- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Polemik Royalti Musik, Pengusaha: Kita Nggak Putar, So What?
TS
alioski
Polemik Royalti Musik, Pengusaha: Kita Nggak Putar, So What?
Kalangan pengusaha ritel mempertanyakan aturan royalti penyetelan musik yang justru keluar di masa pandemi Covid-19. Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menilai saat ini bukanlah waktu yang tepat, pasalnya banyak ritel yang tutup akibat tidak kuat menanggung beban operasional. Bisa saja pengusaha ritel lebih memilih untuk tidak memutar lagu-lagu yang terkena aturan royalti.
"Kita nggak akan pasang lagu, musik, kita pasang lagu non-royalti yang dari YouTube dan sebagainya. Akhirnya pencipta lagi nggak bisa mempopulerkan lagunya. Kalau kita nggak putar lagunya so what? Kita punya hak," tegas Roy kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (9/4/21).
Baca: Ini Alasan Pengusaha Tak Sudi Kena Royalti Lagu di Toko-Mal
Roy mengaku anggotanya siap mengikuti aturan ketika tarif royalti sesuai dan momentumnya tepat. Namun pada masa pandemi, saat ini sudah banyak toko ritel yang tidak kuat menahan biaya operasional. Karenanya, tidak sedikit yang akhirnya tutup, misalnya seperti Giant, Ramayana dan toko-toko ritel besar lainnya. Bisa beroperasi saja sudah bagus.
"Kalau tarifnya bisa diterima oke-oke aja, tapi kalau tarifnya nggak bisa diterima karena ketinggian atau memberatkan, gimana kita mau operasi buka toko? Yang ada makin banyak yang menutup. Ujung-ujungnya PHK. PPN, PPh, PAD daerah hilang, ujung-ujungnya Investasi dicabut, UMKM yang biasa taruh di toko tersebut nanti nggak bisa perdagangkan, kan multiplier effect," paparnya.
Oleh karena itu, Roy berpendapat perlu adanya kolaborasi antara pelaku usaha ritel, baik dengan pencipta lagi, penyanyi dan unsur-unsur yang ada di sisi industri musisinya, sehingga tercapai situasi saling menguntungkan. Toko ritel bisa ikut mempopulerkan lagu dan tarif royalti bisa disinergikan dengan baik.
"Misal karena lagu baru sekaligus kita populerkan nggak dikenakan dulu, karena kita ingin populerkan kita ada bayar listrik. Setelah itu baru, kalau jadi tren, oke baru diperhitungkan, tapi gimana dasar pengenaannya ada dialog, bukan didukung karena ada regulasi jadi superpower," sebutnya.
Ia mengungkapkan bahwa mulanya pembicaraan berjalan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersertifikasi, namun kemudian ditindaklanjuti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
"Kita sudah meeting dengan LMKM, kita mau regulasi yang resmi dengan pemerintah, bukan LSM bersertifikat tadi. Dari pembicaraan bersama LMKM jauh sebelum pandemi, kita sudah jauh-jauh hari bilang ini perlu dibangun edukasi dan sosialisasi, kepada pelaku usaha, perlu dibincangkan mengenai tarifnya. Karena kaitan tarif kita sebagai pelaku usaha yang dikenakan sebagai target pembayaran, target kewajiban," sebutnya.
Sementara itu dari sisi restoran pun serupa, Wakil Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) bidang Restoran Emil Arifin menyebut setuju asalkan momentumnya tepat. Saat ini, restoran pun menjadi salah satu sektor yang terkena dampak pandemi Covid-19.
"Prinsipnya setuju, hormati artis-artis, seniman kita, tapi persoalannya penyalurannya harus benar, dan momentumnya lagi kayak begini. Ada kelonggarannya lah gimana ditahan dulu," sebut Emil.
Adapun aturan ini menjadi polemik setelah PP tersebut ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 30 Maret 2021 dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna Laoly pada 31 Maret 2021.
"Untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum terhadap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik serta setiap Orang yang melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dibutuhkan pengaturan mengenai Pengelolaan Royalti Hak Cipta lagu dan/atau musik," demikian bunyi pertimbangan PP 56/2021.
https://www.cnbcindonesia.com/lifest...utar-so-what/2
Ngga diputar jadinya nih
"Kita nggak akan pasang lagu, musik, kita pasang lagu non-royalti yang dari YouTube dan sebagainya. Akhirnya pencipta lagi nggak bisa mempopulerkan lagunya. Kalau kita nggak putar lagunya so what? Kita punya hak," tegas Roy kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (9/4/21).
Baca: Ini Alasan Pengusaha Tak Sudi Kena Royalti Lagu di Toko-Mal
Roy mengaku anggotanya siap mengikuti aturan ketika tarif royalti sesuai dan momentumnya tepat. Namun pada masa pandemi, saat ini sudah banyak toko ritel yang tidak kuat menahan biaya operasional. Karenanya, tidak sedikit yang akhirnya tutup, misalnya seperti Giant, Ramayana dan toko-toko ritel besar lainnya. Bisa beroperasi saja sudah bagus.
"Kalau tarifnya bisa diterima oke-oke aja, tapi kalau tarifnya nggak bisa diterima karena ketinggian atau memberatkan, gimana kita mau operasi buka toko? Yang ada makin banyak yang menutup. Ujung-ujungnya PHK. PPN, PPh, PAD daerah hilang, ujung-ujungnya Investasi dicabut, UMKM yang biasa taruh di toko tersebut nanti nggak bisa perdagangkan, kan multiplier effect," paparnya.
Oleh karena itu, Roy berpendapat perlu adanya kolaborasi antara pelaku usaha ritel, baik dengan pencipta lagi, penyanyi dan unsur-unsur yang ada di sisi industri musisinya, sehingga tercapai situasi saling menguntungkan. Toko ritel bisa ikut mempopulerkan lagu dan tarif royalti bisa disinergikan dengan baik.
"Misal karena lagu baru sekaligus kita populerkan nggak dikenakan dulu, karena kita ingin populerkan kita ada bayar listrik. Setelah itu baru, kalau jadi tren, oke baru diperhitungkan, tapi gimana dasar pengenaannya ada dialog, bukan didukung karena ada regulasi jadi superpower," sebutnya.
Ia mengungkapkan bahwa mulanya pembicaraan berjalan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersertifikasi, namun kemudian ditindaklanjuti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
"Kita sudah meeting dengan LMKM, kita mau regulasi yang resmi dengan pemerintah, bukan LSM bersertifikat tadi. Dari pembicaraan bersama LMKM jauh sebelum pandemi, kita sudah jauh-jauh hari bilang ini perlu dibangun edukasi dan sosialisasi, kepada pelaku usaha, perlu dibincangkan mengenai tarifnya. Karena kaitan tarif kita sebagai pelaku usaha yang dikenakan sebagai target pembayaran, target kewajiban," sebutnya.
Sementara itu dari sisi restoran pun serupa, Wakil Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) bidang Restoran Emil Arifin menyebut setuju asalkan momentumnya tepat. Saat ini, restoran pun menjadi salah satu sektor yang terkena dampak pandemi Covid-19.
"Prinsipnya setuju, hormati artis-artis, seniman kita, tapi persoalannya penyalurannya harus benar, dan momentumnya lagi kayak begini. Ada kelonggarannya lah gimana ditahan dulu," sebut Emil.
Adapun aturan ini menjadi polemik setelah PP tersebut ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 30 Maret 2021 dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna Laoly pada 31 Maret 2021.
"Untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum terhadap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik serta setiap Orang yang melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dibutuhkan pengaturan mengenai Pengelolaan Royalti Hak Cipta lagu dan/atau musik," demikian bunyi pertimbangan PP 56/2021.
https://www.cnbcindonesia.com/lifest...utar-so-what/2
Ngga diputar jadinya nih
yeduoka dan 13 lainnya memberi reputasi
12
10.4K
243
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan