Kaskus

News

gabener.edanAvatar border
TS
gabener.edan
KUHP: Dari Roma ke Belanda Lalu Indonesia, Mau Diubah Tuai Pro-Kontra
KUHP: Dari Roma ke Belanda Lalu Indonesia, Mau Diubah Tuai Pro-KontraJakarta - KUHP yang berlaku saat ini memiliki sejarah panjang. KUHP merupakan warisan kolonial Belanda yang bercikal bakal dari sistem hukum Romawi yang berusia ribuan tahun lalu.
KUHP dibawa masuk penjajah Belanda jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan Belanda pun mendapatkan setelah dijajah Prancis. Kini, saat mau diubah, KUHP itu menuai pro-kontra.

"Asas legalitas sebelum menjadi bagian dari hukum materil dewasa ini mempunyai sejarah yang panjang. Sejarah asas legalitas ini barangkali dimulai dari hukum Romawi yang diketahui mempengaruhi hukum di Eropa Kontinental," demikian bunyi Naskah Akademik RUU KUHP yang dikutip detikcom, Rabu (9/6/2021).

KUHP yang dibawa Belanda ke Indonesia awalnya merupakan Code Napoleon Perancis tahun 1810. Saat Prancis menjajah Belanda dan memberlakukan KUHP. Kolononisasi Prancis kemudian berlaku di Belanda dan Negeri Kincir Angin itu memberlakukan KUHP pada tahun 1881.

Seiring kapal penjajah Belanda hilir mudik Amsterdam-Nusantara, KUHP pun ikut dibawa dan diberlakukan di Indonesia (kala itu Hindia-Belanda). Secara efektif, KUHP berlaku secara nasional sejak tahun 1918.

KUHP yang mempunyai nama asli Wet Wetboek van Strafrecht itu lalu menggusur seluruh hukum yang ada di Nusantara, dari hukum adat, hingga hukum pidana agama. Nilai-nilai lokal tergerus hukum penjajah.

"Lahirnya doktrin nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali adalah sebagai bagian dari perjuangan masyarakat di Perancis untuk perlindungan HAM dari kemungkinan perlakuan sewenang-wenang oleh penguasa," ujarnya.

Pada saat yang sama, di Italia Cesare Beccaria menulis bahwa 'If a judge is compelled to make, or makes of his own free will, even two syllogism, he opens the door to uncertainty'.Kemudian dilanjutkan bahwa,"Nothing is more dangerous than the common axiom that we should 'consult the spirit of the law'."

"Artinya di Italia juga diberlakukan asas legalitas yang sama pada saat yang sama," tuturnya.

Selepas Soekarno-Hatta memprokalamasikan kemerdekaan Indonesia, tidak serta merta hukum warisan Belanda runtuh. Demi menghindari kekosongan hukum, maka hukum penjajah Belanda masih berlaku sepanjang tidak ada UU baru yang menggantikannya.

Gagasan menggulingkan KUHP peninggalan penjajah Belanda dimulai pada tahun 1963. Hal itu terlontar dalam Seminar Hukum Nasional I di Semarang salah satunya membahas RUU KUHP. Alhasil, perdebatan RUU KUHP menjadi perdebatan lintas rezim, lebih dari setengah Indonesia merdeka saat ini.

Diskursus RUU KUHP telah melintasi 7 Presiden, yaitu Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, Presiden SBY, dan Presiden Jokowi.

Di DPR, perdebatan RUU KUHP juga telah melintasi 13 kali periode. Yaitu:

1. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) 26 Jun 1960 - 15 Nov 1965
2. DPR GR minus Partai Komunis Indonesia (PKI) 15 Nov 1965 - 19 Nov 1966
3. DPR GR Orde Baru 19 Nov 1966 - 28 Okt 1971
4. DPR hasil Pemilu ke-2, 28 Okt 1971 - 1 Okt 1977
5. DPR hasil Pemilu ke-3, 1 Okt 1977 - 1 Okt 1982
6. DPR hasil Pemilu ke-4, 1 Okt 1982 - 1 Okt 1987
7. DPR hasil Pemilu ke-5, 1 Okt 1987 - 1 Okt 1992
8. DPR hasil Pemilu ke-6, 1 Okt 1992 - 1 Okt 1997
9. DPR hasil Pemilu ke-7, 1 Okt 1997 - 1 Okt 1999
10. DPR hasil Pemilu ke-8, 1 Okt 1999 - 1 Okt 2004
11. DPR hasil Pemilu ke-9, 1 Okt 2004 - 1 Okt 2009
12. DPR hasil Pemilu ke-10, 1 Okt 2009 - 1 Okt 2014
13. DPR hasil Pemilu ke-11, 1 Okt 2014 - 1 Okt 2019

Perdebatan penting tidaknya juga telah melampui 19 Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM), yaitu Sahardjo, Wirjono Prodjodikoro, Astrawinata, Oemar Seno Adji, Mochtar Kusumaatmadja, Mudjono, Ali Said, ismail Saleh, Oetojo Oesman, Muladi, Yusril Ihza Mahendra, Baharuddin Lopa, Marsilam Simanjuntak, Mahfud MD, Hamid Awaluddin, Andi Mattalata, Patrialis Akbar, Amir Syamsuddin dan kini Yasonna Laoly.

Pada 2019 silam, Rapat Paripurna Tingkat I DPR menyetujui draft RUU KUHP itu untuk disahkan. Tapi di luar gedung, lautan mahasiswa menolak RUU KUHP untuk dibawa ke Tahap II untuk disahkan menjadi UU.
Penolakan mahasiswa juga meluas ke berbagai daerah.

Akhirnya, DPR mem-pending pengesahan RUU KUHP menjadi UU itu. DPR 2019-2024 langsung meng-carry over, yaitu tanpa perlu mengulang pembahasan dari nol, tetapi cukup melakukan persetujuan di tingkat II agar menjadi UU.

Di sisi lain, pemerintah melakukan sosialisasi ke berbagai daerah agar masyarakat tidak simpang siur atas berbagai draft RUU KUHP. Namun dalam sepekan ini publik kembali riuh, salah satunya soal adanya Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP.

Namun pemerintah mempunyai anggapan pasal itu masih diperlukan agar Indonesia tidak terjerumus ke negara liberal.
Tapi juga tidak sekeras Thailand.

"Saya kira kita menjadi sangat liberal kalau kita membiarkan.
Kalau dikatakan Pak Arsul di beberapa negara, kalau di Thailand jangan coba-coba hina raja, itu urusannya berat, di Jepang sendiri, bahkan di beberapa negara hal yang lumrah. Sekarang bedanya, dia (pasal penghinaan presiden) jadi delik aduan," kata Yasonna saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI, Rabu (9/6/2021).

https://news.detik.com/berita/d-5599...i-pro-kontra/3

Ane sih keberatan soal sanksi mengenai hina DPR...
Karena DPR udah punya hak imunitas yg cukup kontroversial lalu skrg di beri hak lain.
Silahkan itu masuk ranah pribadi.
Karena DPR itu Dewan Perwakilan Rakyat bukan Pemimpin Rakyat.emoticon-Traveller
37sanchiAvatar border
nomoreliesAvatar border
muhamad.hanif.2Avatar border
muhamad.hanif.2 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
621
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan