pionic24Avatar border
TS
pionic24
Cerita Horor: Gregektunggek, Kuntilanak, dan Sebangsanya
     
     Pict by internet
       
              Halo selamat siang sahabat bertemu lagi dengan saya Pionic24, tak terasa besok tanggal 24 juli bertepatan setahun yang lalu pion meletakan keyboard beristirahat sejenak niatnya ingin mencari ispirasi namun malah kebablasan dan kadung malas, tapi malah punya rasa besalah dikutuk menjadi penulis kentang sejati, hanya satu kata yang pin bisa bilang ke sahabat senior semua, Maaf.emoticon-Sorry


      Namun dibalik istirahat panjang itu pion menyiapkan beberpa cerita baru dan menyempurnakan cerita lama, seperti sekuel Pekakas Saktidan yang paling susah dan rumit di garap ya apa lagi selain serial Penyewekan kenapa susah?, karena meski pion hanya menyalin cerita yang ada namun membuatnya seolah nyata dan memberi jiwa pada rangkaian kalimat itu tidak semudah kehendak saya, sebab penjabaran yang kurang dan terlalu berlebih membuatnya tidak real dengan keadaan.

       Pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi sebuah cerita kepada sahabat, untuk membalas dendam pada kemalasan yang kadung mendarah dagingemoticon-Marah, dan menyapa sahabat dan senior-senior semua, mudah-mudahan bisa menemani waktu senggang sahabat kaskus sekalian.

       Berbeda dengan sebelumnya dimana Pion menceritakan cerita pengalaman kawan Pion yang tergabung menjadi satu cerita namun kali ini saya bakal menceritakan pengalaman pribadi juga pengalaman sahabat namun terpisah satu sama lain.

          Oke biar tidak banyak penjelasan dan membuat sahabat bosan membaca koran ini, maka langsung saja ke bagian ceritanya, selamat membaca.

     Rintik air turun dari langit membuat orang2 di tepi pantai berlarian menyelamatkan diri dari hujan yang datangnya keroyokan, mereka semua berlindung dibawah naungan gazebo warung2 tutup di atas pasir, bangunan dari kayu dan bambu beratapkan seng membuat suara riuh bising diatas kepala.

                “Sialan!, nadak kene ujane teke!(mendadak begini datang hujan!)”, dia mengumpat kesal dengan memandang langit yang gelap menandakan hujan akan susah reda. Sementara aku menusap rambut yang agaknya sedikit basah saat berlari berusaha menghindari tetes2 yang datang mengamuk.

                “Cai ada2 gen, joh kene cang mai ngeleklek melayangan dogen! (kamu ada2 saja, jauh begini aku datang kesini cuma diajak main layangan!)” aku kesal dengan sahabatku Arix yang dari pagi semangat ngajak bertemu di tepi pantai ini, aku kira bakal ditraktir makan ternyata sampai disini sejam  yang lalu aku cuma ditunjuki layangan Celepuk (burung hantu) Airbrush buatanya yang baru dan dari sejam lalu juga sing nyak menek (tidak mau naik mengudara).


Dok: mesin pencari entah milik siapa tapi bagus juga

                “Cai sing ngelah jiwa rare angon! (kamu tidak punya jiwa anak gembala!)”, ucapanya mengingatkanku pada penyanyi cilik yang sekarang lebih tua dariku,
Sing nyemak gae ngangon kebo cang (aku tidak pengen menggembala kerbau), gembalain perut sendiri aja sudah susah!” grutuku pada Arix.

 Pembicaraan kami harus dangan nada yang sedikit di Gas, bukan karena emosi tapi karena suara kami disamarkan oleh pukulan keras butir hujan dengan atap seng dari pondokan kecil tempat kami berdua duduk berteduh.

                “Cai ne mekada duka Sang Bhatara Bayu! (kamu yang biki marah Bhatara Bayu *Dewanya angin*), masan nak mai melayangan ngudiang cai ngaba Mojito! (musim orang main layangan ngapain kesini bawa Mojito!?)”, Arix menggulung senar pada palangan pralon, sementara aku mengeluarkan semua isi di tas selempang. Aku letakan di kursi kayu botol plastik berisi minuman pemberian Fidel Castro yang banyak dijual tepi jalan dikampungku layaknya eceran Pertalalite.

                “Sing emed ci memunyah gen? (gak bosen mabok terus?)”, Arix meletakan gulungan benang di sebelah layangannya yang disandarkan pada tiang bambu kemudian mengambil serta memandangi botol minumanku yang legal dipulau Dewata ini, disaat bersamaan tanganku mengambil botol air mineral miliknya membelahnya menjadi dua dengan pisau rahasia di pantatku.

                “Cang sing taen emed (aku tidak pernah bosan), lebih baik aku hidup bahagia dalam khayalan dan kepalsuan dari pada hidup sengsara di kenyataan”, Arix berdecak kagum mendengar seruan bijak yang sejatinya tidak begitu bijak.

                Potongan botol mineral itu seolah menjadi gelas leher restoran kapal pesiar bagiku yang kedingianan dihajar hujan dan belum lagi dentuman ganas ombak yang membuat nyali orang menciut, setidaknya bagiku ini bakal menjadi hari yang panjang menunggu Bapa Akasa (Ayah Langit) memberi air kehidupan kepada Ibu Pertiwi.

                “We Pon, kamu masih nulis di Kaskus?”, pertanyaan Arix mengingatkanku akan Thread pertamaku yang merupakan pengalaman dari kisah hidupnya.

                “Masih Astungkara lancar”, jawabku dengan gemricik suara minuman membentur dasar potongan botol plastik yang kemudian kau serahkan padanya dan segera dimunum Arix sebagai Start Battle.

                “Gimana bagus respon yang baca?”, potongan botol kosong diserahkan kepadaku “Ya Astungkara lumayan, namanya juga pemula”.

Sebungkus rokok yang  masih tersegel dikeluarkan dari sakunya Arix “Nih buat nebus rokok yang habis dulu, sedot dah sampai puas Pon!”, aku tersenyum mencomot satu batang dengan gigiku.

                Hujan semakin kalap dengan petir bergemuruh, 5 bangunan bedek kecil sudah penuh sesak para penerbang layangan lain, syukurnya aku dan Arix mendapat tempat berlindung VVIP yang bagus karena dari semua yang melayangan adalah remaja puber  sementara kami tetua yang sudah jenggotan terlihat sangar untuk mereka dekati.

                “Pon, ingat ceritaku yang ketemu cewek yang punggungnya borok bolong itu?”, aku menelan minuman mengangguk mengiyakan, “Aku punya cerita lagi soal Grgektunggek”, sambungnya lagi menghabiskan takaran pemberianku.
“Sudah lama kejadiannya?”, dia menggeleng menjawab pertanyaanku, “Masih baru ini kuliah semester 2 lah”, aku ingat Arix dulu kuliah 1 jurusan denganku.

                “Gimana Rix aku pengen tau, mumpung hujan gak bisa melayangan, pasing pocol cang mai petaang iban cine! (biar tidak percuma aku kesini, ngomong dah kamu!)”, Arix mengguk, ketika rokok menyala diujung bibirnya ceritapun mengalir bersama tetesan air dari genting yang diserap pasir hitam.

    ***************
                Arix mengingat waktu itu adalah musim layangan sama dengan hal nya saat kami bertemu sekarang, yang membedakan adalah saat itu dirinya masih membuat layangan ber-groupdia dengan beberapa pemuda desanya berencana untuk membuat layangan Bebean (layangan ikan) setinggi 5 meteran, untuk membuat layangan seukuran itu maka dibutuhkan bahan yang sepadan, apalagi kalau bukan bambu,Rencananya dia dan beberpa temanya bakan membeli bambu jadi secara patungan, tetapi saat uang sudah terkumpul justru dagang bambunya yang tidak kunjung bisa membawakan pesanan bambu bungkulan sing mesebit (bambu utuh tanpa di belah) yang bakal menjadi bantang kekeh (tulang rangka perut) dari layangan itu.

                “Rix, kok pesenannya lama?”, tanya temen Arix sebut saja namanya Si Baso,
“Mungkin susah nyari bambu yang lurus”, jelas Arix.

                “Kenapa kita tidak nyari saja, buat jaga2 kalo kelamaan bisa kita gunakan cadangan”, salah seorang temannya sebut saja Si Ceking memberikan saran, yang disetujui semua rekan yang berjumlah 5 orang jadi dari B s/d F setuju terkecuali A alias si Arix.

                “Cang sing milu ba (aku tidak ikut), aku trauma deket2 pohon bambu”, Arix masih terbayang pengalaman masa kecilnya dulu,

Temannya semua menjadi riuh “Ah nduk ci (kamu lemah!), cemen!, getap (penakut), Sing me bu*t*h!”, ucapan itu memenuhi isi Balai Banjar (balai dusun, bisa dianggap sejenis begitulah),Teman2 menaggap Arix adalah orang yang pengecut, meski Arix tetap megelak tapi teman2nya tetap memaksa dengan keras juga.

                “Rix umur kamu sudah wayah (tua) tidak mungkin engkebang memedi (disembunyikan dedemit) lagi, palingan kamu disembunyiin janda”, kelakar Si Dolar, kembali tawa pecah membuat Arix tersenyum kecut di campahin (remehkan) kawan2nya.

                “Ya sudah aku ikut, cuma aku sekedar nikul (manggul) bambu aja, kalian yang motong!”, akhirnya Arix ikut juga karena merasa jengah ditantang kawannya.

                “Kalau begitu ayo ke tegale (ladang) , kapan bisa?”, sejenak semuannya berfikir mendengar ajakan Si Ceking,

“Pokokne jangan hari kliwon sama jangan senja atau siang pas tengah hari”, saran Arix. yang kembali lagi disambut ketawa oleh kawan satu Group-nya.

                “Toh kan lagi kambuh nyerem-nyerem (dramatisasi) nya si Arix!”, Dolar tertawa renyah, Arix celingukan enggan menanggapi perkataan kawannya.

                Ahirnya dispakati pada hari minggu pagi Arix And The Genk penerbang layangan berangkat ke Tegalan (ladang) milik salah satu anggotanya sebut saja Tegalan (ladang) milik Si Enggung, yang berada cukup jauh dari pemukiman dengan alasan didekat ladangnya tumbuh satu jenis bambu yang bagus untuk digunakan sebagai bantang (rangka) dari layangan mereka.

                Sesuai dengan petunjuk Si Enggung segala perbekalan telah disiapkan karena menurut info dari pamas Si Enggung yang sering kesana bahwasanya rute yang dilalui cukup lebat dan terjal akan sangat memerlukan peralatan dan perbekalan yang lengkap.

                Singkat cerita pukul 7 pagi setelah sarapan Godoh Embon (pisang goreng dingin) dan ngopi pahit dirumah, Arix langsung berkumpul di area Uma (sawah) yang merupakan rute satu2nya menuju Tegalan Enggung, saat sampai disana Genk sudah menunggu lengkap 5 orang bersama dirinya, segala perlengkapan pun sudah dipersiapkan, calok untuk merambas bambu, serta beberapa utas tali besar untuk mengikat bambu, setelah crosschek beberapa saat mereka berbaris diatas Pundukan (pematang) menuju tempat yang dituju dipipin oleh Enggung sebagai penunjuk jalan, dan Arix diekor paling belakang.

                Jalan yang dilalui masih normal, tapi setelah 15 menit melangkah seperti cacing makan buah melikuk-likuk di pematang sawah, kini jalan sudah semakin menurun meninggalkan hamparan sawah  memasuki area kebun warga, di kiri kanan jalan setapak pohon ubi jalar dan pisang tumbuh subur juga tanaman kopi yang berbuah memerah serta kakao yang gagal panen (bukan penghasil coklat yang begitu sukses #curhat),

            5 menit berjalan kemudian vegetasi berubah menjadi hamparan pohon bambu yang kering menguning, beberapa helai daunnya jatuh berputar menghantam tanah, suasani ini mengingatkan Arix akan trauma masa lalunya, sehingga dia hanya mengendap tanpa berani menoleh terkecuali menatap punggung Si Dolar didepannya.

                “Mekelo san sing neked! (lama sekali belum sampai juga!)”, Ceking mengeluh dibelakang Enggung,

Enggung menoleh “Sabar bendik (sedikit lagi), 100 meter lagi”, ucapnya seraya dengan lincah meloncat turun di terjalnya jalan tanah berbatu, teman yang lain merayap dibelakang karena takut terperosok.

                Benar saja dikejuhan sebuah pondokan panggung kecil berdiri dengan papan kayu serta atap dari tumpukan daun kelapa kering tanpa dianyam, langsung saja ketika sampai semua duduk melepas lelah sambil bergiliran Jugling botol lotion anti nyamuk yang boros karena dari tadi sudah luntur dikulit tersapu keringat.

                Pondokan itu menjadi satu2nya pondokan yang berdiri disana, sisanya hanya hijau coklat perpaduan tanaman kopi dan kakao yang tumbuh subur juga berpadu dengan daun kering yang yang berjatuhan, begitu Arix mendongak, pohon2 Sepatudhea dan Kapuk tinggi menjulang menutup cahaya matahari yang di ponsel sudah menunjukan 09.30 Wita dan juga tentunya E  besar di pojok atas layar.

                “Dija tiinge? (dimana bambunya?)”, Arix menanyakan letak pohon bambu yang akan dicari, Enggung menunjukan tempatnya sekitar 50 meter dari tempat mereka beristirahat, Arix hanya melihat rimbunan saja di tempat yang ditunjukan, firasatnya agak ngeri melihat rerimbunan yang tidak jelas dibaliknya tersembunyi apa.
                “Haturkan sajen malu (dulu) ”, Enggung membuka tas kain mengeluarkan tali tambang plastik juga bebera Canang (sesajen bunga, lihat pict, biar gak banyak sahabat baca penjelasan nanti boring) serta dupa.


Dok: ngambil di mesin pencari

“Agak anget tongose (hangat tempatnya)”, Enggung menyalakan dupa, 6 orang tim langsung meluncur ke tempat yang di tuju.

                “Gesit kene orang ci anget! (dingin begini kamu bilang hangat!)”, Dolar megusap kulitnya ketika sampai di tempat yang dituju, ternyata setelah menerobos rerimbunan yang menutup jalan dibaliknya terdapat rerimbunan bambu yang sangat luas.

                “Mimih...!!”, Arix berdecak melihat tempat yang dimaksud adalah sebuah pangkung (jurang kering) yang sangat lebar, kira-kira 20 meteran dengan dasar bebatuan yang kurang lebih 10 meter dari permukaan mereka berdiri, jurang itu curam dengan rerimbunan semak belukar lebat dipinggitrnya, ditambah dengan 5 rumpun bambu yang tumbuh menjulang melengkukng memayungi jurang itu dari sengatan sang mentari menambah elok paras tempat itu, hanya saja keelokan itu sedikit berkurang.

                “Wihh uli dija tekan lulune? (dari mana datangnya sampah?)”, Ceking memeik membuat semua orang merunduk ke dasar jurang, “Oh, biasa itu dari banjir kan mengalirnya kesini”, jelas Enggung pada yang lain prihal tumpukan sampah plastik yang bertumpuk nyangut di dasar bebatuan besar jurang itu.


Ilustrasi jurang, pengambilan secara acak di internet, bukan bagian dari cerita

                “Itu bambu bagus!”, Enggung menunjuk satu rumpun bambu yang berada tepat di bibir jurang yang menjorok ke dalam, dengan agak raggu Baso menyanggah, “Kalo gitu posisinya susah, salah2 bisa terjun Gung!”, yang lain setuju.

                “Ini gunanya bawa beginian”, dengan cekatan Enggung mengikat tambang di pinggangnya kemudian memberikan ujung lainnya kepada  rekannya.

                Layaknya ninja dia melompat dengan lincah menuju tempat yang dimaksud, sesuai dengan namanya Enggung (kodok yang yang biasanya bernyanyi saat musim hujan).
                Tidak sampai beberapa saat Enggung sudah berasil mebang bambu itu dan dengan tali yang lainnya, Arix dan Dolar menarik pangkal bambu tumbang yang telah diikat oleh Enggung, lacar jaya ahirnya 3 batang bambu 4 meter berdiameter 5cm terikat rapi siap di tikul (panggul) menuju lokasi bascamp balai Banjar, Arix sudah bersiap memenuhi janjinya memanggul ketika bambu itu sudah akan angkat bersama Dolar, Arix sesaat tertegun.

                Angin berhembus membuat daun bambu kering rontok, nuansa sejuk disana sudah kelewatan bahan sampai di titik dingin dan lembab, berkas cahaya matahari sedikit menerangi ketika berhasil menembus sela daun bambu, Arix hafal betul susanana ini, tubuhnya merinding ditengah perbatasan pagi dan siang hari, matanya tertuju pada sebuah pohon pinang yang menulang sekitar 10 meter di sebelah tumbuh menjorok dibibir jurang, ada yang aneh menurutnya ketika di batang pinang dekat dengan tanah terikat sebuat kain putih yang terpilin layaknya tali.


pictemoticon-Stick Out Tongueohon piang/ bahasa daerahnya di pulau ini "Punyan Buah" , di tempat sahabat apa namanya?

                “Nah!, ada anggo guangan! (ada yang bisa dipakai guangan *guangan: pita untuk suara layangan)”, lamunann Arix buyar ketika Ceking berseru melihat hal yang sama, tapi dari sudat pandang yang berbeda,

“Itu pohon piangnya boleh ditebang gak?”, pertanyaan Ceking membuat Enggung bingung, “Sebenarnya, itu bukan Pepulaan (tanaman) ladangku, tumbuh liar begitu saja”.
                “Lumayan buat bikin guangan daripada beli mahal”, Ceking memberi kode, Enggung berfikir sejenak meski agak ragu2 karena merasa bukan miliknya, tapi karena tumbuh dilahanya ahirnya di hajar saja, “Ahh, jemak gen ba (ambil saja)!!”, rombongan ber 6 meninggalkan bambu terikat membawa peralatan melewati satu rumpun bambu yang tidak begitu lebat bergeser 10 meter menuju pohon pinang.

                “Seken ne Gung?, ne ba maseet pinget kene, sing nyen ada ne ngelahang?,(Beneran Gung?, ini sudah diikat, nanti ada yang punya?)”, Arix menujuk batang pohon yang diikat tali kain putih,

Ba ja mentik di tanahe (sudah tumbuh di tanahnya) Enggung, berarti kepunyaannya Enggung”, Dolar menyanggah pendapat Arix.

                Segera saja Enggung mengikat pohon pinang, dijaga oleh Arix dan Dolar, namun kali ini lebih mudah karena sedikit landai di sekitar batangnya meski pinang itu tumbuh 1 langkah saja dari bir jurang.

                Begitu posisi pas langsung saja Caluk alias sabit besar di tebaskan berkali “tuk..kletuk.. kletuk.. kletuk.. kletuk..” , batang itu seperti kentongan kerasnya bukan main, hanya tergores sedikit saja, hal itu membuat Enggung kehabisan sumbu.
“Eaahhhh!!” dengan ganas batang itu ditebas membabi buta sampai, “Trak..”, caluk ditangan Enggung selip terlepas dan terjun bebas tanpa parasut kedasar jurang.

        “Waduhh!!!”, teriakan Enggung menggema mengejutakan 5 kawannya, segera saja Enggung mendekat ke kawan yang lain, “Gimana nih?, tanpa itu gak bisa nebang kita!”, Ceking menggerutu, “Mana itu Caluk baru habis disepuh kemarin” Enggung menimpali.
                “Sing ngidang nyemak to? (bisa tidak itu diambil?)”, Dolar memberi saran. Sejenak 6 sekawan berpikir, celingukan kesana kemari,

                  “Nah itu ada jalan” Baso menunjuk permukaan laindai didekat sana tepat di jalan yang sebelumnya mereka lalaui dibawah pohon bambu yang rumpunya tidka terlalu lebat, semuanya lega.

                “Jani kene (sekarang begini), siapa yang mau turun?”, seperti biasanya anak muda kalau masalah bekerja semua saling tunjuk, ahirnya Ceking dan Enggung rela turun kedasar jurang, Baso dan Dolar berjalan menuju bambu yang terikat tadi untuk membawanya ke pondokan, sementara Arix bersama si Falcon tetap berada di sebelah pohon pinang.

                “De kalaine awake ne! (jangan tinggalkan kami)”, pesan Enggung pada Arix dan Falcon, kemudian dia bersama dengan Ceking perlahan meniti jalan tanah curam yang meiliki sudut hampir 90 derajat nyaris Jegjeg (tegak) namun karena Enggung sudah biasa makanya dengan mudah saja pelan tapi pasti dia bisa melompat2 sementara Ceking karena badannya kurus mudah juga baginya bergerak ringan menuju dasar jurang.

                Arix melihat kearah bambu yang dipotong tadi, nampak Baso dan Dolar duduk diatasnya sambil mengepulkan asap rokok mereka, Arix yang merasa inguh (tidak nyaman) dan juga ngetug (degdegan)  berada ditempat.......

        Bersambung......

         Next: sebentar di kolom komentar ya sahabat
                
           



0
991
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan