juneldiAvatar border
TS
juneldi
Kisah Cinta Tiga Manusia

Sumber : Pixabay.com
Kisah Cinta Tiga Manusia

 

            Pernahkah Anda merasa memiliki keterikatan cerita pada suatu makanan tertentu dalam kisah kehidupan cinta kalian? Berikut ini adalah kisah cinta Yoga dengan Renita, istrinya, yang melibatkan jenis makanan tertentu. Sebentar lagi, kalian akan membaca cerita hidup mereka yang menakjubkan. Nanti, kalian akan dapat memahami, betapa makanan dapat menjadi warna indah dalam sebuah kisah cinta seseorang dan pasangannya.

***

Matahari belum menggeliat dari tidur malamnya. Sang surya hanya mengerjapkan matanya sedikit, langit pun masih tampak temaram. Sebuah rumah mungil berdesain modern minimalis yang terletak di pinggiran kota, tinggal di dalamnya keluarga kecilku yang berjumlah tiga orang. Aku, Yoga beserta istri dan anakku. 

“Sayang, bangun! Sudah kusiapin sarapan kesukaanmu di meja makan,” bisik istriku pelan tepat di telinga kiriku.

Bahuku tersentak, agak terkejut. Mendadak, ada rasa dingin pada daun telingaku. Kusentuh, agak basah rasanya. Ternyata, dia melakukannya lagi.

            “Kamu ini kenapa, sih? Suka banget jilat-jilat telingaku. Geli, tau!” Aku merungut manja, sambil melempar pandangan ke arahnya.

            “Abisnya enak, sih ... Pengen aku kunyah malah,” Istriku beralasan.

            “Duh, serem amat. Kayak manusia kanibal aja,”

            Istriku naik ke badanku yang masih terbaring di ranjang. Kemudian, menelungkupkan tubuhnya di atas dadaku. Kami berpelukan, sikapnya manja sekali. Setelah agak lama, perlahan kuangkat wajahnya.

            “Sekarang aku udah boleh makan gak, nih?”

            Ia tersenyum manis, lantas beringsut turun dari badanku.

            “Boleh. Jangan lupa dihabiskan, ya! Aku mau siap-siap kerja. Nanti siang, aku pulang sebentar, bawain makan siang kalian berdua.”

            Istriku melangkah masuk ke kamar mandi, sementara aku berjalan menuju dapur. Sesampai di dapur, kuangkat tudung saji bundar yang menutupi meja makan. Tak banyak jenis hidangan yang tersaji. Bahkan, hanya ada satu mangkuk putih berisikan bubur nasi berwarna kecokelatan. Lengkap dengan suwiran ayam dan bawang goreng yang teraduk sama rata, bentuknya hampir sama dengan hasil blenderan.

Aku melengos, agak kehilangan selera makan. Istriku bersumpah, bahwa ini adalah bubur ayam. Entahlah, otak ini susah untuk mempercayai sumpahnya. Sesaat terlintas di benakku, saat dulu secara tidak sengaja, pernah lihat kucing peliharaan tetangga sebelah sedang muntah karena tersedak sesuatu. Muntahan itu mirip seperti dengan yang ada di depan mataku sekarang.

            Namun, perutku sudah keroncongan, jadi aku harus tetap memakannya. Suap demi suap, bubur berpindah dari mangkuk ke dalam perut. Berkali-kali harus kutahan rasa mual di tenggorokan.

“Pelan, tapi pasti. Akhirnya, habis juga.”

Ada rasa kelegaan dalam hati, melihat mangkuk itu jadi kosong. Kutaruh mangkuk tersebut di tempat pencucian piring.

“Sepertinya, ada yang salah dengan diriku. Tapi sudahlah, lebih baik aku bersiap-siap ngantor,” gumamku bingung. Namun, aku memilih mengabaikannya saja.

            Sejam kemudian, aku sudah berada di dalam kendaraan umum menuju kantor yang berjarak tak jauh dari rumah. Tas laptop dan kotak Tupperware, kutaruh di pangkuan.

***

Jam tanganku menunjukkan pukul dua belas siang. Setelah empat jam bekerja, tiba sudah waktu istirahat makan siang. Kuangkat kepalaku mengintip bilik rekan kerjaku yang ada di depan.

“Yuk, ke kantin. Udah lapar, nih!” ajakku.

Dion mengangguk dan langsung berdiri. Ia rekan  kerja sekaligus sahabatku yang usianya jauh lebih muda. Kami berjalan beriringan ke arah kantin yang masih satu lantai letaknya, tapi agak jauh di sudut. Namun, tujuan kami bukan untuk jajan ke sana, hanya sekedar menumpang makan saja. Sama seperti aku, Dion juga ada bekal makanan. Laki-laki bujangan itu selalu dibikinkan bekal oleh ibunya.

Kami sengaja pilih meja yang paling pojok, selain agar lebih privasi, juga tidak jadi perhatian orang lain. Nanti kujelaskan alasannya. Setelah kami mendapatkan tempat duduk yang pas, kami mulai membuka bekal yang dibawa. Saat kubuka kotak bekal, ada secarik kertas yang menyembul. Ternyata, kertas itu adalah catatan kecil dari istriku.

‘Sayang, ada masakan istimewa di dalam kotak ini. Makanan favoritmu. Dihabiskan, ya.

Embusan napas panjang keluar dari mulutku.

"Pasti yang itu-itu lagi," gerutuku.

"Kenapa pulak Abang menggerutu? Ayoklah, kita gas lagi rantang ni. Lapar kali aku," kata Dion mengagetkan.

Aku sedikit terperanjat. Walaupun sudah kenal lama, gaya bicara pemuda bermarga Hasibuan itu masih sering bikin aku kaget.

“Ini masalahnya!” jawabku kesal, sambil menaruh rantang plastik berlabel mahal itu di meja.

“Semenjak menikah, setiap kali makan, istriku selalu dibuatin bubur ayam aduk. Padahal waktu zaman aku masih membujang dulu, tak pernah suka makanan seperti muntahan kucing seperti ini. Sekarang, meskipun sebenarnya bosan, tapi lidahku malah minta terus.”

“Memang macam itulah, Bang! Laki-laki kalau kimpoi, pasti ujung-ujungnya bakal suka sama masakan istrinya. Walaupun, masakan dia itu macam hantu belau rasanya. Hahaha!” Dion tertawa mengakak.

Bahkan, beberapa butir nasi sampai melompat keluar dari mulutnya dan jatuh masuk ke dalam rantangku. Ia seperti meyakini betul teori nyelenehitu.

“Aku heran saja. Walau rasanya ingin berhenti, tapi aku tidak bisa berhenti makan makanan itu. Seolah, lidah ini sudah kena guna-guna.”

“Ishh ... Jauh kali pikiran Abang tu! Tak mungkin rasanya Kak Renita main guna-guna. Tampang standar macam Abang, tak masuk hitungan sebagai sasaran pelet. Hahaha!”

“Sudahlah, tak usah pulak Abang pikirkan hal tak masuk akal itu. Sebaiknya kita selesaikan cepat makan siang ini. Aku mau tidur siang dulu sebentar, sebelum nanti masuk lagi.”

Lima menit kemudian, kami sudah menghabiskan bekal. Segera, kurapikan kotak Tupperwarekembali ke dalam tas bekal. Termasuk sendok plastik bawaan rantang tersebut. Sewaktu menoleh ke arah Dion, aku menggeleng-gelengkan kepala. Ini alasan kenapa kami harus pilih duduk di pojokan.

Bocah gendeng ini punya kebiasaan suka tidur sembarangan tempat. Seperti sekarang ini, ia sudah tertidur di kursi kayu panjang. Sempat terniat di hati, ingin kubangunkan dan menyarankan pindah ke bilik kerja kami saja, agar ia lebih nyaman. Namun, kuurungkan niatku.

“Biarin, deh! Lagian, kayaknya dia udah nyaman di situ,” gumamku.

Kulangkahkan kedua kakiku meninggalkan ruangan kantin dan Dion yang sudah terbang ke alam mimpi.

***

            Keseharian alur kehidupan rumah tanggaku berjalan sangat mulus, terkadang rasanya terlalu mulus. Tak pernah sekali pun ada pertengkaran yang terjadi antara kami berdua. Bahkan, sekedar cekcok perselisihan ringan pun tak pernah, seingatku.

Pada dasarnya, aku akan selalu menyetujui apa saja yang istriku kehendaki. Dulu pernah ia ubah desain ruang tamu menjadi ala retro yang lengkap dengan kertas dinding bermotif polkadot begitu, aku tidak protes. Kemudian, dinding dapur dicat warna hijau lumut pekat dengan sentuhan kuning keemasan. Terakhir, ia memanggil tukang untuk merenovasi kamar mandi menjadi serba ungu. Semua itu pun tidak menjadi masalah bagiku.

            Itu baru soal isi rumah, belum lagi soal masakan. Aku sering melihat begitu banyak stok bahan makanan dalam lemari dan kulkas. Jika menghitung hasil belanjaan, seharusnya istriku bisa membuat jenis masakan yang lebih beragam. Namun, makanan yang ia jatahkan untukku, tetap saja bubur ayam yang diaduk. Tanpa ada variasi apa pun.

Ah, sudahlah! Berpikir positif aja deh. Mungkin yang ia inginkan, hanya agar kesehatanku selalu dalam kondisi prima,pikirku.

Sore itu, kami sedang berada di ruang keluarga yang bertema zebra crossing. Kuperhatikan istriku yang sedang berbaring di sofa ukuran ekstra besar, sambil menonton acara gosip artis di televisi. Sofa itu semakin lama tampak semakin kecil bagi ukuran tubuhnya.

Apa dia yang makan semua itu? Entahlah,pikirku lagi sambil mengarahkan kembali pandanganku ke buku.

***

            Setelah membaca cerita dari Yoga, aku tahu persis bagaimana buruknya penilaian orang-orang mengenai diriku. Semua pasti berpikir bahwa aku adalah istri yang kejam, karena hanya menyajikan bubur ayam yang diaduk, untuk ia makan setiap hari. Bahkan, menjadikan itu sebagai satu-satunya pilihan makanan yang boleh ia makan. Makanan yang menurutnya, terlihat macam sampah.

Orang-orang itu salah! Aku tidak mungkin seburuk itu. Mereka tidak mengetahui kejadian selengkapnya. Seharusnya, coba dulu menggali lebih dalam permasalahan yang dibahas, sebelum menjatuhkan vonis bersalah pada seseorang. Aku akan ceritakan bagaimana cerita selengkapnya.

***

            Kami baru saja menikah saat Yoga mengalami kecelakaan tragis tersebut, sekitar dua bulan lebih sedikit. Pria yang sangat kucintai itu ditabrak dari samping oleh pengemudi sedan yang mabuk akibat pengaruh alkohol. Setiap hari, aku berdoa, semoga Tuhan membalas perbuatan buruk supir jahanam tersebut.

Aku menangis sejadi-jadinya mendengar berita mengerikan itu. Bagaimana tidak, kami masih dalam masa menikmati indahnya bulan madu. Tiada hari kami lewati tanpa canda gelak tawa. Masa depan kami hancur, hanya gara-gara ketololan seorang pengemudi sialan.

            Yoga sempat mengalami koma beberapa hari, sebelum akhirnya dapat sadar. Namun, setelah ia siuman, ternyata kondisinya tidak menjadi lebih baik. Kini, ia bukanlah sosok pria yang sama seperti dulu lagi.

Ia berganti menjadi sosok yang dingin dengan sorot mata yang seolah tak lagi bernyawa. Tak ada lagi kepribadiannya yang ceria dan hangat. Kekasihku itu pun jadi kerap melamun, berhalusinasi dan sering kupergoki sedang berbicara sendiri.

            Satu-satunya yang masih tersisa sebagai kenangan kami bersama, hanyalah makanan kesukaan kami yang sama, yaitu Bubur Ayam. Perbedaannya, aku suka diaduk, sedangkan ia tidak.

            Oh, tidak! Sepertinya aku akan menangis lagi. Setiap kali teringat cerita bubur ayam kami, tak sanggup kutahan aliran bulir hangat yang turun dari mata ini.

Dulu setiap pagi, setelah resmi menjadi suami istri, kami selalu berjalan kaki berdua ke warung depan kompleks perumahan untuk pergi sarapan. Sesampai di sana, pesanan kami selalu sama, bubur ayam komplit dua mangkuk. Namun, cara menikmatinya yang berbeda.

            “Kenapa buburnya gak diaduk dulu? Kan, makannya nanti bisa jadi lebih cepat. Tinggal taruh mulut di pinggir mangkuk, terus diseruput deh,” tanyaku.

             Ia lalu menjawab. “Ada seninya dalam menikmati sebuah keindahan, Sayang. Tidak boleh sembarangan.”

“Coba deh lihat susunan cantik tiap elemen yang tersusun di mangkuk. Nah, inilah kenikmatan pertama yang dirasakan oleh mata. Kenikmatan berikutnya ada pada mulut. Lidah akan merasakan manis gurih dari bubur nasi dan gigi geraham dapat sensasi unik saat mengunyah tiap elemen yang berbeda tekstur,” sambungnya.

            Penjelasan panjang lebar yang rumit itu tak berpengaruh apa-apa bagiku. “Kalo aku mah, bubur itu harus diaduk sebelum dimakan. Biar semuanya tercampur rata. Nyess ... nikmat!” ujarku terpejam sambil lidahku terjulur.

Ia tertawa melihat ekspresi konyolku barusan. Memperlihatkan jejeran rapi gigi-giginya yang putih dan suara tawa yang renyah.Tangannya pun terjulur ingin mencubit ujung hidungku.

Oh, betapa aku sangat merindukan masa-masa itu kembali hadir dalam kehidupan kami.

***

            Setahun berlalu sejak kecelakaan naas itu terjadi, kini keluarga kami bertambah anggota satu orang. Ya, aku melahirkan seorang bayi laki-laki beberapa bulan yang lalu. Ternyata, saat musibah tersebut, di rahimku sudah ada benih Yoga yang sedang tumbuh. Untungnya, si janin tidak ikut bermasalah, akibat stres yang sempat kualami.

            Dion merupakan anugerah terbesar bagi pernikahan kami. Kehadirannya seolah sebagai hadiah bagi kami setelah sukses melewati semua cobaan. Bayi mungil itu pengikat tali kasih hatiku dan Yoga. Ia tumbuh menjadi bayi yang lucu dan menggemaskan. Yoga sangat senang bermain dengan Dion, hampir sepanjang hari mereka terlihat bermain bersama.

Kehadiran si malaikat kecil juga membawa pengaruh positif bagi perkembangan kesehatan suamiku.Walaupun secara fisik sudah lama sembuh, tetapi kondisi kesehatan neuron di otaknya masih jauh dari kata sempurna. Ia sulit membedakan antara alam realita dengan khayalannya, sehingga mengakibatkan jadi sering berhalusinasi. Hanya saat-saat sedang bersama Dion saja, Yoga terlihat lebih damai dan sering tersenyum. Aku kini mulai merasakan kembali ada pijaran semangat terefleksi di mata suamiku.

            Soal bubur ayam, ini merupakan bagian tragis dalam cerita ini, sekaligus lucu. Kini, pria berambut ikal itu tak lagi dapat menikmati bubur ayam yang sesuai dengan seleranya. Kecelakaan hebat dulu telah menghancurkan gigi-giginya, membuat ia mustahil dapat mengunyah makanan yang padat. Termasuk, berbagai macam taburan khas bubur ayam.

Sekarang, aku membuatkan bubur ayam untuknya, hanya dengan taburan suwiran ayam dan bawang goreng yang dihaluskan. Bahkan, sebelum kusajikan, aku juga memastikan bahwa bubur telah teraduk rata. Agar ia dapat menelan lebih mudah.

            Untuk sekarang ini, aku merasa sudah cukup bahagia dengan keadaan ini. Memandangi dua orang yang paling kucintai. Selalu berada di dekat mereka dan memastikan mereka selalu mendapat curahan cintaku yang melimpah. Pintaku pada Tuhan, semoga kebahagiaan ini bertahan lama dan bertambah setiap harinya.

 

Selesai
bukhorigan
pulaukapok
wanitatangguh93
wanitatangguh93 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
613
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan