dodydrogbaAvatar border
TS
dodydrogba
Pentingnya Kebutuhan Psikologis Di Kala Pandemi


Kita selalu berbicara tentang fisik, namun jarang berbicara terkait psikologi di masa pandemi Covid19. Padahal dari tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, dan baik kebutuhan fisik dan psikologi sama pentingnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa tanpa disadari pandemi yang kita alami ini juga berdampak kuat pada psikologis. Seperti yang dijabarkan oleh artikel berikut.

Covid-19 telah meningkatkan kecemasan banyak orang. Para ahli memperingatkan bahwa sebagian kecil orang bisa mengalami masalah kesehatan mental yang berkepanjangan, lebih lama dari pandemi itu sendiri.
Dari makan di restoran bersama pasangan dan kerabatnya hingga menghadiri klub buku bersama teman-teman, kehidupan sosial Susan Kemp sebelum Covid-19 cukup aktif.

Namun sejak April 2020, dia hanya lima kali meninggalkan apartemennya di dekat Stockholm, karena merasakan kecemasan sosial dan perilaku obsesif terkait kuman.
"Sepertinya stres tambahan ini sudah kelewat batas, lebih dari apa yang bisa saya toleransi," kata Kemp, seorang copywriter dan mahasiswa paruh waktu berusia tiga puluhan.

Dia menjadi ketakutan saat naik transportasi umum, waspada dengan kebersihan alat makan, dan merasa tak nyaman ketika melihat gambar sel virus corona.
"Gejala utamanya adalah saya mulai menangis. Saya merasa seperti akan mati, dan kemudian saya menangis sampai tubuh dan paru-paru saya terasa sakit setelahnya," kata dia.

Ditambah lagi dengan perasaan kekecewaan yang sangat bahwa dia "mengalami kemunduran" dan ketakutan kalau nantinya butuh waktu bertahun-tahun untuk kembali ke jalur yang benar dalam hal mengelola OCD-nya.


Banyak orang menjadi sedikit lebih cemas selama Covid-19. Namun pengalaman Kemp menunjukkan bahwa untuk sebagian orang, pandemi dapat memicu atau memperburuk masalah kesehatan mental yang jauh lebih serius.


Masalah jangka panjang apa yang akan dikaitkan dengan Covid-19?



Masalah kesehatan mental mana yang paling mungkin bertahan lama akibat pandemi Covid-19? Psikolog menyakini gangguan obsesif-kompulsif bisa menjadi salah satu kandidat utama. Taylor menjelaskan bahwa ini dapat berdampak jangka panjang karena fakta bahwa OCD muncul dari interaksi antara gen dan faktor lingkungan.

"Untuk orang dengan kecenderungan genetik pada beberapa bentuk OCD (yaitu obsesi kontaminasi dan dorongan untuk selalu bersih), stres Covid-19 kemungkinan akan memicu atau memperburuk OCD," katanya. "Beberapa di antaranya akan menderita germafobia kronis, kecuali jika mereka menerima perawatan kesehatan mental yang sesuai."

"Kecemasan umum juga merupakan masalah kesehatan mental yang sangat penting untuk diperhatikan," kata Yuko Nippoda, psikoterapis dan juru bicara Dewan Psikoterapi Inggris. "Ada banyak orang yang sudah menderita kecemasan dalam masyarakat modern kita, tetapi orang yang lebih mudah cemas bisa terus merasakannya dan kondisinya bisa memburuk," kata Yuko.

"Bahkan jika pandemi Covid berakhir, beberapa orang mungkin tetap cemas, karena masih ada risiko varian virus yang lain." Kesepian kronis yang disebabkan oleh isolasi sosial atau perasaan "kurangnya makna" dalam hidup selama pandemi adalah masalah utama lainnya, kata Nippoda.

Beberapa orang tiba-tiba terjauhkan dari hubungan dekat pada era menjaga jarak sosial dan mungkin merasa sulit untuk membangunnya kembali.

Yang lain sengaja menarik diri dari dunia luar untuk merasakan "rasa aman" dan mungkin menjadi resisten untuk meningkatkan interaksi sosial mereka di masa depan, kata Nippoda. "Saat orang mengalami stres di dunia luar, mereka dapat melepaskan diri dari dunia itu. Begitu mereka mengalami ketidakterikatan ini, mungkin sulit untuk kembali keluar dan bersosialisasi dengan orang lain."

Sementara itu, stres akibat Covid-19 kemungkinan besar berdampak mental yang lebih besar pada mereka yang memiliki pengalaman hidup yang menyakitkan.



"Mungkin bisa memicu ingatan trauma secara sadar dan tidak sadar, yang bisa mempengaruhi Anda. Dalam hal ini, kondisi kesehatan mental bisa menjadi jangka panjang, karena bisa membuka trauma yang telah tertutup," kata Nippoda. "Saya terus-menerus takut kehilangan lagi," kata Lindsey Higgins, 35 tahun dari New York, yang kehilangan pasangan karena bunuh diri pada tahun 2014.
Sejak pandemi, dia merasakan kemunculan kembali PTSD.


Setelah beberapa tahun konseling, dia merasa seperti "hidup bergerak maju", tetapi sekarang menjadi "sangat gugup" setiap kali pasangan barunya meninggalkan rumah. "Jelas, saya tahu bahwa dia tidak akan mati saat dia keluar. Tapi masih ada ketakutan bahwa sesuatu bisa terjadi, dia bisa tertular [Covid-19] dan sakit parah. Saya juga merasakan itu untuk keluarga dan teman."


Pengangguran atau hilangnya pendapatan (karena dampak ekonomi pandemi) dapat memengaruhi kesejahteraan jangka panjang juga. Banyak penelitian sebelum Covid-19 menghubungkan faktor-faktor ini dengan depresi, stres, atau pikiran untuk bunuh diri.

Data jajak pendapat di AS baru-baru ini menemukan bahwa lebih dari setengah orang yang tidak memiliki pekerjaan atau penghasilannya berkurang selama pandemi telah melaporkan dampak kesehatan mental yang negatif. Tingkatannya lebih tinggi bagi yang memiliki gaji lebih rendah. Psikolog menekankan bahwa sifat dan skala krisis virus corona yang belum pernah terjadi sebelumnya menambah lapisan ketidakpastian dibandingkan dengan krisis keuangan sebelumnya.

Sampai ada vaksin global, masih belum jelas kapan atau bahkan apakah beberapa industri yang paling terpukul seperti perjalanan dan hiburan akan pulih.
Nippoda menduga bahwa situasi ini sangat menantang bagi mereka yang "tidak pandai menghadapi ketidakpastian" atau kesulitan menangani situasi yang tidak dapat mereka kendalikan.

"Saat ini kita hidup dalam masa-masa yang tidak pasti. Beberapa orang bahkan takut terhadap ketidakpastian dan ketidaktahuan. Ketakutan ini bisa berkepanjangan. "



Ketahanan dan harapan



Terlepas dari kekhawatiran tentang 'ekor' panjang bagi tantangan kesehatan mental yang disebabkan oleh dampak Covid-19, para psikiater mengatakan penting untuk mengetahui bahwa ada beberapa hal positif juga.



Pengalaman lockdown, menurutnya, membantu mengurangi tingkat kecemasan atau menghentikan serangan panik beberapa orang yang memiliki tingkat stres tinggi sebelum pandemi.

Ini karena mereka merasakan kebebasan dan keamanan yang lebih besar dengan menghabiskan lebih banyak waktu di rumah.

Meskipun ada risiko isolasi sosial dan kesepian bagi mereka yang terlalu menarik diri, dia mengatakan bahwa ketika dipaksa tinggal di rumah, ada yang berusaha berjuang untuk keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik di masa depan atau, atau menentukan irama langkahnya sendiri, dengan cara menemukan "zona nyaman mereka sendiri dalam batas antara di dalam dan di luar ruangan".

Beberapa yang lain menggunakan era jaga jarak sosial untuk merapikan rumah, misalnya.

Makin banyak waktu untuk melakukan hobi bisa memicu kepuasan tersendiri dan penghilang stres bagi banyak orang. 
Namun, pengalaman semacam ini terasa hampa bagi orang-orang seperti Susan Kemp yang germafobia yang masih berjuang untuk membayangkan akhir pandemi ini.



"Perlu ada keseimbangan antara berhati-hati dan menjadi pertapa mutlak, hal yang tidak dapat saya capai," kata dia. "Tapi secara irasional saya tidak bisa mengatasi ketakutan saya. Sangat sulit akhir-akhir ini untuk memutuskan kapan saya bersikap rasional dan kapan tidak. "

"Saya merasa sangat, sangat sulit untuk menyeimbangkan diri kembali," kata penderita PTSD dari Amerika Lindsey Higgins, yang tidak yakin gejalanya akan membaik bahkan jika para ilmuwan mengembangkan vaksin. "Akan makan banyak waktu untuk mendistribusikan, atau meyakinkan orang bahwa mereka harus divaksin. Sejujurnya, saya tidak yakin jika saya akan bisa merasa aman lagi."

Konsultasi psikologis perlu untuk tingkatkan imunitas




Salah seorang pasien yang sembuh dari COVID-19 membagikan pengalamannya selama menjalani perawatan. Dia mengatakan konsultasi psikologis sangat diperlukan untuk meningkatkan imunitas diri.

Sita Tyasutami, penyintas kasus pertama COVID-19 di Indonesia awalnya menceritakan perjalanan kasus COVID-19 yang diidapnya. Dia mengaku, ada tekanan batin saat mengetahui bahwa dirinya menjadi kasus pertama di Indonesia.

"Saya ingin berbagi cerita pengalaman saya di saat saya dan ibu saya sakit dan kami ke rumah sakit dan inisiatif memeriksa COVID-19 sampai akhirnya dipindah ke RSPI Sulianti Saroso dan kami dikonfirmasi positif sebagai kasus pertama yang terkonfirmasi positif oleh pemerintah Indonesia," ujar Sita saat menghadiri peluncuran layanan psikolog Untuk Sehat Jiwa (Sejiwa) di Kantor Staf Presiden seperti yang disiarkan akun Youtube KSP, Rabu (29/04).

"Saat itu kami sekeluarga terutama saya merasakan tekanan karena pertama rasa syok dan takut sebagai pasien dan kemudian ada tekanan ekstern tekanan dari media dan rakyat Indonesia," imbuhnya.

Menurut Sita menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat mengakibatkan imunitasnya menurun. Saat rasa sakit mulai hilang, namun tekanan psikologis membuat kondisinya kembali drop.

"Jadi saat itu dengan segala yang memutarbalikkan semua fakta yang sebenarnya saya mengalami tekanan batin yang luar biasa, sampai-sampai gejala saya tersisa hanya batuk kering saja. Di saat semua foto saya dan identitas saya terkuak itu dan akhirnya fisik saya drop lagi karena tekanan batin tersebut melemahkan imun saya dan semua gejala sudah hilang akhirnya kembali lagi selama seminggu," jelasnya.






sumber: https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-54808663
https://www.dw.com/id/pentingnya-kon...ona/a-53276494
0
504
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan