- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
PENGALAMAN SAAT KAMI MEMASUKI RUMAH TANGGA


TS
fitrahilhami4
PENGALAMAN SAAT KAMI MEMASUKI RUMAH TANGGA
Selamat datang di kehidupan yang sebenarnya! Mungkin seperti itulah sambutan dunia kepadaku juga istri setelah kami menikah beberapa pekan lalu. Ya, setelah menikah, ada tuntutan bagi kami berdua untuk bisa hidup mandiri, lepas dari bayang-bayang bantuan kedua orang tua. Jika ada masalah, harus hadapi sendiri. Pun jika ada tukang sate lewat, ya, harus berani pesan sendiri.
Dan sebagai langkah awal kemandirian sepasang pengantin baru, kami memutuskan untuk boyong dari rumah orang tua, lalu menyewa kamar kos milik salah seorang teman di bilangan Surabaya Utara.
Kamar kos yang kami tempati berukuran 3x3 meter, dan untuk mencapai kamar tersebut, kami harus masuk lorong sempit dan sesak oleh sepeda motor penghuni kos yang lain. Saking sempitnya, kadang kami harus berjalan miring agar badan tak terbentur sepeda motor yang terparkir di dalam gang.
Seringkali pikiranku berkecamuk, sebab sebagai seorang laki-laki, aku belum mampu membahagiakan istri walaupun hanya memberikan tempat yang layak untuknya.
“Gak apa,” selalu begitu ucap istri ketika aku meminta maaf karena belum bisa memberikannya hunian yang nyaman. “Selama Abang bersikap baik, inshaAllah aku rela hidup dengan kondisi apapun. Yang penting Abangnya harus rajin ibadah dan terus semangat menjemput rezeki, biar keadaan kita cepat berubah,” imbuhnya menyejukkan hati.
Pernah sekali waktu, aku iseng menghitung luas kamar kos yang kami tempati berdasarkan banyaknya isi keramik di dalam kamar. Setelah kutotal, terdapat 35 keramik di dalamnya. Dengan ukuran mungil itu, jelas dibutuhkan kreatifitas tingkat tinggi untuk mengatur barang-barang agar kamar tak terasa semakin ciut. Dan aku beruntung punya istri yang memiliki daya kreatifitas untuk mengatur itu semua. Dengan cermat dia mengatur posisi barang-barang, sebagai berikut:
Lemari baju, diletakkan di pojok ruangan, menempati 4 keramik.
Kasur lipat, diletakkan persis di samping bawah lemari, menempati15 keramik.
Meja televisi yang terbuat dari kardus dan disampul pakai kertas kado, diletakkan di samping pintu, menempati 2 keramik.
Meja untuk peralatan pecah belah, juga dari kardus, menempati2 keramik.
Kipas angin, 1 keramik.
Tempat baju kotor, 2 keramik.
Ruang tamu sekaligus ruang makan, 6 keramik.
Sisa keramik digunakan untuk barang-barang dapur, misal rice cooker dan lain sebagainya.
Kompor? Diletakkan di lorong gang, persis di depan pintu kos. Nah, untuk menghibur diri, kadang kami bermain petak umpet di dalam kamar. Ternyata enak juga main petak umpet di dalam kamar yang mungil itu, sebab kami tidak perlu buang tenaga untuk menemukan lawan main. Paling-paling, kami cuma bisa bersembunyi di pojokan kamar dengan cara menutupi badan pakai sarung, karena tidak mungkin kami bersembunyi di kolong lemari.
Tetapi tetangga kos pernah marah-marah, karena suara tawa kami saat bermain petak umpet dianggap mengganggu mereka. Dan, mulai saat itu, kami jera bermain petak umpet di dalam kamar kos.
Oh iya, hampir terlupa. Peralatan dapur yang kami punya saat itu hanya: satu piring, dua sendok, dan tiga gelas. Kami belum punya garpu. Maka, ketika aku masak mie instan, sering ada niatan di otak ini untuk menggunakan sapu lidi sebagai pengganti sumpit dan garpu.
Suatu ketika, tak sengaja aku mendengar ceramah Ustad Yusuf Mansur tentang keajaiban sedekah. Bahwa apa yang disedekahkan pasti kembali dengan berlipat ganda, begitu kata sang ustad. Aku yang dasarnya anak sholeh --bentar, benerin peci dulu--langsung mempraktekkan apa yang disampaikan oleh Ustad Yusuf Mansyur tadi.
“Neng, kita sedekah, yuk? Siapa tahu dengan sedekah, kita dapat kembalian yang berlipat ganda,” begitu tawarku kepada istri. Ia mengangguk tanda setuju.
Maka, sore itu juga kami pergi ke pasar guna membeli toge, telur, bawang, cabe, saus tiram, dan kulit lumpia, berniat membuat lumpia basah khas Bandung. Rencananya setelah matang nanti, lumpia basah itu akan kami bagikan kepada ibu kos.
Sesampai di rumah, dimasaklah bahan-bahan tersebut. Beberapa jam setelah berkutat dengan masakan, istriku berdehem, “Nah, selesai.”
Aku merasa ada yang aneh dengan wujud lumpia buatan istriku ini, “Neng, kayaknya kulit lumpianya belum matang, deh.”
“Ya, emang gini, lumpia basah itu, Bang,” sahutnya. “Oh, emang begitu ya, lumpia basah khas Bandung itu? Kulitnya memang setengah matang gitu?” tanyaku kurang yakin.
“I-iya ...,” yang kutanyai nampak ragu-ragu. Sebenarnya, istriku itu sama sekali belum pernah membuat lumpia basah. Bahkan ia mendapatkan resep hanya dengan mem-browsing dari internet. Jadi, sejatinya judul kegiatan kali ini adalah sedekah sambil coba-coba.
Singkat cerita, akan dibagikanlah lumpia tersebut kepada ibu kos.
“Neng,” ucapku kepada sang istri yang sedang menata hantaran di atas piring, “Lumpianya diantar pakai piring?”
“Ndak ..., pakai kertas gosok,” timpalnya bercanda. “Ya, pakai piring-lah, Abang.”
“Kita kan cuma punya satu piring, Sayang.”
Kali ini istri sempurna menatapku, “Oh, iya, yah?” Kalau piringnya dipakai sebagai wadah lumpia, terus kita nanfi makan pakai apa?
Terbersit keraguan saat tadi melihat istriku menaruh lumpia di atas piring. Aku bahkan sempat usul, bagaimana jika lumpianya dibungkus pakai kertas koran bekas saja? Istriku langsung menolak tegas. Baiklah, dengan menguatkan keyakinan bahwa sedekah ini akan berbalas kebaikan, akhirnya kuhantarkan lumpia basah tak matang itu kepada ibu kos, lengkap bersama satu-satunya piring yang kami punyai.
Dua hari berlalu ... Dan ibu kos belum juga mengembalikan piring kami. Aku berprasangka kalau ibu kos terlupa mengembalikan piring karena terlalu sibuk keluar masuk toilet, gara-gara sakit perut sehabis makan lumpia basah setengah matang buatan istri. Akibatnya, selama dua hari ini, kami memakai kertas minyak sisa tahlilan sebagai alas nasi dan lauk saat makan.
“Bang, diminta gih piringnya ke Ibu Kos,” istriku membuka percakapan, setelah kami menyelesaikan makan malam.
“Abang malu, Neng,” sahutku sembari mengusap bagian belakang kepala.
Istriku memelas, “Persediaan kertas minyak sisa tahlilan kemarin kan sudah habis, Abang. Apa Abang mau kita makan kayak kucing? Nasi dan lauknya ditaruh di atas lantai, gitu?”
Ah, benar juga ucapan istri barusan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya nanti, jika gara-gara tak punya piring, kami harus makan dengan nasi dan lauk yang ditebar di lantai, mirip kucing kelaparan.
Ya Allah, bukankah Kau berjanji akan membalas sedekah seseorang dengan berlipat ganda? Lah, kenapa saat coba bersedekah lumpia, kami malah hampir kehilangan satu-satunya piring yang kami miliki? Apa ini hukuman dari-Mu karena sedekah kami masih mentah, Ya Allah?
“Baiklah. Akan abang ambil piringnya sekarang.” Aku mengiyakan permintaan istri, lantas bergegas menuju rumah ibu kos.
Sesampainya di rumah ibu kos, aku langsung mengetuk pintu sembari mengucap salam. Belum genap pada ketukan yang ketiga, ibu kos keluar.
“Iya, ada apa, Fit?”
“Emm... begini, Bu,” aku mulai dirundung malu. “Piring yang kemarin itu ..., itu piring saya satu-satunya.”
“Oh, iya, maaf, Fit. Saya kelupaan,” sahut ibu kos. Ia langsung berbalik lantas melangkah menuju rumahnya, dan keluar kembali dengan membawa satu piring di tangan kanannya.
“Ini, Fit. Maaf, ya?” ibu kos menyodorkan piring kepadaku. Dengan segera, piring tersebut sudah berpindah tangan. Aku berucap terimakasih padanya, dan berbalik menuju kamar. Di luar pintu kamar kos, istriku mengacungkan jempol padaku, ternyata dari tadi ia memantau perjuanganku dalam merebut kembali piring kami dari tangan ibu kos.
“Eh, Fit, sebentar ...” Ibu kos menahan langkahku. Ia masuk lagi ke dalam rumah, sekejap kemudian ibu kos kembali dengan membawa tiga piring. “Ini, buat kalian. Itung-itung sebagai permohonan maaf Ibu yang lupa ngembaliin piring,” lugasnya.
Ditawari tiga piring seperti itu, terang saja hatiku jadi riang bukan buatan.
“Yang bener, Bu?” tanyaku girang. Tanpa jawaban dari ibu kos, langsung saja kucomot ketiga piring itu dari tangannya.
“Makasih, Bu,” kataku sambil setengah berlari menuju kamar. Takut jatuh, kudekap erat piring-piring pemberian ibu kos tadi.
Ah, benar kata ustad Yusuf Mansur, bahwa sesuatu yang disedekahkan itu akan kembali dengan berlipat-lipat.
“Oh iya, Fit,” ujar ibu kos setengah berteriak. “Kayaknya lumpia buatanmu kemarin itu kurang matang deh. Agak mulas perut ibu setelah makan lumpia itu.”
Aku terus berjalan menuju kamar tanpa menoleh sedikit pun. Bodoh amat. Mentah-mentah dah. Yang penting sekarang piringku nambah.
Hore!
***
Fitrah Ilhami telah menulis 13 buku. Teman-teman bisa menemukannya di Play Store. Cari saja dengan kata "Fitrah Ilhami"
Diubah oleh fitrahilhami4 11-07-2021 18:55






mmuji1575 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
858
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan