

TS
fiqqifadli
KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK: MENGAPA TAK MELAPOR?
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan mayarakat. Kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja yang mana secara perkembangannya lebih maju secara pemikiran serta modernitas, tetapi juga terjadi di daerah-daerah kecil atau wilayah desa bahkan yang notabene masih memegang prinsip ke-tradisionalan. Seperti halnya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap seorang gadis berusia 14 tahun di Bengkulu yang muncul ke permukaan akhir-akhir ini yang terjadi pada kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. (Putro, 2016)
Hak anak yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, ada baiknya oleh negara dan masyarakat dilindungi dengan berbagai cara dan strategi agar anak terhindar dari kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya kekerasan seksual, karena akan sangat berdampak pada masa depan anak baik secara fisik maupun secara psikis. Jumlah kekerasan seksual anak sebagai korbannya tidak pernah menunjukkan ke titik penurunan, namun cenderung selalu meningkat dari tahun ke tahun . Sulit untuk mengetahui secara pasti angka kekerasan yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu terakhir ini. Hal ini disebabkan karena tidak semua kasus kekerasan dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
Dalam catatan Komnas Perlindungan Anak tahun 2016, dari kasus kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan seksual berada di peringkat kedua dengan jumlah 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18%), sementara pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%). Pada tahun 2015 KPAI juga mencatat terjadi 1.726 kasus pelecehan seksual terjadi dan sekitar 58% dialami oleh anak-anak yang artinya terdapat 1.000 kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak. Data tersebut naik pada pertengahan tahun 2016. Bahkan sejumlah data yang dilansir oleh UNICEF, menunjukkan bahwa 1 dari 10 anak perempuan didunia telah menjadi korban kejahatan seksual. (Hendrian, 2016)
Banyaknya kasus-kasus kekerasan pada anak menunjukkan bahwa kekerasan seksual bukan lagi sebuah masalah yang ringan untuk dipandang sebelah mata, namun sudah menjadi sebuah masalah yang perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan dan lapisan sosial masyarakat di Indonesia. Ada beberapa alasan yang membuat masalah ini enggan untuk dilaporkan oleh korban. Pertama, adanya anggapan bahwa kekerasan seksual anak merupakan suatu hal yang mengandung unsur kerahasiaan (Alaggia, 2004). Kedua, kekerasan seksual menimbulkan rasa malu dan kesulitan mempercayai orang lain (Alaggia, 2005).
Di sisi lain, mengungkapkan permasalahan kekerasan seksual pada anak dapat membantu sekaligus dapat menjadi bumerang bagi si anak. Membantu korban karena keuntungan dari pengungkapan kekerasan seksual yang berimplikasi pada proses pencegahan, treatment, dan science atau pengetahuan, serta investigasi forensik dalam mendapatkan data sebagai informasi (Tang, Freyd, & Wang, 2007). Sebaliknya menjadi bumerang ketika saat si anak sekaligus korban kekerasan seksual mengalami depresi, kecemasan yang tinggi, serta kesulitan dalam hal menyesuaikan diri (Ruggerio, 2004). Oleh karena itu, permasalahan pengungkapan terhadap permasalahan kekerasan seksual terhadap anak pada orang lain bak dua kutub yang saling berlawanan. Di satu sisi dapat memprasaranai proses penyelesaian kasus, namun di sisi lain juga dapat menghambat dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak tersebut.
Selain itu, sejumlah penelitian juga mengungkapkan faktor krusial yang berpengaruh dalam mendukung atau menghambat proses pengungkapan kekerasan seksual terhadap anak salah satunya ialah usia (Herkowitz, 2005). Usia dikatakan sebagai penghambat ketika seorang anak di bawah umur yang menjadi korban kekerasan seksual tidak menyadari apa yang orang lain (pelaku) lakukan padanya, misal ketika pelaku melakukan pelecehan pada seorang bocah berusia 5 tahun dengan menyentuh bagian pantatnya dan pelaku ketika menyentuh pantat sang bocah mengatakan bahwa hal tersebut baik untuk dilakukan sebagai proses saling mengenal, maka sang bocah secara tidak langsung juga akan menyetujuinya tanpa adanya proses filter pada saat berpikir untuk menyetujuinya. Hal tersebut dikarenakan proses kogintif seorang anak pada usia tersebut mash lah belum dapat melakukan proses berpikir secara logis, sehingga seorang pelaku dapat dengan mudahnya mengontrol serta memanipulasi pikiran-pikiran anak-anak di usia yang relatif masih balita ataupun anak-anak awal untuk dikendalikan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku.
Selain usia, gender juga turut mempengaruhi faktor pengungkapan kekerasan seksual terhadap anak. Artinya ada perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam pengungkapan kekerasan seksual yang dialami oleh anak. Hasil ini juga konsisten dengan laporan polisi, pekerja sosial, dan area klinis di Amerika Serikat bahwa dalam studi retrospektif perempuan lebih sering mengungkapkan dari pada laki-laki (Ullman & Filipas, 2005).
Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa kekerasan seksual pada anak memiliki beberapa faktor, antara lain; usia, gender, kerahasiaan, kecemasan, rasa malu, serta kurang percaya pada orang lain. Dari sekian banyaknya faktor, penulis berpendapat bahwa faktor usia berperan paling penting, karena semakin muda usia seseorang, ia masih memiliki pola pikir yang bisa memahami apa itu pelecehan seksual, jadi segala pelecehan yang ia dapat, diaangap sebagai hal yang biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Alaggia, R. (2005). Disclosing the trauma of child abuse: A gender analysis. Journal of Loss and Trauma , 453-470.
Alaggia, R. (2004). Many way of telling: Expanding conceptualizations of child sexual abuse disclosure. Child Abuse & Neglect , 1213-1227.
Hendrian, D. (2016). KPAI: Indonesia Lampu Merah Kejahatan Seksual Anak! Jakarta: KPAI.
Herkowitz, I. (2005). Trends in children disclosure of abuse in israel: A national study . Child Abuse & Neglect , 1203-1214.
Putro, Y. H. (2016). Kronologi Kasus Kematian Yuyun di Tangan 14 ABG Bengkulu. Bengkulu: Liputan6.com.
Ruggerio. (2004). Is disclosureof childhood rape associated with mental health outcame? Result from the national women's study. Child maltreatment , 62-77.
Tang, S. S., Freyd, J. J., & Wang, M. (2007). What do we know about gender in the disclosure of child sexual abuse. Journal of Psychological Trauma , 1-26.
Ullman, S., & Filipas, H. (2005). Gender differences in social reactions to abuse disclosure, post abuse coping, and PTSD of child sexual abuse survivors. Child Abuse & Neglect , 767-782.
Hak anak yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, ada baiknya oleh negara dan masyarakat dilindungi dengan berbagai cara dan strategi agar anak terhindar dari kejahatan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya kekerasan seksual, karena akan sangat berdampak pada masa depan anak baik secara fisik maupun secara psikis. Jumlah kekerasan seksual anak sebagai korbannya tidak pernah menunjukkan ke titik penurunan, namun cenderung selalu meningkat dari tahun ke tahun . Sulit untuk mengetahui secara pasti angka kekerasan yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu terakhir ini. Hal ini disebabkan karena tidak semua kasus kekerasan dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
Dalam catatan Komnas Perlindungan Anak tahun 2016, dari kasus kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan seksual berada di peringkat kedua dengan jumlah 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18%), sementara pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%). Pada tahun 2015 KPAI juga mencatat terjadi 1.726 kasus pelecehan seksual terjadi dan sekitar 58% dialami oleh anak-anak yang artinya terdapat 1.000 kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak. Data tersebut naik pada pertengahan tahun 2016. Bahkan sejumlah data yang dilansir oleh UNICEF, menunjukkan bahwa 1 dari 10 anak perempuan didunia telah menjadi korban kejahatan seksual. (Hendrian, 2016)
Banyaknya kasus-kasus kekerasan pada anak menunjukkan bahwa kekerasan seksual bukan lagi sebuah masalah yang ringan untuk dipandang sebelah mata, namun sudah menjadi sebuah masalah yang perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan dan lapisan sosial masyarakat di Indonesia. Ada beberapa alasan yang membuat masalah ini enggan untuk dilaporkan oleh korban. Pertama, adanya anggapan bahwa kekerasan seksual anak merupakan suatu hal yang mengandung unsur kerahasiaan (Alaggia, 2004). Kedua, kekerasan seksual menimbulkan rasa malu dan kesulitan mempercayai orang lain (Alaggia, 2005).
Di sisi lain, mengungkapkan permasalahan kekerasan seksual pada anak dapat membantu sekaligus dapat menjadi bumerang bagi si anak. Membantu korban karena keuntungan dari pengungkapan kekerasan seksual yang berimplikasi pada proses pencegahan, treatment, dan science atau pengetahuan, serta investigasi forensik dalam mendapatkan data sebagai informasi (Tang, Freyd, & Wang, 2007). Sebaliknya menjadi bumerang ketika saat si anak sekaligus korban kekerasan seksual mengalami depresi, kecemasan yang tinggi, serta kesulitan dalam hal menyesuaikan diri (Ruggerio, 2004). Oleh karena itu, permasalahan pengungkapan terhadap permasalahan kekerasan seksual terhadap anak pada orang lain bak dua kutub yang saling berlawanan. Di satu sisi dapat memprasaranai proses penyelesaian kasus, namun di sisi lain juga dapat menghambat dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak tersebut.
Selain itu, sejumlah penelitian juga mengungkapkan faktor krusial yang berpengaruh dalam mendukung atau menghambat proses pengungkapan kekerasan seksual terhadap anak salah satunya ialah usia (Herkowitz, 2005). Usia dikatakan sebagai penghambat ketika seorang anak di bawah umur yang menjadi korban kekerasan seksual tidak menyadari apa yang orang lain (pelaku) lakukan padanya, misal ketika pelaku melakukan pelecehan pada seorang bocah berusia 5 tahun dengan menyentuh bagian pantatnya dan pelaku ketika menyentuh pantat sang bocah mengatakan bahwa hal tersebut baik untuk dilakukan sebagai proses saling mengenal, maka sang bocah secara tidak langsung juga akan menyetujuinya tanpa adanya proses filter pada saat berpikir untuk menyetujuinya. Hal tersebut dikarenakan proses kogintif seorang anak pada usia tersebut mash lah belum dapat melakukan proses berpikir secara logis, sehingga seorang pelaku dapat dengan mudahnya mengontrol serta memanipulasi pikiran-pikiran anak-anak di usia yang relatif masih balita ataupun anak-anak awal untuk dikendalikan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku.
Selain usia, gender juga turut mempengaruhi faktor pengungkapan kekerasan seksual terhadap anak. Artinya ada perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam pengungkapan kekerasan seksual yang dialami oleh anak. Hasil ini juga konsisten dengan laporan polisi, pekerja sosial, dan area klinis di Amerika Serikat bahwa dalam studi retrospektif perempuan lebih sering mengungkapkan dari pada laki-laki (Ullman & Filipas, 2005).
Dari uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa kekerasan seksual pada anak memiliki beberapa faktor, antara lain; usia, gender, kerahasiaan, kecemasan, rasa malu, serta kurang percaya pada orang lain. Dari sekian banyaknya faktor, penulis berpendapat bahwa faktor usia berperan paling penting, karena semakin muda usia seseorang, ia masih memiliki pola pikir yang bisa memahami apa itu pelecehan seksual, jadi segala pelecehan yang ia dapat, diaangap sebagai hal yang biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Alaggia, R. (2005). Disclosing the trauma of child abuse: A gender analysis. Journal of Loss and Trauma , 453-470.
Alaggia, R. (2004). Many way of telling: Expanding conceptualizations of child sexual abuse disclosure. Child Abuse & Neglect , 1213-1227.
Hendrian, D. (2016). KPAI: Indonesia Lampu Merah Kejahatan Seksual Anak! Jakarta: KPAI.
Herkowitz, I. (2005). Trends in children disclosure of abuse in israel: A national study . Child Abuse & Neglect , 1203-1214.
Putro, Y. H. (2016). Kronologi Kasus Kematian Yuyun di Tangan 14 ABG Bengkulu. Bengkulu: Liputan6.com.
Ruggerio. (2004). Is disclosureof childhood rape associated with mental health outcame? Result from the national women's study. Child maltreatment , 62-77.
Tang, S. S., Freyd, J. J., & Wang, M. (2007). What do we know about gender in the disclosure of child sexual abuse. Journal of Psychological Trauma , 1-26.
Ullman, S., & Filipas, H. (2005). Gender differences in social reactions to abuse disclosure, post abuse coping, and PTSD of child sexual abuse survivors. Child Abuse & Neglect , 767-782.
0
1.6K
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan