Madura, adalah pulau di wilayah Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Surabaya via Jembatan Suramadu. Setelah beberapa pekan yang lalu terjadi peng-rusak-kan posko penyekatan covid. Tingkat kematian yang semakin tinggi (termasuk yang tidak terdata) di wilayah madura menjadi semakin mengkhawatirkan. Hal itulah yang menjadi viral kemudian dicuitkan oleh akun twitter @Antonius061dengan judul MATI CORONA ALA MADURA. Twittnya menjadi perbincangan twitland, hal itu didukung dengan fakta bahwa ditemukan fakta jika Kondisi masyarakat madura yang masih abai terhadap protokol kesehatan yang seakan-akan tidak terjadi pandemi, hal ini semua dinilai oleh pakar jika kondisi tersebut sudah terbentuk secara kultural.
Quote:
"Memang Madura ini rupanya kulturnya ya kultur yang memang sedikit perlu penanganan khusus karena sejarah menunjukkan hal yang sama." ujar epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr dr Windhu Purnomo, ketika dihubungi detikcom, Minggu (1/8/2021)
Apa yang dikatakan epidemiolog dr Windhu Purnomo memang didasari fakta dilapangan, bahwa sebagai contoh tentang pengrusakan pos penyekatan tempo hari justru sebagian besar dilakukan oleh mahasiswa -nya. Padahal maha-siswa berarti kan statusnya bukan siswa sembarangan, mahasiswa kan harusnya orang yang berpendidikan cukup, nyatanya persepsinya rendah, pemikiran tentang penyakit menularnya rendah , itulah mengapa bisa menjadi boomerang sendiri.
Jika hal itu (persepsi rendah) berlaku di mahasiswa lantas bagaimana untuk warga biasanya? Harusnya yang berpendidikan tinggi lebih mampu mempunyai persepsi dan memberi contoh kepada yang kurang beruntung tidak memiliki pendidikan tinggi.
Maka, menurut windhu, perlu penanganan khusus dengan pendekatan secara sosiologis dan kultural.
Karena menurut beberapa sumber bahwa disana masih meyakini semua ini adalah takdir semata, tidak perlu berusaha untuk menjaga diri mereka sendiri.
Ternyata lho masih masih banyak disana warga yang melaksanakan salat jenazah di masjid secara beramai-ramai meski diketahui, jenazah itu merupakan pasien Corona. Pun fakta yang menarik adalah tidak hanya kali ini saja, dahulu ketika FLU SPANYOL menyerang tahun 1918- 1919 sebanyak sekitar 1/4 atau 23% warga madura meninggal karenanya, tertinggi di Indonesia.
Quote:
"Makanya didekati para ulama, kita dekati ulamanya. Saya pernah ngobrol ngobrol dengan beberapa ulama di sana di dalam sebuah webminar. Ada yang bagus para ulamanya, tapi itu hanya beberapa saja, yang lain itu ya sama dengan masyarakatnya," jelas Windhu.
berikut isi lengkap cuitan
Quote:
*MATI CORONA ALA MADURA* Oleh : Firman Syah Ali
Akhir-akhir ini banyak sekali orang meninggal dunia di Madura, diantara mereka ada saudara, tetangga, teman sekolah bahkan mantan saya. Berita-berita kematian itu sebagian saya dengar sendiri secara langsung melalui pengeras suara Masjid, sebagian melalui cerita tamu selama saya menjalani Isolasi Mandiri, namun sebagian besar saya baca di media sosial.
Selama saya menjalani isolasi mandiri, saya sama sekali tidak keluar rumah, saya berada di kompleks tanean lanjang Bani Hasyim Dusun Seccang, Desa Plakpak, Kecamatan Pegantenan, Kab Pamekasan. Begitu saya selesai Isolasi Mandiri barulah saya keluar rumah.
Begitu keluar rumah saya kaget melihat aktivitas warga normal seperti biasa, padahal berita duka terus bertalu-talu dari ujung ke ujung. Pasar Blumbungan tetap ramai bahkan macet, orang-orang santai ceria tanpa masker, tukang amal masjid teriak-teriak dengan kalimat-kalimat yang lucu.
Belok kiri ke arah Aeng Pennay saya jumpai banyak rombongan mantenan tanpa masker, sebagian diantaranya naik pick up bak terbuka penuh sesak juga tanpa masker, bergembira ria dalam rombongan mantenan sanak saudaranya itu. Saya main ke rumah sepupu, dia baru datang dari tahlilan.
Saya bertanya "sakit apa yang kamu tahlili itu?", dengan santai dia jawab "yaa sakit yang sekarang ini". Buahahaha istilahnya bukan corona kalau di Madura, tapi "penyakit yang sekarang ini".
Mereka ya tidak dilaporkan ke puskesmas, dimandikan biasa, disholati dan ditahlili biasa, sehingga tidak masuk data resmi korban Corona di Kabupaten setempat. Begitu usai tahlilan biasanya beberapa tetangga dan keluarga almarhum menyusul meninggal dunia, namun tetap saja tidak disebut corona, mereka disebut mati kena penyakit yang sekarang ini.
Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, disebut mati sesak nafas, mati capo' cap (influenza) dan banyak lagi istilah lainnya, yang intinya orang madura menghindari istilah Corona yang dengan sendirinya menghindari protokol Covid-19 terhadap jenazah keluarga/tetangganya.
Bahkan yang terbaru di Pamekasan muncul tradisi baru, yaitu menghentikan siaran berita duka melalui pengeras suara. Bahkan di beberapa grup WA masyarakat Madura saya dimusuhi dan dimarahi ramai-ramai gara-gara selalu posting berita duka, padahal orang yang saya posting berita dukanya itu merupakan orang-orang yang mereka kenal juga.
Akhirnya saya berpikiran jangan-jangan ini cara orang madura untuk melindungi dirinya dari serangan pembunuh imun. Mereka tidak mau imun mereka runtuh terkapar gara-gara dengar nama corona, protokol kesehatan dan berita duka. Mereka ingin anggap itu semua tidak ada. Atau ini mungkin cara mencapai Herd Immunity alami ala Madura? Wallahu a'lam.
Ya seperti dalam semua peristiwa lainnya, orang madura selalu punya cara sendiri.
Saat saya menulis artikel ini, saya sedang duduk santai di rumah sepupu sambil mendengarkan musik dangdut dari tetangganya yang sedang hajatan mantenan.
Undangannya banyak sekali, satupun tidak ada yang mengenakan masker dan jaga jarak. Padahal baru saja tetangga shohibul hajat meninggal dunia akibat "penyakit sesak nafas" atau "panyaket se sateyah. Dan itu terjadi dimana-mana bukan hanya di dekat rumah sepupu saya ini.
========
disini TS tidak menyalahkan siapa-siapa, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah punya wewenang. Baik tokoh masyarakat, tetua setempat, ulama dan masyarakat setempat punya peran juga. Dimanapun didaerah manapun memang tidak bisa disama ratakan penggunaan sebuah kebijakan. Seperti orang bilang lain ladang lain belalang , Ya kalau saling menyalahkan bagaimana mampu kita melewati ini semua? apakah tidak lebih baik saling menjaga demi kebaikan bersama. Semoga lekas pulih yang sedang tidak baik baik saja.
Opini Pribadi : Bayuep