Kaskus

News

sherinapatriciaAvatar border
TS
sherinapatricia
LGBT (LESBIAN, GAY, BISESKSUAL, DAN TRANSGENDER)
Apa itu LGBT ?
LGBT adalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Istilah tersebut digunakan pada tahun 1990 untuk menggantikan frasa komunitas gay atau komunitas yang memiliki orientasi seks terhadap sesama jenis khususnya laki-laki. Istilah LGBT sudah mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan seperti di atas. LGBT memiliki lambang berupa bendera berwarna pelangi.
Jika gay adalah sebutan khusus untuk laki-laki yang memiliki orientasi seks terhadap sesama jenis, lesbian adalah sebutan untuk perempuan yang menyukai sesama jenis. Sedangkan biseksual adalah sebutan untuk orang yang bisa tertarik kepada laki-laki atau perempuan. Transgender sendiri adalah istilah yang digunakan untuk orang yang cara berperilaku atau berpenampilan berbeda atau tidak sesuai dengan jenis kelaminnya.
Menteri Kesehatan RI Nila Djuwita F Moeloek pernah menegaskan, bahwa perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau biasa yang disingkat LGBT dari sisi kesehatan tidak dibenarkan dan bukan gangguan kejiwaan melainkan masalah kejiwaan.
Apa yang jadi penyebab seseorang menjadi LGBT?
Masih banyak masyarakat Indonesia yang masih awam dengan istilah apa itu LGBT. LGBT dianggap sebagai perilaku seks yang menyimpang. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi LGBT. Berikut beberapa faktor yang menjadi penyebab LGBT.
1. Faktor keluarga
Pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya memiliki peranan yang penting bagi para anak untuk lebih cenderung menjadi seorang anggota LGBT daripada hidup normal layaknya orang yang lainnya. Ketika seorang anak mendapatkan perlakuan yang kasar atau perlakuan yang tidak baik lainnya, pada akhirnya kondisi itu bisa menimbulkan anak menjadi cenderung memilih LGBT sebagai pilihan hidup.
2. Faktor lingkungan dan pergaulan
Lingkungan serta kebiasaan seseorang dalam bergaul disinyalir telah menjadi faktor penyebab yang paling dominan terhadap keputusan seseorang untuk menjadi bagian dari komunitas LGBT. Masuknya budaya-budaya yang berasal dari luar negeri juga dianggap menjadi penyebab seseorang untuk ikut menjadi bagian LGBT. Budaya ini yang mengenalkan mereka apa itu LGBT.
3. Faktor genetik
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa salah satu faktor pendorong terjadinya homoseksual, lesbian, atau perilaku seks yang dianggap menyimpang lainnya bisa berasal dari dalam tubuh seseorang LGBT yang sifatnya bisa menurun dari anggota keluarga sebelumnya. Dalam dunia kesehatan, pada umumnya seorang laki-laki normal memiliki kromosom XY dalam tubuhnya, sedangkan wanita yang normal kromosomnya adalah XX. Akan tetapi dalam beberapa kasus ditemukan bahwa seorang pria bisa saja memiliki jenis kromosom XXY, ini artinya bahwa laki-laki tersebut memiliki kelebihan satu kromosom. Akibatnya, lelaki tersebut bisa memiliki berperilaku yang agak mirip dengan perilaku perempuan. Keberadaan hormon testosteron dalam tubuh manusia memiliki andil yang besar terhadap perilaku LGBT. Kadar hormon testosteron yang rendah dalam tubuhnya, bisa mengakibatkan antara lain berpengaruh terhadap perubahan perilakunya, seperti perilaku laki-laki menjadi mirip dengan perilaku perempuan.
Pandangan Islam terhadap LGBT
Dalam Islam LGBT dikenal dengan dua istilah, yaitu Liwath (gay)dan Sihaaq (lesbian). Liwath (gay) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara memasukan dzakar (penis)nya kedalam dubur laki-laki lain. Liwath adalah suatu kata (penamaan) yang dinisbatkan kepada kaumnya Luth ‘Alaihis salam, karena kaum Nabi Luth ‘Alaihis salam adalah kaum yang pertama kali melakukan perbuatan ini. Allah SWT menamakan perbuatan ini dengan perbuatan yang keji (fahisy) dan melampaui batas (musrifun). Sebagaimana Allah terangkan dalam al Quran yang artinya :
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita,bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al ‘Araf: 80 – 81)
Sedangkan Sihaaq (lesbian) adalah hubungan cinta birahi antara sesama wanita dengan image dua orang wanita saling menggesek-gesekkan anggota tubuh (farji’)nya antara satu dengan yang lainnya, hingga keduanya merasakan kelezatan dalam berhubungan tersebut. Hukum Sihaaq (lesbian) adalah haram. Sebenarnya secara fitrah, manusia diciptakan oleh Allah swt berikut dengan dorongan jasmani dan nalurinya. Salah satu dorongan naluri adalah naluri melestarikan keturunan (gharizatu al na’u) yang diantara manifestasinya adalah rasa cinta dan dorongan seksual antara lawan jenis (pria dan wanita). Pandangan pria terhadap wanita begitupun wanita terhadap pria adalah pandangan untuk melestarikan keturunan bukan pandangan seksual semata. Tujuan diciptakan naluri ini adalah untuk melestarikan keturunan dan hanya bisa dilakukan diantara pasangan suami istri.
Bagaimana jadinya jika naluri melestarikan keturunan ini akan terwujud dengan hubungan sesama jenis? Dari sini jelas sekali bahwa homoseks bertentangan dengan fitrah manusia. Oleh karena itu, sudah dipastikan akar masalah munculnya penyimpangan kaum LGBT saat ini adalah karena ideologi sekularisme yang dianut kebanyakan masyarakat Indonesia. Masyarakat sekular memandang pria ataupun wanita hanya sebatas hubungan seksual semata. Oleh karena itu, mereka dengan sengaja menciptakan fakta-fakta yang terindera dan pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual di hadapan pria dan wanita dalam rangka membangkitkan naluri seksual, semata-mata mencari pemuasan. Mereka menganggap tiadanya pemuasan naluri ini akan mengakibatkan bahaya pada manusia, baik secara fisik, psikis, maupun akalnya. Tindakan tersebut merupakan suatu keharusan karena sudah menjadi bagian dari sistem dan gaya hidup mereka. Tidak puas dengan lawan jenis, akhirnya pikiran liarnya berusaha mencari pemuasan melalui sesama jenis bahkan dengan hewan sekalipun, dan hal ini merupakan kebebasan bagi mereka. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al ‘Araf : 179)
Hukum dan Hukumannya para Pelaku LGBT dalam Islam
Pemberlakuan hukuman dalam Islam bertujuan untuk menjadikan manusia selayaknya manusia dan menjaga kelestarian masyarakat. Dalam rangka memelihara keturunan manusia dan nasabnya, Islam telah mengharamkan zina, gay, lesbian dan penyimpangan seks lainnya serta Islam mengharuskan dijatuhkannya sanksi bagi pelakunya. Hal ini bertujuan untuk menjaga lestarinya kesucian dari sebuah keturunan. Berkaitan dengan hukuman pagi para pelaku LGBT, beberapa ulama berbeda pendapat. Akan tetapi, kesimpulannya para pelaku tetap ahrus diberikan hukuman. Ulama berselisih pendapat tentang hukuman bagi orang yang berbuat liwath. Diantara beberapa pendapat tentang hukuman bagi pelaku liwath diantaranya:
Pertama, Hukumannya adalah dengan dibunuh
Kedua, Hukumannya dirajam
Ketiga, hukumannya sama dengan hukuman berzina
Keempat, hukumannya dengan ta’zir.
Sebenarnya sanksi yang dijatuhkan di dunia ini bagi si pendosa akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Tentu saja hukuman di akhirat akan lebih dahsyat dan kekal dibandingkan sanksi yang dilakukan di dunia. Itulah alasan mengapa sanksi – sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (jawazir) dan penebus (jawabir). Disebut pencegah karena akan mencegah orang lain melakukan tindakan dosa semisal, sedangkan dikatakan penebus karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksi di akhirat.
Pandangan Konseling dan Psikoterapi terhadap LGBT
Penanganan kondisi klien yang mengidap LGBTQ dikategorikan dalam populasi khusus (Allan, Tebbe, Duffy, & Autin, 2015). Hal ini dikarenakan tidak seluruh individu akan merasakan dan mengalami kondisi ini, dan hanya karena faktor-faktor tertentulah seseorang mengalami perubahan orientasi seksual. Berbagai permasalahan yang dialami pengidap LGBTQ membutuhkan penanganan khusus oleh konselor, terlebih hal ini menyangkut kondisi kehidupan klien khususnya berupa marginalisasi, gangguan dalam berkarir, norma dalam masyarakat serta keyakinan beragama (Allan et al., 2015; Gattis et al., 2014). Penanganan konseling pada klien yang mengidap LGBTQ menjadi sangat krusial karena lebih dari 60% pengidap kecenderungan orientasi seksual ini merasa tidak aman dan nyaman ketika pergi ke sekolah, dan banyak diantaranya memiliki gejala depresi, self-esteem rendah, bolos sekolah dan hasil belajar rendah (Dank et al., 2014). Selain itu, beberapa riset mengemukakan bahwa terjadinya luka batin yang dialami penderita LGBTQ menjadi salah satu penyebab seseorang memiliki kecenderungan orientasi seksual menyimpang (Sumadi & Wahyu, 2013) sehingga kondisi luka tersebut perlu penanganan konselor. Kondisi lain yang mesti menjadi perhatian bagi konselor adalah kondisi in order motive pengidap LGBTQ yang mengarah pada keinginan untuk kembali memiliki orientasi heteroseksual atau menjadi normal dalam pandangan masyarakat (Saputra, 2015).
Mengingat di beberapa negara maju di dunia telah mengkategorikan perilaku orientasi seksual LGBTQ tidak lagi merupakan gejala penyimpangan (telah dinyatakan keluar dari DSM IV) dan tidak tercantum lagi dalam laporan kesehatan WHO (World Health Organizaton, 2001) maka hal ini bermakna bahwa secara global, tidak banyak yang akan mengkaji penanganan atau pengentasan perilaku ini. Namun hal ini tentu tidak berlaku dalam kebudayaan Indonesia. Adat ketimuran dari Indonesia menganggap bahwa perilaku LGBTQ merupakan sesuatu yang dianggap ”tidak normal” (Azmi, 2015) dan membutuhkan penanganan khusus. Tentu saja konselor di Indonesia, dan seharusnya bersikap arif terhadap norma yang berlaku harus mengambil peran dalam upaya ini. Munculnya fenomena LGBTQ yang saat ini sudah mulai terlihat ke permukaan seperti gambaran gunung es yang masih membutuhkan upaya untuk penelusuran lebih mendalam (Azmi, 2015) salah satunya yang dilakukan oleh konselor. Konselor sebagai pendidik (Kementerian Pendidikan Nasional, 2003) pada hakikatnya memiliki tanggung jawab dalam memelihara kaidah-kaidah pendidikan nasional dalam setiap pelayanannya, salah satunya adalah dalam penanganan perilaku orientasi seksual menyimpang. Selain itu, pendidikan yang salah satunya berlandaskan pada penanaman nilai-nilai karakter-cerdas (Marjohan, 2012) juga tidak sesuai dengan kondisi LGBTQ.
Peran Konselor Terhadap Konseli LGBT
Dalam penanganan bagi klien yang LGBT pasti dimulai dengan menjauhkan terlebih dahulu dari pikiran-pikiran negatif konselor terhadap konseli. Penerimaan yang tulus dari konselor terhadap konseli harus diutamakan dalam konseling terhadap LGBT. Mereka sudah cukup ditolak oleh lingkungan sosialnya, sehingga penerimaan yang tulus dari konselor merupakan pendekatan pertama yang harus dilakukan untuk mengeksplorasi pengalaman konseli. Saat mengeksplorasi konseli, penting bagi konselor untuk megidentifikasi jenis LGBT mana yang sedang dialami oleh konseli. Karena, LGBT yang genetis atau hubungannya dengan factor biologis dirinya, berbeda dengan homoseksual yang disebabkan oleh faktor eksternal dirinya (misalnya karena korban pemerkosaan sesama jenis, sodomi, karena sakit hati atau faktor eksternal lainnya yang menyebabkan konseli menjadi LGBT).
Pengidentifikasian jenis LGBT yang dialaminya penting untuk menentukan tujuan atau fokus bantuan. Jika konseli teridentifikasi mengalami kebingungan karena sejak awal tidak pernah mengalami rasa menyukai terhadap lawan jenis, atau sejak awal memiliki orientasi seksual atau gender yang berbeda, maka yang difokuskan bukan pada bagaimana cara mengubah perilakunya atau orientasi seksualnya menjadi lurus, tapi terlebih dahulu dibantu untuk dapat menerima dirinya serta lingkungannya. Fokus utamanya pada bagaimana konseli dapat bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya, dan terhindar dari perilaku-perilaku beresiko. Karena, menurut penelitian para ahli yang dikemukakan oleh Heffner, mengubah orientasi seksual LGBT ini tidak pernah berhasil.
Dalam pendekatan psikoanalisis, Sigmund Freud memandang proses sosialisasi berdasar pada tahap-tahap psikoseksual dan dinamika kepribadian. Sigmund Freud meyakini bahwa sosialisasi individu akan melewati periode-periode psikoseksual, yaitu mulai masa anak sampai masa dewasa secara khusus Sigmund Freud memiliki pandangan bahwa pengalaman pada masa anak awal memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan kedewasaan individu dimasa mendatang. Freud membagi menjadi 5 tahap perkembangan yaitu: masa oral, anal, falik, laten dan genital. Berkembangnya perilaku transgender dapat disebabkan karena kurangnya peran orang tua dalam memberikan pengertian kepada anak, ketika anak dalam tahap falik (usia 3 tahun sampai 5 tahun). Pada tahap ini, sumber kenikmatan seorang anak adalah pada organ-organ seksualnya. Menurut Freud, seorang anak yang tidak dapat tidak dapat melewati tahap ini secara baik akan mengalami gangguan dalam pembentukan identitas gendernya. Jadi, apabila pada tahap ini si anak tidak dapat memahami identitas gendernya dengan baik, si anak tidak dapat merasa bingung dengan fungsi gendernya. Selain itu, kurangnya pengertian orang tua pada periode perkembangan akhir, yaitu tahap genital (usia 11 tahun ke atas), juga dapat berpengaruh terhadap tumbuhnya perilaku transgender. Pada tahap ini sumber kenikmatan individu adalah pada hal-hal yang berhubungan dengan relasi sosial dengan lawan jenis. Apabila individu tidak mendapat pengertian tentang siapa lawan jenisnya dengan baik, maka anak akan menjadi bingung, apakah seharusnya perempuan memiliki reaksi kenikmatan terhadap laki-laki, demikian juga sebaliknya.
Pendekatan Kontemporer & Pendekatan Islami
Melakukan proses konseling dengan klien LGBT yaitu dengan memakai pendekatan konseling Rational Emotive Behavior digunakan sebagai treatment penyimpangan seksual kaum LGBT, yaitu: (1) menunjukkan sistem keyakinan irrational belief pada klien, memotivasi klien untuk berubah,
(2) membantu klien untuk memodifikasi pikiran dan perasaan mereka menjadi lebih rasional dan masuk akal
(3) mengurangi tingkat frekuensi pemikiran klien yang tidak masuk akal
(4) mengembangkan filosofi hidup klien
(5) menunjukkan konsekuensi negatif apabila klien tetap memelihara keyakinan irasionalnya
(6) komitmen dan rencana dari klien agar mau berubah
(7) intervensi konselor untuk melakukan intervensi spiritual.
Pendekatan Islami nya terhadap konseli yang LGBT yaitu :
(1) Lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah seperti shalat,dzikir,dll
(2) Memilih teman dalam bergaul
(3) Menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat dalam perkara agama dan duniawi
(4) Selalu ingat Allah ketika hendak berbuat sesuatu
ronnie158Avatar border
biohexAvatar border
biohex dan ronnie158 memberi reputasi
0
694
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan