

TS
lintangayudy
Anak Jadah

sumber gambar
Bab 1 Bayangan Masa Lalu
"Pergi! Bawa anak jadah itu jauh-jauh dari rumah ini. Saya tidak sudi melihat kalian berdua," ucap Nenek.
Tas besar berisi baju saya dan Ibu, ia lempar ke luar. Ibu masih di posisi yang sama, berlutut di kaki Nenek dengan bibir terus mengucapkan kata maaf. Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mengapa Nenek marah besar terhadap Ibu? Yang saya tahu Ibu mengajak berkunjung ke rumah Nenek. Namun, baru saja menginjakkan kaki di rumah ini, kami sudah diusir.
"Ibu," ucap saya sembari menarik bajunya, tetapi Ibu masih mengabaikan saya.
"Maafkan Ratna, Bu. Ratna menyesal," ucap Ibu tanpa memedulikan panggilan saya.
Wanita penuh kerut itu tetap tidak mau mendengarkan ucapan Ibu, ia justru menendang kepala Ibu cukup keras.
"Nenek nggak boleh pukul Ibu. Ibu kesakitan."
"Diam kamu Anak Jadah!"
Mendengar Nenek memarahi saya, Ibu bangkit, lalu memeluk tubuh ini. Pelukan Ibu membuat saya ikut merasakan apa yang ia rasakan. Saya menangis dalam pelukan Ibu.
"Nara anak Ratna, Bu. Jangan salahkan dia. Dia tidak berdosa. Ratna yang salah."
"Saya tidak ingin mendengar ucapan kamu lagi. Sejak kamu pulang dengan membawa aib keluarga hingga membuat ayahmu mati, saya sudah menganggap kamu tidak ada. Anak tidak tahu diri, tidak tahu diuntung. Bisanya cuma mencoreng nama keluarga. Pergi dari sini!"
Kata-kata kasar dari mulut Nenek masih menggema dengan jelas di pendengaran saya, meskipun sudah belasan tahun berlalu. Saya menatap rumah yang masih sama seperti dahulu, saat saya pertama kali menginjakkan kaki di sini. Hanya cat tembok yang berubah warna. Di halaman rumah, sampah berupa daun-daun dari pohon mangga dan rambutan yang berada di kanan dan kiri rumah tampak bertebaran. Rumah di hadapan saya seperti tidak terurus. Tidak seperti pertama kali saya menginjakkan kaki di sini. Beberapa pot bunga beraneka warna menghiasi halaman rumah Nenek. Kini, halaman rumah yang besar itu terlihat gersang, seperti tidak ada kehidupan lagi di sini. Jika bukan karena kata pemilik warung yang berada dua rumah dari sini bilang bahwa Nenek berada di rumah, saya tidak akan berdiri di sini.
"Nara."
Panggilan lembut seseorang di samping membuyarkan lamunan saya. Saya menoleh ke arah Wira yang tengah tersenyum.
"Kita pulang saja, ya?" ucap saya.
Entah mengapa, saya merasa takut jika Nenek kembali mengusir saya seperti dulu. Saya merasa belum siap bertemu dengan orang yang tidak pernah mengharapkan kehadiran saya di dunia ini. Wira meraih jemari tangan, meremasnya dengan lembut, perlakuan kecil Wira mampu memberikan sedikit kekuatan untuk saya.
"Sudah sejauh ini Nara."
Tatapan lembut dari laki-laki yang berstatus kekasih saya itu mampu membuat gamang. Benar apa yang dikatakan Wira. Sudah hampir tujuh jam perjalanan kami dari ibu kota ke rumah Nenek, sekarang saya sudah berada di sini. Akan percuma jika saya tidak mencoba menemui Nenek. Akan tetapi, pengusiran Nenek beberapa tahun lalu masih menyisakan trauma di dalam diri saya. Saya takut, pengusiran untuk kedua kalinya akan kembali dialami.
"Tapi saya takut Nenek akan mengusir lagi seperti dulu."
"Saya ada di samping kamu. Jika Nenek masih belum bisa menerima kamu, besok kita pulang ke Jakarta. Tetapi, kita coba dulu, ya?"
Saya mengangguk. Lalu kami melangkah bersisian menuju rumah Nenek. Semburat jingga dari arah barat turut mengiringi langkah kami.
Beberapa kali Wira mencoba mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban sama sekali.
"Apa Nenek nggak di rumah, ya?" tanya saya.
"Tapi kata pemilik warung itu Nenek ada di rumah, kok."
Entah mengapa perasaan saya menjadi tidak enak. Apa ada hubungannya dengan Nenek? Atau jangan-jangan Nenek ....
"Apa kita dobrak saja?"
Wira menanggapi ucapan saya dengan sebuah senyuman, ia seakan-akan tahu kekhawatiran yang saya rasakan.
"Kita coba ketuk sekali lagi, ya?"
Wira pun kembali mengetuk pintu rumah bercat cokelat yang sudah memudar. Kali ini, ketukannya terdengar lebih keras.
Satu menit, dua menit, tiga menit berlalu tanpa ada jawaban dari dalam rumah. Hati saya semakin gelisah. Di mana Nenek? Apa ia ada di dalam? Tetapi mengapa tidak ada jawaban sama sekali. Berbagai pertanyaan memenuhi kepala saya.
"Jangan berpikir yang macam-macam, Nara. Insya Allah Nenek baik-baik saja. Mungkin beliau ketiduran atau memang pendengarannya kurang jelas hingga ketukan pintu tidak terdengar olehnya," ucap Wira mencoba untuk menenangkan kegelisahan saya.
Suara azan Magrib berkumandang. Wira menatap saya. Lalu menyuruh kami untuk mencari keberadaan masjid terdekat. Setelah menunaikan salat Magrib, kami berencana kembali lagi ke rumah Nenek.
Baru beberapa langkah meninggalkan rumah Nenek, terdengar derit pintu. Saya menoleh. Seorang wanita tua dengan rambut memutih tengah berdiri menatap kami.
"Siapa?" tanya Nenek.
Ingin sekali saya menghambur ke dalam pelukan wanita renta itu. Namun, kaki saya seakan-akan ada yang menarik-narik sehingga sulit untuk melangkah maju. Kilasan adegan pengusiran yang pernah wanita tua itu lakukan pada saya kembali berkelebat. Kata-kata anak jadah yang ia layangkan dahulu, kini kembali berdengung di telinga saya. Membuat kepala saya terasa sakit. Mata saya berkunang-kunang, lalu semuanya gelap.
Saya membuka mata. Sinar lampu bohlam di atas menyilaukan pandangan saya. Setelah beradaptasi dengan cahaya di sekitar, saya memindai setiap sudut rumah. Sebuah ruangan cukup besar bercat cokelat yang sudah banyak yang mengelupas di beberapa bagian, terdapat dipan kayu beralaskan busa tipis yang saya tiduri, juga kursi kayu yang sudah lapuk berada di sudut ruang lainnya. Di dinding ruangan itu, terdapat bingkai kaligrafi bertuliskan asma Allah dan Nabi Muhammad bersisian. Tepat di samping pintu penghubung ruangan yang saya yakini sebagai ruang tamu dan ruang di dalamnya terdapat bingkai foto keluarga yang sudah terlihat buram. Seorang laki-laki berkemeja tengah berdiri di samping dua wanita berbeda generasi.
Saya menatap lekat foto pigura itu dari jarak cukup jauh. Sepertinya saya mengenali gadis berkucir dua itu. Tapi siapa? Telinga saya kembali berdengung.
Saya kembali memindai setiap sudut rumah. Saya bingung. Rumah ini bukan di kontrakan saya, juga bukan rumah Wira. Lalu, saya di mana?
"Kamu sudah sadar?" tanya seseorang yang sangat saya kenali.
Mendengar suara Wira, saya baru mengingat di mana saya berada.
"Di mana Nenek?"
"Sedang membuatkan teh untuk kamu. Maaf, tadi saya tinggal sebentar untuk salat."
Saya mengangguk. Entah mengapa ada perasaan takut di dalam diri saya bertemu dengan Nenek. Saya masih belum yakin bahwa Nenek mau menerima saya sebagai cucunya. Bayangan-bayangan pengusiran Nenek bertahun-tahun yang lalu kembali menyeruak di dalam pikiran saya.
"Kamu jangan berpikir yang macam-macam, ya?"
Saya mengangguk, bertepatan dengan kedatangan Nenek yang membawa nampan berisi dua gelas berisi teh.
"Sudah sadar, Nak? Silakan diminum tehnya," ucap Nenek setelah menaruh nampan di meja.
Wanita tua itu duduk di kursi. Saya menerima uluran tangan Wira, lalu ia membantu saya berjalan menuju kursi yang berada di sisi Nenek.
"Kalian dari mana?" tanya Nenek setelah saya dan Wira duduk.
"Kami dari Jakarta, Nek," jawab Wira.
Entah mengapa bibir saya terasa kelu. Kata-kata yang hendak saya ucapkan tercekat di tenggorokan.
"Jauh. Mau apa ke sini?"
Saya dan Wira saling tatap. Kekasih saya itu sepertinya tahu apa yang ada di pikiran saya.
"Bertemu dengan Nenek."
"Bertemu saya? Ada keperluan apa, ya?"
Kali ini, Wira menatap saya. Lewat tatapan matanya, ia meminta saya untuk menjawab pertanyaan Nenek.
"Saya Nara, Nek," jawab saya seraya memilin jemari.
Wira mencoba menguatkan saya lewat senyuman yang ia sunggingkan.
"Nara?"
Dahi wanita tua di hadapan saya mengkerut, seakan-akan tengah kembali mengingat-ingat nama Nara yang ia kenal. Perasaan saya kembali kalut. Bagaimana jika Nenek tidak mengenal saya? Mana mungkin beliau tahu nama anak yang tidak pernah sedikitpun ia harapkan lahir di dunia ini. Tanpa terasa sudut mata saya menjatuhkan butiran bening. Satu tetes, dua tetes hingga di tetesan ke tiga, Nenek menatap saya lekat. Seakan-akan ia tengah memastikan sesuatu.
"Ratna," ucapnya lirih, hampir serupa bisikan. Namun, masih bisa saya dengar.
"Iya, Nek. Saya Nara, anak Ibu Ratna."
"Cucu saya. Kamu Nara cucu saya?" tanya Nenek memastikan.
Mendengar Nenek memanggil saya dengan sebutan cucu, membuat air mata saya luruh.
"Iya, Nek. Saya Nara, cucu Nenek. Anak Ibu Ratna."
"Nara, cucu saya," ucap Nenek seraya merentangkan kedua tangannya.
Saya menghambur ke dalam tubuhnya yang ringkih. Saya memeluknya erat. Kerinduan saya selama ini tercurahkan lewat air mata yang tak henti berderai.
Berkali-kali wanita tua dalam pelukan saya menyebut nama saya berulang-ulang. Dada Nenek basah oleh air mata kerinduan. Untuk pertama kalinya, saya bisa merasakan pelukan hangat selain dari Ibu. Pelukan yang sudah saya impikan sedari kecil. Nenek melerai pelukannya lalu menghapus jejak air mata di pipi saya.
"Kamu cantik. Persis Ratna."
Saya hanya mengangguk. Menatap wanita renta itu dengan tatapan yang sulit untuk saya ungkapkan.
"Di mana Ratna? Mengapa dia tidak ikut dengan kalian?"
Pertanyaan Nenek membuat tubuh saya seakan-akan terikat dengan kuat hingga membuat saya kesulitan untuk bernapas.
"Kenapa dia tidak ikut pulang bersamamu? Apakah Ratna marah sama Nenek, Nara?" tanya Nenek dengan tatapan sendu.
Saya menggeleng.
"Ibu tidak pernah marah sama Nenek. Ibu sayang sama Nenek sampai akhir hayatnya, Nek."
Wanita tua di hadapan saya seperti tengah mencerna kata demi kata yang terlontar dari mulut saya.
"Ratna ...."
"Ibu sudah meninggal, Nek."
Diubah oleh lintangayudy 05-11-2023 00:37




bukhorigan dan mmuji1575 memberi reputasi
2
575
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan