Kaskus

Story

dwindrawatiAvatar border
TS
dwindrawati
BU, AKU NGGAK MAU PISAH SAMA YANTI

Ini adalah kelanjutan dari kisah "KUPULANGKAN SUAMIKU KEPADA IBUNYA"

Kisah sebelumnya bisa Anda baca DI SINI

Untuk yang sudah membaca, mari kita teruskan 

***

(POV Yanti)

Mendengar bantahan yang diucapkan oleh mertuaku, tentu saja Ibuku tak trima.

"Bu, kalian yang zolim dan semena-mena, sekarang malah melempar kesalahan kepada Yanti. Tak mungkin anakku seperti itu," sanggah Ibuku. Beralih lagi dia pada Bang Ipul yang sedari tadi diam dan menunduk.

"Sekarang kutanya sama kau Pul, ada anakku begitu? Ada Yanti seperti yang dituduhkan Ibumu tadi?" tanya Ibuku.

Mendapat todongan pertanyaan seperti itu, Bang Ipul tampak gelagapan.

"Eh … itu, Yanti …,"

"Tak usah kau tekan-tekan si Ipul dengan pertanyaan seperti itu. Semua juga sudah tau siapa yang salah dan benar. Kau pulang saja sana, ajari anakmu soal etika!" Ibu Bang Ipul menyela.

Ibuku tampak geram sekali dengan mulut besannya itu.

"Kau tutupi keserakahanmu juga kesalahan anakmu yang lembek ini dengan memfitnah anakku. Tuhan itu tidak tidur, suatu saat kalian akan dapat bala karena perbuatan kalian ini!"ujar Ibuku meradang.

"Sudah pulang sana! Kami kembalikan anakmu itu kepadamu. Si Ipul akan kukimpoikan dengan gadis lain dari keluarga terpandang yang tentunya sepadan dengan kami. Jadi tak usah kau harap-harap anakku lagi ya, Yanti." Ibu Bang Ipul berkata lagi. Pandangan mengejek diarahkannya padaku dan Ibuku bergantian.

Mendengar perkataan Ibunya, Bang Ipul justru tampak panik.

"Bu...! Aku gak mau pisah sama Yanti, Bu. Aku gak mau nikah sama gadis lain. Tolonglah Bu, jangan rusak rumah tangga kami. Aku mencintai istri dan anakku, Bu," ujarnya dengan tatapan memelas pada Ibunya.

Mendengar perkataan Bang Ipul yang tak kami sangka-sangka, Ibunya Bang Ipul bagaikan tersambar petir. Matanya melotot pada Bang Ipul yang mengiba seperti anak kecil.

"Malu-maluin kau Pul! Beginilah kalau kau tak mau dengar kataku dulu! Hendak kukimpoikan dengan perempuan dari keluarga terhormat, malah perempuan miskin yang kau pungut jadi istri!" Hardiknya keras.

"Ayo masuk sana kau Pul!" Perintahnya pada Bang Ipul yang jelas terlihat bimbang.

Sejenak mata kami beradu pandang, aku cepat membuang muka.

Tak sabar dengan Bang Ipul yang tak tegas sikapnya, Ibu mertuaku dengan keras menarik Bang Ipul untuk masuk ke dalam rumah, sambil mulutnya mengusir kami pergi.

"Pergi kalian, pergi! Dasar orang miskin! Kalian mau naik derajat dan hidup enak dengan memanfaatkan anakku saja! Ipul tak akan pernah kembali padamu, Yanti! Segera setelah ini surat gugatan cerai akan sampai ke tanganmu!" 

Ia terus menarik-narik tangan Bang Ipul. Tapi reaksi Bang Ipul yang tak kami sangka-sangka, justru terjadi lagi. 

Dengan sekali hentak dilepaskannya tangan Ibunya yang mencengkeram pergelangan tangannya. Ia malah lalu berbalik berlari ke arahku yang berdiri rapat dengan Ibu.

Diraih dan digenggamnya tanganku sambil jatuh berlutut di depanku.

"Dek, maafkan Abang Dek, Abang gak mau kita pisah. Abang janji Abang akan berubah Dek...!" Bang Ipul kemudian beralih pada Ibu.

Bersujud-sujud ia di kaki Ibuku.

"Bu, tolong ampuni Ipul Bu..., Ipul sayang sama Yanti. Ipul tak mau pisah sama Yanti, Bu. Tolong maafkan Ipul dan jangan didengar kata-kata Ibuku tadi!" 

Aku nyaris tak bisa berkata apa-apa, hanya mampu saling melempar pandang pada Ibuku yang juga tampak kelu.

"Ipuuull...!!! Bodoh sekali kau Puul...! Malah kau sembah-sembah mereka, sia-sia kau kubesarkan kalau kelakuanmu memalukan begitu! Pasti sudah diguna-guna kau sama mereka, ya?!" Ibu Bang Ipul berlari menyongsong anaknya yang masih berlutut. 

Dipukulinya punggung suamiku itu dengan gagang sapu yang diraihnya kembali sesaat tadi.

Tapi Bang Ipul tampak tak perduli dengan hantaman gagang sapu di punggungnya itu. Aku yang jadi iba padanya sekarang. 

Amarahku menguap entah kemana demi melihat Bang Ipul yang terus memohon-mohon sambil dipukuli oleh ibunya yang seperti monster itu.

"Bang, Bang, berdirilah!" pintaku pada Bang Ipul. Mataku tiba-tiba memanas, menahan kuat lahar air mata yang menyeruak ingin tumpah dari kedua netra.

Ibuku juga hampir luluh dengan sikap Bang Ipul yang mengiba-iba itu, tapi demi repetan mulut Ibu Bang Ipul yang mengata-ngatai kami miskin dan ingin hidup enak dengan menikahi Bang Ipul, amarahnya jadi kian tersulut.

"Pergi kau sana Pul! Tak sudi aku berbesan dengan mak lampir macam Ibumu itu!" Ibu menepis tangan Bang Ipul yang berusaha meraih tangannya.

"Kau dengar ya mak lampir, gak usah kau repot-repot nyuruh anakmu menceraikan si Yanti. Anakku juga sudah tak mau sama anakmu ini, terlebih punya mertua tamak dan zolim kayak kau! Ayo Yanti, kita pergi. Biar si Ipul nurut apa kata Ibunya yang cacat otak itu!" sergah Ibuku lalu menarik tanganku.

"Dek...! Dek...! Abang ikut, Dek!" Bang Ipul mengejarku dan Ibu. 

"Balik kau Puuull...! Jangan bikin malu kau dengan ngejar-ngejar mereka!" Ibu Bang Ipul menarik kaos bagian belakang Bang Ipul.

"Sudah Yan, jangan pedulikan mereka. Ibu sama anak sama-sama sakit jiwanya!" Ibu berkata kepadaku. 

"Iya, Bu." Aku menjawab sambil menaiki sepeda motor. Ibu naik di boncengan.

Ku-starter motor, sementara Bang Ipul dan Ibunya masih terlibat dalam aksi tarik dorong.

Kugas motorku meninggalkan rumah mereka.

Kami akhirnya tiba di rumah kontrakanku. Wiwin sudah menunggu di depan pintu sambil menggendong Riska anakku.

"Ibu kenapa tuh Kak? Mukanya kek abis perang ngelawan zombie gitu?" Wiwin berkata lalu terkikik sendirian.

"Bukan zombie tapi dajjal!" sembur Ibuku. Kami semua lalu tergelak bersama.

"Kasian sekali kau Nak, kenapa tak pernah kau cerita pada Ibu tentang apa yang kau alami selama ini?" Mata Ibu sayu memandangiku.

"Yanti tak mau menambah beban Ibu dengan menceritakan masalah rumah tangga Yanti, Bu," jawabku.

"Ya tapi terlalu lama kau membiarkan dirimu sendiri menderita. Harusnya sejak lama kau tendang si Ipul itu kembali ke Ibunya, huh!" Ibu mendengkus kesal.

"Kau balik lagi saja ke rumah Ibu. Biar tak perlu bayar sewa-sewa rumah lagi. Nanti kalau kau pergi kerja, biar Ibu dan Wiwin yang jaga Riska gantian. Toh kalau sudah siang kami tinggal jaga toko aja di depan. Santai lah...," ujar Ibu lagi.

Kupikir ada benarnya juga usul Ibuku. Dengan gaji yang kudapatkan sebagai buruh pinang, tentu tak cukup jika kubagi untuk bayar kontrakan, bayar listrik, susu Riska juga makan sehari-hari.

Aku pun akhirnya menyetujui usul Ibuku tersebut. Dibantu Riska dan Ibu, aku bereskan barang-barangku dan semua keperluan Riska.

Tak banyak yang kubawa pulang ke rumah ibuku. Karena kursi lemari dan meja dapur adalah fasilitas yang diberikan Pak Sobari sebagai pemilik kontrakan.

Sisa barang-barang milik Bang Ipul kubiarkan begitu saja. Toh nanti dia kan bisa mengambilnya sendiri.

Wiwin membonceng Ibu pulang dulu sambil membawa sebagian barangku. Lalu adikku itu kembali lagi untuk menjemputku dan Riska. Sebelumnya aku pergi ke rumah Pak Sobari dulu untuk menyerahkan kunci rumah, sekaligus kukatakan bahwa bulan depan aku tak lagi melanjutkan mengontrak rumahnya. Tak lupa kuucapkan terima kasih kepada beliau, lalu aku segera mohon diri.

Sesampainya di rumah Ibu, kuletakkan Riska di ruang tamu. Di situ ada Wiwin yang sedang asik dengan ponselnya.

"Win, Kakak titip Riska dulu, ya. Kakak mau bantu Ibu ngadon kue dulu." Aku berkata pada adikku itu. "Oh iya, Kak, sini Sayang, ponakan ante tantiiikkk...," Wiwin meraih Riska ke atas pangkuannya.

Aku tersenyum geli melihat tingkah Wiwin itu.

Kuhampiri Ibuku yang sedang sibuk di dapur. "Sini Bu, Yanti yang mixer telur sama gulanya," pintaku sambil mengambil alih mixer yang sedang dipegang Ibu.

"Kalau gitu Ibu siapkan panci dulu ya buat ngukus." Ibuku berkata sambil beranjak mengambil panci kukusan besar lalu diletakkannya di atas kompor. Dipanaskannya  panci kukusan itu dengan api besar. Sedangkan aku sibuk memixer bakal adonan brownies dagangan Ibu yang selalu laris manis itu.

Tengah asik-asiknya kami bekerja di dapur, tiba-tiba Wiwin datang dengan langkah tergesa. Riska digendongannya ikut terguncang-guncang karena mengikuti langkah kaki Wiwin.

"Kak...! Bang Ipul datang tuh!" Wiwin seperti mengucapkan sesuatu kepadaku, tapi suara bising dari mesin mixer menghalangi pendengaranku.

"Apa, Win???" tanyaku dengan suara keras, tapi tanganku masih tetap sibuk memutar-mutar mixer dalam adonan.

Wiwin akhirnya semakin mendekat. "Bang Ipul dataangg!"

Tak hanya aku saja, Ibu yang sedang menyiapkan loyang pun tampak terkejut. Kami bertiga saling berpandangan. Ibu lalu memberi isyarat agar aku ke depan untuk menemui Bang Ipul. 

Dengan berat hati kutinggalkan pekerjaanku, lalu ke depan. Sementara Wiwin menggantikan tugasku memixer adonan. Riska didudukkan di dekatnya.

Bang Ipul duduk di kursi ruang tamu sambil kepalanya menunduk dalam.

Aku sebenarnya canggung juga mengingat apa saja yang sudah terjadi sejak pagi ini di antara kami dan orang tua masing-masing.

"Ada apa Abang kemari?" sapaku. Bang Ipul terlihat kaget mendengar suaraku. Tampaknya dia sedang melamun tadi.

Buru-buru dia bangkit dan mengambil kedua tanganku. Aku mencoba menariknya, tapi genggaman tangan bang Ipul terlalu kuat.

Aku mengalihkan pandang pada tembok kosong agar tak menatap wajahnya yang memelas.

"Dek, kenapa kamu pindah? Abang tadi ke rumah kontrakan kita, tapi Pak Sobari bilang kalau kamu sudah mengembalikan kunci. Dek Abang minta jangan kamu ambil hati kata Ibuku Dek, Abang tak mungkin menceraikanmu!" tegas suara Bang Ipul meyakinkanku.

***

BERSAMBUNG

Buat yang mau baca, kisah ini bisa ditemukan di Play Store, cari aja dengan kata kunci "KUPULANGKAN SUAMIKU KEPADA IBUNYA"
SalsaPermataAvatar border
Nikita41Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.4K
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan