Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Gevaa111Avatar border
TS
Gevaa111
TUMBAL TERAKHIR


Sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya perlahan merambat naik, memenuhi rongga mulut Ratri Kusuma yang sedari tadi merapal mantra. Tubuhnya bergetar, kian lama kian kencang, sementara mulutnya tak henti bersuara.

Mantra itu adalah pemanggil arwah yang Ratri Kusuma dapatkan dari Ki Sentana, seorang kuncen Alas Bondowoso. Perempuan setengah tua itu menyebut Ki Sentana sebagai ayah sejak dirinya ditemukan hampir mati dimangsa binatang buas puluhan tahun silam.

Ratri Kusuma masih dalam posisinya berdiri, tetapi tubuhnya terus bergerak ke sana ke mari. Mulutnya masih merapal mantra dengan cepat, sesekali lembut, lalu meradang seakan hendak mencaci maki sesuatu. Mungkin, orang yang tidak paham akan menyebutnya tengah meracau.

Satu per satu arwah penasaran, jin, lelembut, dan makhluk gaib sejenisnya mulai berdatangan. Mereka mengerumuni tubuh perempuan ayu itu dengan beringas.

“Lakukan apa yang harus kalian lakukan. Habiskan makan malam lezat itu demi Ki Agung Sudibjo, junjungan kita,” perintah Ratri Kusuma dengan mata terpejam.

***

Hari menjelang siang. Teriknya sudah nyaris sampai ke puncak kepala ketika Ki Agung Sudibjo datang. Lelaki itu menyapukan pandangan ke sekeliling halaman rumah milik Nyai Ratri Kusuma. Ia sedikit gugup karena baru pertama kalinya berada di situ, bahkan belum pernah melihat Ratri Kusuma seperti apa yang dibicarakan orang-orang.

“Hmmm, sungguh asri dan rapi. Benar-benar tidak tampak bahwa ini adalah rumah seorang dukun,” gumamnya.

“Maaf, saya bukan dukun. Saya putri dari Ki Sentana, kuncen Alas Bondowoso.” Tiba-tiba terdengar suara keras dan tegas dari dalam rumah. Ki Agung Sudibjo terperanjat.

“Silakan masuk, ada perlu apa?” lanjut suara itu.

Dengan sedikit ragu, Ki Agung Sudibjo melangkah maju. Ia menangkap sebuah siluet tubuh perempuan ramping dari balik tirai jendela.

Ki Agung Sudibjo memasuki kediaman Ratri Kusuma. Rasa gentar berusaha ditepisnya karena tujuannya jauh lebih penting.

“Perkenalkan, aku Agung Sudibjo.”

“Ratri Kusuma.”

Kedua insan berbeda jenis itu kemudian bersalaman. Ki Agung Sudibjo menyempatkan diri untuk memandangi sosok perempuan di hadapannya. Ia sedikit berdecak melihat keanggunan yang memancar dari Ratri Kusuma.

“Aku ingin dirimu, Nyai,” kata Ki Agung Sudibyo setelah duduk di kursi ukiran kayu.

“Apa? Apa maksudmu, Tuan?” balas Ratri Kusuma.

Lelaki setengah bungkuk itu tergeragap. Ia menyadari kalau sudah salah bicara. “Maksudku, aku butuh bantuanmu,” ujarnya kemudian.

Ratri Kusuma mengambil sikap duduk di samping tamunya itu. Rambut putihnya yang tadi tergerai panjang, digelungnya rapi. Semua itu kian menebarkan aura kecantikan maha dahsyat untuk seorang perempuan yang tak lagi muda sepertinya.

“Apakah ada orang lain di sini?” tanya lelaki itu sembari celingukan.

Ratri Kusuma menggeleng. Ia paham, lelaki di sebelahnya itu bukanlah orang biasa.

“Tapi aku takut kalau harus berbicara keras. Permasalahan hidupku dan tujuanku datang ke mari ini sangat penting dan rahasia, Nyai,” tutur Ki Agung Sudibjo lagi.

Ratri Kusuma tersenyum. Ia kemudian berdiri, lalu menggeser kursinya untuk duduk lebih dekat lagi dengan tamunya itu, lalu mencondongkan bahu ke samping. “Kau bisa berbisik langsung di telingaku.”

Aroma kemuning menguar. Hampir-hampir membuat Ki Agung Sudibjo pingsan, tetapi tetap ditahannya. Sembari menikmati keindahan wajah Ratri Kusuma, ia membisikkan sebuah hal.

***

Malam 1 Sura.

“Ini sudah waktunya, kenapa mereka belum datang juga?” Ratri Kusuma menggeram sambil berjalan mondar-mandir di depan gerbang gedung bekas sekolahan itu dengan gelisah. Rambut putihnya ia biarkan lepas tergerai ditiup angin. Kesan seram pasti akan tampil setiap kali orang lain melihatnya.

Beberapa orang sudah datang. Ratri Kusuma tersenyum lega. Tanpa menghitung jumlahnya, ia mempersilakan mereka masuk.

Ratri menggiring orang-orang itu untuk masuk ke dalam sebuah ruangan luas dan kosong, tetapi kotor itu lalu menguncinya dari luar dengan pagar gaib. Tak seorang pun yang masuk ke sana, dapat keluar dengan bebas kecuali memiliki kemampuan khusus.

Perempuan setengah tua itu masih saja gelisah, sebab jumlah orang yang datang belum setengah dari yang diinginkan Ki Agung Sudibjo.

“Ini tidak bisa dibiarkan. Bisa-bisa, aku juga menjadi korban,” bisik Ratri Kusuma dalam hati.

Ratri Kusuma bergegas menuju halaman gedung bekas sekolahan itu, lalu menyandarkan tubuh pada sebatang pohon beringin besar. Dari aura berbeda yang terasa, ia yakin, teman-temannya dari dunia gaib sudah datang semua.

Perlahan Ratri Kusuma memejamkan mata. Bayangan berpuluh tahun silam, ketika ia masih menjadi seorang bocah kecil tanpa daya. Dirinya tak dapat mengingat dengan pasti, siapa sosok orang tua kandung yang telah tega meninggalkannya di Alas Bondowoso.

Yang lekat dalam benak Ratri Kusuma adalah, saat gigi-gigi tajam para binatang buas berbulu loreng dan hitam mengoyak kulitnya.

“Aaah!” pekik Ratri Kusuma sembari menutup kedua telinga dengan telapak tangannya. Bayangan mengenai rasa sakit dan perih menyergap seketika. Air matanya berguguran dari kedua kelopak matanya yang mulai dihiasi keriput.

Adalah seorang kuncen Alas Bondowoso, bernama Ki Sentana. Ia adalah seorang pria tua tanpa istri dan anak yang membaktikan hidup untuk menjaga keutuhan pesona Alas Bondowoso. Dari lelaki itulah, sang bocah malang, diselamatkan. Ki Sentana memberinya nama Ratri Kusuma yang berarti bunga yang ada di malam hari. Hal itu sesuai waktu, ketika sang bocah ditemukan.

Ratri tumbuh menjadi seorang gadis cantik dan cerdas. Kepadanyalah, Ki Sentana mewariskan ilmu-ilmu kebatinan dan juga mantra-mantra pengundang bangsa lelembut.

Nama Ratri sama tersohornya dengan Ki Sentana. Namun sayang, lelaki penyayang itu meninggal dalam sebuah pagebluk(¹) yang melanda desa sekitar Alas Bondowoso beberapa tahun silam. Hal itu diyakini oleh warga setempat sebagai perwujudan amarah para penunggu alas Bondowoso sehubungan dengan dibangunnya sebuah sekolahan di area itu.

Padahal, bangunan sekolah itu didirikan sejak lama, bahkan sebelum Ki Sentana lahir. Hanya para bangsawan dan orang kaya yang bisa bersekolah di situ. Sayangnya, penghuni Alas Bondowoso tidak menyukainya. Dengan berbagai cara, mereka meneror para siswa, berikut guru dan karyawan yang berada di sekolah itu. Banyak orang menjadi sakit, tak terbilang yang tewas mengerikan.

Lambat laun, sekolah itu mulai ditinggalkan. Para bangsawan dan orang-orang kaya tak lagi bersedia menyekolahkan putra-putri mereka di situ. Para guru dan karyawan pun memilih hengkang dan mencari pekerjaan lain.

Jadilah bangunan sekolah itu tak ubahnya seperti istana para lelembut yang paling menyeramkan. Terkadang, bangunan itu tampak sebagai tempat kediaman megah dengan cahaya benderang. Hal itu menyebabkan orang asing yang melintasi alas, tergoda untuk singgah. Selebihnya, jika keimanan mereka goyah, kematianlah yang akan datang menjemput.

Akan tetapi, banyak pula orang yang tidak melihat keberadaan sekolah itu, selain gundukan tanah lengkap dengan tanaman-tanaman liar yang tumbuh merambat dan meninggi dengan lebatnya.

“Jaga alas ini, Nduk, seperti Ayah menjaga dirimu. Dari alas itu, air kehidupan kita dapatkan. Air itu mengaliri pinggiran desa-desa di sekitarnya. Jangan sekali-kali kamu membiarkan manusia merusaknya.”

Kata-kata Ki Sentana sebelum berpulang itulah yang benar-benar terpatri dalam sanubari Ratri Kusuma. Meski ia dibesarkan dengan segala ilmu kebatinan yang mengundang mistis, tetapi ia tetap mempunyai pemikiran rasional. Ia yakin, ayahnya meninggal murni karena wabah penyakit yang tidak ada hubungannya sekali pun dengan bangsa lelembut itu.

“Bapak, aku rindu,” desah Ratri Kusuma. Hatinya mendadak pilu. Ia juga merasa bersalah, sebab iming-iming kekayaan dan kecantikan abadi dari Ki Agung Sudibjo membuatnya harus merelakan alas warisan Ki Sentana untuk diobrak-abrik para peserta uji nyali itu. Parahnya lagi, mereka harus datang untuk mati. Mereka akan ditumbalkan untuk perwujudan ambisi Ki Agung Sudibjo.

Menjelang tengah malam, orang-orang sudah ramai berada di bangunan sekolahan.

“Sudah delapan belas orang. Cukuplah. Semoga mereka semua memenuhi syarat,” kata Ratri Kusuma.

Sejenak Ratri Kusuma menghela napas. Matanya mulai memejam, berusaha menyatukan pikiran dalam mantra andalan setelah sebelumnya ia membuat pagar gaib di seluruh ruangan sekolah agar tak seorang pun dapat meloloskan diri.

“Dhuh jagat samya sirep. Lelaguning sedya amung sajroning manah. Ambyur, ambyura .... mring jalma. Jalma mati ....(²)”

“Aaah!” terdengar suara jeritan dari dalam ruang-ruang yang terkunci.

“Dhuh jagat samya sirep. Lelaguning sedya amung sajroning manah. Ambyur, ambyura ... mring jalma. Jalma mati ....”

Desau angin menyapa dedaunan, membuat gigil paling menyeramkan untuk setiap insan yang berada di situ. Siutnya kian kencang, seiring mantra yang terucap dari mulut Ratri Kusuma.

Jeritan-jeritan dari dalam gedung sekolah kian terdengar miris. Beberapa di antara para peserta uji ada yang menangis, melolong-lolong, mungkin karena rasa ketakutan yang mendalam ketika ajal sudah di depan mata.

Ratri Kusuma tidak lagi berpikir, dengan cara apa para makhluk gaib itu menghabisi nyawa. Ia hanya berpikir, mengenai jumlah tumbal yang harus dipersembahkan untuk junjungan Ki Agung Sudibjo, demi mencapai kesempurnaan duniawi.

Menjelang fajar, suasana menjadi hening. Para makhluk gaib telah meninggalkan tempat. Ratri Kusuma memasuki gedung bekas sekolah dengan langkah tertatih. Tenaganya nyaris habis tadi saat ritual pemanggilan arwah. Dari balik pintu-pintu yang tertutup, cairan lengket dan amis menggenang.

“Sepertinya, mereka telah habis binasa,” kata Ratri Kusuma dalam hati.

Tiba-tiba terdengar suara bisikan dari arah belakang gedung sekolah.

“Nyai! Hentikan pemuda itu!” Tiba-tiba suara Ki Agung Sudibjo menggelegar. Ratri Kusuma menyadari bahwa salah satu peserta berhasil melarikan diri.

“Tapi, Ki. Setelah pagi datang, aku tak mampu berbuat apa-apa!” teriak Ratri sembari berlari. Ingin hatinya mengejar pemuda itu, tetapi napasnya tersengal. Kakinya mendadak kebas dan susah digerakkan.

“Kalian akan menumbalkan kami?” ujar seseorang yang lain.

Ratri Kusuma terperenyak. Begitu juga Ki Agung Sudibjo. Dua mata pisau melayang ke arah mereka.[]



Catatan kaki:
1. Pagebluk : wabah penyakit
2. Dhuh jagat samya sirep. Lelaguning sedya amung sajroning manah. Ambyur... ambyura mring jalma. Jalma mati: duh dunia semua senyap. Nyanyian tentang segala keinginan hanya di dalam jiwa. Lebur ... leburlah dalam diri manusia. Manusia mati.
danjau
aryanti.story
fajar1908
fajar1908 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
2K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan