906: Ketidakadilan Belanda


Bencana itu bermula dari sebuah kapal/wangkang berbobot 90,27 Ton bernama 'Sri Kumala' yang mengangkat sauh dari Banjarmasin. Tanggal 27 Mei 1904, kapal karam ini di pesisir pantai Sanur,Wilayah selatan kerajaan Badung.

Menurut laporan sang pemilik yang bernama Kwee Tiktjiang, kapalnya tengah memuat gula pasir, minyak tanah, dan terasi yang akan dibawakan di Bali. Terdapat juga puluhan ribu uang kepeng dan uang perak senilai 3000 Ringgit atau setara dengan 7.500 Gulden.

Setelah gelombang laut reda, dengan didampingi syahbandar Tionghoa Sanur bernama Sik Bo, pemilik kapal dan nahkoda melaporkan kejadian ini pada punggawa sanur Ida Bagus Ngurah.

Ada kesepakatan antara kerajaan-kerajaan Bali dengan Belanda yang menyatakan bahwa raja harus melindungi dan menyelamatkan isi kapal yang karam. Kesepakatan ini diteken pada 1849.

Sebelum tahun itu, yang berlaku adalah hukum Tawan Karang/Taban Karang, dimana sebaliknya raja justru berhak atas kapal yang terdampar di wilayah beserta seluruh muatannya.

Quote:

Punggawa Sanur lantas memerintahkan bawahannya untuk menjaga bangkai kapal 'Sri Kumala' beserta isinya. Sayang setelah beberapa hari, bangkai kapal tidak bisa terancam dan terancam tenggelam. Punggawa memerintahkan rakyat sekitar untuk membongkar dan mengumpulkan muatannya di desa Beaung.

Beberapa pekan setelah peristiwa pembongkaran ini, pemilik kapal mengadu pada Residen Bali dan Lombok bernama J. Eschbach yang berkedudukan di Singaraja.

Dia memohon karena menganggap bahwa kapal beserta hartanya telah dirampas penduduk Sanur. Ia juga mengatakan bahwa ia telah kehilangan uang peraknya yang berharga 7500 Gulden.

Aneh karena para nahkoda dan penduduk berhasil menyelamatkan barang-barang dagangannya. Logikanya, jika benar ada uang di kapal tentulah para penduduk akan menyelamatkan tempat uang terlebih dahulu dibandingkan dengan barang dagangan yang nilainya jauh di bawahnya. Pengaduan tersebut tentu saja menyebabkan munculnya antara pemilik kapal dengan kerajaan Badung.

Quote:

Residen J. Escbach menugaskan bawahannya, yakni seorang kontrolir pada Kantor Urusan Masalah Bumi Putera bernama HJE F. Schwartz agar melakukan pemeriksaan secara teliti di Badung. Schwartz tiba di Badung pada 16 Juli 1904 dan langsung menemukan keterangan dari punggawa Sanur serta menyimpan catatan penyimpanan kapal. Ia tidak mampir ke puri Badung sehingga tidak bertemu dengan raja I Gusti Made Agung yang baru saja dinobatkan 2 tahun sebelumnya.

Dari hasil penyelidikan Schwartz, residen J. Esbach mengirim laporan kepada gubernur Jendral Van Heutsz di Batavia melalui surat Nomor 55/18 Agustus 1904/Rahasia yang isinya sebagai berikut.
  • menyimpulkan benar telah terjadi pencurian dan penjarahan oleh penduduk Sanur terhadap kapal 'Sri Kumala.

  • kerajaan Badung tidak melanggar pasal 11 perjanjian 13 Juli 1849 mengenai penghapusan Tawan Karang, namun raja dianggap lalai karena tidak menjaga kapal 'Sri Kumala' sehingga penjarahan tidak dapat dihindarkan.

  • mengusulkan agar permasalahan dibawa ke Majelis Kerta (Badan Peradilan Kerajaan Badung)

  • menetapkan agar raja Badung membayar kerugian yang dialami pemilik kapal senilai 7500 Gulden

Sebagai Gubernur Jendral, van Heutsz wajib menyertakan Dewan Hindia Belanda sebelum mengambil kebijakan. Ia menugaskan residen agar memantaunya ke Dewan Hindia Belanda.

Tanggal 28 Oktober 1904, J Eschbachpun memberikan laporan pada sidang Dewan Hindia Belanda di ibu kota Batavia. Pada 4 November 1904 Dewan Hindia Belanda mengeluarkan nasehat pada pemerintah agar.

  • mengambil tindakan yang sangat berhati-hati dalam menyelesaikan masalah 'Sri Kumala'

  • menganggap berlebihan bila raja dibebankan biaya ganti rugi 7500 Gulden karena terdapat indikasi ketidakjujuran pemilik kapal Kwee Tjiang dan Residen J. Eschbach yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari musibah 'Sri Kumala.

  • menyarankan gubernur jendral untuk menunggu keputusan Majelis Kerta untuk memutuskan perkara sesuai dengan hukum adat yang berlaku di Badung

Van Heutsz tidak menerima saran dari Dewan Hindia tersebut. Ia ternyata melihat sebuah peluang. Kini terbuka jalan bagi sang gubernur jenderal untuk menjalankan misinya di atas kerajaan Badung. Misi menjalankan prinsip Pax Neerlandica.

PAX NEERLANDICA

Johannes Benedictus Van Heutsz adalah pahlawan perang Belanda. Meskipun kontroversial, hingga kini namanya tetap dikenang dalam memori kolektif warga Belanda.

Ia pernah diabadikan sebagai nama kapal pada tahun 1926, sebagai nama monumen di Aceh dan Batavia tahun 1932, sebagai nama resimen infanteri kerajaan Belanda, nama jalan yang kini berganti menjadi jalan Teuku Umar di wilayah elit Jakarta, hingga judul lagu mars. Sungguh bukan pahlawan kelas kaleng-kaleng.

Perjalanan Luar Biasa. membayangkan, ia menginjakkan kaki pertama kali di tanah Aceh sebagai seorang prajurit letnan dua, namun saat keluar dari bumi serambi Mekah tersebut pangkatnya adalah yang paling tinggi; gubernur militer aceh. Semua itu berasal dari kegemilangannya menjinakkan Aceh.

Tak dinyana perang berlangsung berdarah-darah dan berlarut-larut. Belanda sudah hampir hilang akal akibat besarnya kerugian material dan prajurit yang diderita, sedangkan tanda-tanda kemenangan masih belum terlihat.

Quote:

Van Heutsz dengan bantuan penasehatnya, Snouck Hurgronje mengatasi masalah, mempelajari adat setempat sehingga mampu menemukan strategi yang tepat guna melihat heroiknya perlawanan orang Aceh.

Iapun mampu merumuskan strategi brilian yang berhasil mengubah perang. Prestasi yang membawanya duduk di kursi empuk jabatan gubernur jendral Hindia Belanda untuk masa 5 tahun.

Ia terkenal sebagai perwira yang pro akan terwujudnya Pax Neerlandica, yakni penguasaan seluruh nusantara dibawah satu kesatuan pemerintahan mutlak di bawah pimpinan pemerintah pusat kolonial di Batavia.

Idealisme ini membuat Van Heutsz menutup mata pada realitas di lapangan. Kenyataan yang berlaku di masa itu tidak sesuai karena beberapa wilayah di Hindia Belanda termasuk di Bali memerlukan pendekatan yang berbeda.

Sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, peraturan-undangan pemerintah kolonial tidak berlaku bagi kerajaan-kerajaan di Bali. Bagi Van Heutsz hal semacam ini sangat tidak sesuai dengan prinsip kolonialisme dan mengganggu kewibawaan kerajaan Belanda.

Di bawah sebagai orang jajahan nomor satu di tanah jajahan, ia sangat terdorong untuk menguasai Bali dan menempatkan raja-raja Bali langsung di pemerintahan pusat Batavia. Tentu saja niat Van Heutsz itu tidak mudah diwujudkan karena perjanjian 13 Juli 1849 secara hukum menjamin berlangsungnya pemerintahan dalam negri kerajaan-kerajaan Bali tanpa campur tangan Belanda.

Memulai perang penaklukan di Bali tanpa sebab tentu akan membuat gaduh suasana politik Batavia dan berimbas pada terganggunya hubungan dengan Dewan Hindia maupun dengan parlemen kerajaan Belanda. Peristiwa 'Sri Kumala' adalah peluang tidak terduga yang telah dinantikannya selama ini.

BLOKADE PERAIRAN BADUNG OLEH ANGKATAN LAUT HINDIA BELANDA

Pada 19 Desember 1904 Residen J Eschbach berkunjung ke ibu kota kerajaan Badung Denpasar untuk berbicara dengan raja I Gusti Ngurah Made Agung yang didampingi para pembesar dan punggawa kerajaan.

Residensi pemerintah Hindia Belanda atas ganti rugi'Sri Kumala' yang dibebankan pada raja. Tuntutan ditolak dengan tegas karena raja tersebut dan pemerintah menyatakan Badung merasa tidak bersalah.

Raja telah bertindak sesuai prosedur yakni memerintahkan agar dilakukan penjagaan atas bangkai kapal. Meskipun belum berhasil, beliau juga sudah berusaha mencari pencuri yang dikatakan telah menjarah kapal.

Punggawa Sanur, 11 orang yang menurunkan muatan 'Sri Kumala', serta jumlah penduduk yang bersumpah di pura bahwa mereka tidak mengambil isi kapal.

Sebaliknya, dalam pembelaannya, raja menjelaskan bahwa hanya berkat bantuan 11 orang itulah yang dapat membantu tepat pada waktunya. Ke sebelas orang itu melaksanakan dengan jujur ​​dan tidak mencuri.

Selanjutnya raja berujar bila Kwee Tektjiang merasa dirugikan, sebaiknya dia datang ke Denpasar dan permasalahannya di sidang Majelis Kerta di Denpasar. Jika hal itu disetujui, maka raja juga akan tunduk pada segala putusan Majelis Kerta.

Quote:

Demi mendapatkan tegas tanpa tedeng aling-aling ini, Residen J Escbach meninggalkan Denpasar pada 23 Desember 1904 sambil meninggalkan surat ultimatum disertai ancaman agar raja I Gusti Ngurah Made Agung membayar ganti rugi Selambat-lambatnya pada 5 Januari 1905.

Residen J Eschbach melaporkan semuanya pada Gubernur van Heutsz di Batavia melalui kawat 25 Desember 1904 bernomor 621/ Rahasia. Ia meminta agar segera dikirimkan kapal perang dan pengangkut yang akan digunakan memblokade perairan Badung.

Pendaftarannya disetujui. Dikirimlah kapal 'Zwalu' dan 'Spits milik Angkatan laut Belanda. Waktu berlalu dan seperti yang telah dilupakan sebelumnya, hingga tanggal 5 januari 1905, ganti rugi benar-benar tidak dipilih oleh raja Badung.

Quote:


Quote:

keesokan harinya Belanda mulai melarang penangkapan ikan yang buruk. Keluar barang dagangan juga tidak boleh. Pada 14 Januari 1905 Residen J Escbach mengadakan kunjungan ke perairan Badung untuk memeriksa pelaksanaan blokade. Dalam kesempatan tersebut, ia juga mengadakan pertemuan dengan raja-raja Bali yang lain.

PARA PENGUASA BALI

Residen melakukan pendekatan pada para penguasa Bali agar mendukung blokade terhadap Badung. Berturut-turut ia menemui raja Klungkung, Karangasem, Bangli, dan Tabanan. Raja Bangli Dewa Gede Rai dan raja Gianyar Dewa Manggis VIII memberikan bantuan kepada pemerintah.

Karangasem mendukung Belanda karena telah ditaklukan pada tahun 1894. Raja Karangasem Gusti Gede Jelantik menunjukkan bahwa sudah seharusnya penguasa Badung bertanggungjawab atas insiden “Sri Kumala' dengan membayar ganti rugi.

Quote:

Raja Klungkung Dewa Agung Jambe II lebih netral. Ia mendesak agar diselesaikan dengan cara damai. beliau mengirimkan utusannya ke Denpasar namun upayanya tidak berhasil.

Sikap Klungkung ini bisa dijangkau karena Klungkung banyak mengadopsi beras dari Badung. Bila terjadi blokade dikhawatirkan akan mengganggu pasokan sehingga penduduk terancam menderita.

Quote:


Quote:


Quote:

Pada dasarnya semua kerajaan yang telah ditaklukan Belanda membantu pemerintah kolonial walaupun masing-masing sulit memutuskan hubungan dengan Badung karena juga memiliki kepentingan masing-masing. Saat itu Klungkung dan Bangli belum ditaklukan.

Raja Tabanan Gusti Ngurah Agung memilih berpihak pada raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung karena hubungan dua kerajaan ini sangat dekat. Mereka bahkan memiliki perjanjian pertahanan Bersama. Menurutnya, blokade Badung tidak hanya akan merugikan Badung saja melainkan seluruh Bali pada umumnya.

Blokade menjadi tidak efektif karena Tabanan tidak efektif karena Badung tidak membatasi perbatasannya.

KETEGUHAN DAN HARGA DIRI I GUSTI NGURAH MADE AGUNG

I Gusti Ngurah Made Agung, raja yang keras kepala dan anti diplomasi. Pada 10 Februari 1905 beliau sekali lagi mengirimkan surat pada residen dan menegaskan kembali bahwa badung tidak menodai kesepakatan yang pernah dibuat dan benar-benar tidak bersalah.

Blokade membuat rakyat sengsara karena tidak boleh melaut dan bea cukai dari kerajaan tersendat. Sebagai itikad baik, raja menghadirkan seorang anggota Dewan Kerta untuk bertindak sebagai pembela Kwee Tektjiang. Pemerintah Belanda juga harus membayar ganti kerugian akibat dampak blokade nomor 1500 ringgit atau 3.750 Gulden.

Permohonan ini tidak digubris pemerintah dan blokade jalan terus. Kondisi Badung mencekam sekaligus muram akibat politik ini. sejumlah peristiwa aneh dan fenomena alam ditandai sebagai pertanda akan terjadinya bencana di kalangan rakyat Bali yang masih berlangsung dihinggapi takhayul dan mistis.

Salah satunya adalah peristiwa runtuhnya sebagian bangunan pura Luhur Uluwatu, yang terletak di atas tebing karang tinggi, yang menjorok ke laut di desa Pecatu akhir tahun 1905. Kekhawatiran masyarakat Badung memuncak.

Quote:

Rakyat dan jumlah pemuka Badung menghadap raja dan menambahkan bahwa mereka sanggup bergotong-royong menghimpun dana ganti rugi sebesar 75.000 Gulden agar hubungan dengan Belanda kembali seperti sedia kala.

Para pedagang Bugis dan Tionghoa yang bermukim di Kuta dan pulau Serangan berduyun-duyun datang menghadap hal serupa. Dapat dimaklumi oleh merekalah pihak yang paling dirugikan karena adanya blokade. Mereka tidak bisa berdagang lagi. Ekspor impor Badung berhenti total. Semua permintaan tersebut dengan tegas ditolak oleh raja I Gusti Ngurah Made Agung.

Konon muncul cerita bahwa pada suatu malam, datang seorang utusan berkebangsaan Belanda ke Puri Satria di dalam Puri Agung Denpasar. Utusan tersebut menanyakan apakah raja tidak memiliki uang untuk mengganti kerugian yang diminta.

Raja menjawab bahwa ia memiliki lebih dari cukup harta untuk membayar ganti rugi. Raja tidak menghargai bukan karena masalah uang, karena masalah harga diri.

Untuk menjaga martabat dan kewibawaan kerajaan Badung di mata rakyat dan sekaligus membela diri dari ketidak adilan yang dilakukan pemerintah Belanda atas kasus 'Sri Kumala' yang menimpanya.

PERUNDINGAN TERAKHIR

Bulan demi bulan berlalu dengan tidak adanya perkembangan berarti penyelesaian masalah. Iklim politik di kalangan pemerintah eksekutif Hindia Belanda di Buitenzorg ( Bogor) dan kalangan legislatif di Batavia tengah meninggi akibat semakin populernya Pax Neerlandica. Makin banyak pihak yang keranjingan pada pandangan ini.

Meskipun angin segar bertiup, Van Heutzs yang sejatinya sudah sangat menginginkan perang masih berhati-hati dengan meminta Dewan Hindia Belanda memberikan pendapatnya sehubungan dengan perkembangan yang terjadi.

Dalam rapat pada 31 Maret 1905, Dewan Hindia menginginkan agar Van Heutz berhati-hati dalam masalah pengiriman ekspedisi militer ke Badung.

Dewan Militer tidak setuju dengan Analisis Van Heutzs bahwa raja Badung tidak setuju membayar ganti rugi karena keras dan angkuh. Dewan memberi bukti bahwa raja Badung sebenarnya sangat kooperatif dan memiliki kemauan baik bekerja sama dengan pemerintah.

Pada tanggal 22 Desember 1904 raja I gusti Made Ngurah Agung pernah membuat keputusan tangani kesepakatan yang mengatur penghentian adat 'sati' atau 'mesatiye' (adat kerelaan membakar diri istri-istri bila raja meninggal) di kerajaannya, yang menurut pemerintah sangat tidakb.

Dewan ingin mendekatinya lagi dengan pejabat pejabat tinggi yang berpengalaman.
Gubernur jendral Van Heutzs menindak lanjuti rekomendasi tersebut dengan mengirimkan seorang anggota Dewan Hindia bernama FA Liefrinck pada 7 April 1905 untuk berunding dengan Residen Bali dan raja Badung.

Liefrick berangkat ke Bali pada 12 April tahun yang sama dan 3 hari kemudian mendarat di Singaraja, ibu kota Buleleng yang sekaligus merupakan ibu kota karesidenan Bali. Selanjutnya ia bertolak ke Bali selatan menggunakan kapal “Kwartel.

Lienfrick menjelaskan di hadapan raja Badung bahwa Kwee Tjiang adalah kawula Hindia Belanda yang berlayar dengan kapal berbendera Belanda sehingga pemerintah memiliki wewenang dan menyelesaikan masalahnya. Pemerintah Belanda juga menawarkan dukungan biaya blokade, raja Badung cukup membayar ganti rugi 7.500 Gulden saja.

Sikap raja diberitahukan oleh Van Kol dalam bukunya yang berjudul “Drie Maal Dwars Door Sumatra En Zwerfthochten Bali (Tiga kali melintas Sumatra dan Pelancongan di Bali) Sebagai berikut:

“Oleh karena gangguan-gangguan baru pihak Belanda dan menderita oleh tekanan-tekanan baru pula, maka membacalah raja Badung dengan penuh kebangaan: Lebih baik mati saja dari pada bertahta sebagai raja diperlakukan dengan cara seperti ini.

Pembicaraan Lienfrick dengan I gusti Ngurah Made Agung tidak menghasilkan kesepakatan yang memuaskan. Lienfrick Kembali ke Singaraja pada 5 Mei 1905.


BACA LANJUTANYA DI BAWA INI #2
Diubah oleh volcom77 14-08-2021 06:15
kovlak
Aramina
anameo96
anameo96 dan 39 lainnya memberi reputasi
40
9.1K
82
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan