adindahrlmAvatar border
TS
adindahrlm
SISTEM HUKUM NASIONAL DALAM PERSPEKTIF FEMINISME
   

    Indonesia adalah a state of law. Itu artinya, seperti negara mana pun di dunia ini, Indonesia mempunyai sistem hukum dalam menjalankan pemerintahannya. Definisi sistem adalah unsur-unsur yang membentuk suatu kesatuan, sementara hukum adalah peraturan-peraturan yang disetujui orang banyak dan bersifat mengikat. Menurut Handri Raharjo (2018), sistem hukum terdiri dari bagian-bagian kecil sistem dengan fungsi berlainan dari satu bagian sistem dengan sistem lainnya.

   Sistem hukum di Indonesia sendiri merupakan rule of law yang merupakan gabungan dari hukum pada masa penjajahan Belanda yang telah digubah, hukum agama-agama yang ditetapkan secara resmi di Indonesia, dan hukum adat. Sistem rule of lawbersumber dari sistem hukum Eropa Kontinental yang menjadikan hukum tertulis (undang-undang) sebagai sumber hukum. Meskipun tujuan dari penerapannya adalah supaya setiap warga negara mendapatkan kepastian hukum, pada praktiknya, tujuan ini masih jauh dari kata berhasil. Masih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan perlindungan hukum yang layak, terutama mereka yang berjenis kelamin perempuan.

   Sementara itu, menurut Najmah dan Khatimah (2003), definisi feminisme adalah sadarnya seseorang terhadap opresi yang menimpa kaum perempuan di lingkungan keluarga, lingkungan kerja, dan masyarakat, yang mencakup kesadaran untuk mengubah kondisi tersebut. Feminisme adalah gerakan yang menginginkan equality atau kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.

   Dalam kaitannya dengan aliran feminisme, sistem hukum di Indonesia dapat dibilang masih gagal dalam menegakkan dan melindungi hak-hak kaum perempuan. Masih banyak norma-norma hukum yang melanggengkan nilai-nilai patriarki yang merugikan perempuan dan menempatkan perempuan sebagai makhluk subordinat. Lihat saja bagaimana tingginya angka kasus kriminalisasi perempuan dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga.  Berdasarkan data Pengaduan Komnas Perempuan sejak 2011 sampai 2013, sebanyak 60 persen korban KDRT mengalami kriminalisasi di mana 10 persen di antaranya dikriminalkan lewat UU PKDRT. Ya, peraturan yang seharusnya digunakan untuk melindungi korban kekerasan pada praktiknya malah digunakan untuk mengkriminalkan korban yang sebagian besar adalah perempuan. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana Aparat Penegak Hukum (APH) masih belum memprioritaskan kepentingan korban dan malah mempersulit proses pengaduan korban kekerasan, seperti kewajiban menghadirkan saksi yang jumlahnya ditentukan undang-undang, menolak menerapkan Penetapan Perlindungan bagi korban, sampai menjerat kembali perempuan sebagai pelaku KDRT dikarenakan adanya perlawanan dari korban perempuan ketika KDRT memuncak atau alasan pencemaran nama baik.

   Bukti lain dari lemahnya penegakan perlindungan hukum bagi kaum perempuan dalam sistem hukum Indonesia adalah tidak adanya peraturan yang mengatur tentang kasus kekerasan seksual. Selama ini, jika ada perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis gender, baik itu kasus pelecehan maupun pemerkosaan, seringkali hak-hak korban untuk mendapatkan keadilan dikesampingkan. Ketika korban perempuan melaporkan kekerasan yang didapatkannya kepada pihak kepolisian, korban malah disalahkan kembali (victim blaming) dan diberi stigma negatif. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak sensitif, tidak relevan, dan tidak membantu dalam proses penyelidikan justru paling sering dipertanyakan oleh pihak yang berwenang. Belum lagi kewajiban bagi korban untuk membuktikan bahwa dirinya adalah korban dengan menyertakan bukti fisik. Jika korban tidak dapat membuktikan secara fisik, maka kasus kekerasan dianggap tidak valid karena tidak sesuai dengan unsur-unsur pemerkosaan dalam KUHP, yaitu “unsur paksaan”.

   Rendahnya kasus kekerasan seksual yang mendapatkan penanganan dan tingginya angka kriminalisasi terhadap korban perempuan yang melaporkan kekerasan yang didapatkannya adalah sinyal darurat bahwa kita sebagai warga negara Indonesia perlu segera melakukan perbaikan terhadap sistem hukum yang ada. Melakukan pengesahan terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dapat menjadi langkah dini untuk menghapus ekosistem hukum yang tidak ramah terhadap perempuan. Selanjutnya, menghapus pasal-pasal bermasalah dalam undang-undang yang rentan menjerat kaum perempuan dapat diupayakan jika kita semua memang menginginkan Indonesia yang bebas dari penindasan berbasis gender.

Penulis : Adinda Saskia Herlambang

Nim       : 191011500113

Tulisan dibuat guna memenuhi tugas salah satu mata kuliah

Dosen pengampu : Amelia Haryanti S.H., M.H

gikogaza
cepakers
extreme78
extreme78 dan 6 lainnya memberi reputasi
-3
1.2K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan