Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dwindrawatiAvatar border
TS
dwindrawati
DILABRAK MERTUA
Agan Sista, kisah ini adalah kelanjutan dari cerita "KUPULANGKAN SUAMIKU KEPADA IBUNYA"

Kisah sebelumnya bisa Agan Sista baca DI SINI


***


Aku sedang menyuapi Riska dengan nasi kuning di warung Bu Teti, di warung salah satu tetangga yang menjual berbagai menu sarapan pagi.

Hari ini aku bangun agak kesiangan, jadi tak sempat membuat sarapan. Mungkin karena semalam aku tidur larut malam. 

Nyaris semalam suntuk pikiranku mengembara memikirkan biduk rumah tangga yang baru kujalani hampir empat tahun ini. 

Akankah berakhir begitu saja karena sifat egois ibu mertua?

Kubujuk Riska yang mengatupkan mulutnya, mungkin dia sudah kenyang. Aku pun tak mau memaksanya. 

Selain akan makan waktu, aku juga sedang diburu waktu. Sudah hampir pukul setengah tujuh, aku harus bergegas kalau tak ingin terlambat kerja.

Jarak rumah dengan tempat penampungan pinang tempatku bekerja lumayan jauh karena aku menempuhnya dengan berjalan kaki.

Aku berdiri hendak membayar makanan yang aku dan Riska makan kepada Bu Teti. 

"Riska hari ini nggak habis mamamnya?" Bu Teti bertanya ramah sambil mencubit gemas pipi Riska.

"Iya Bu, mungkin sudah kenyang," jawabku sembari menyodorkan selembar pecahan sepuluh ribu rupiah.

Di kampung kami, nyaris semua penjual makanan mematok dagangannya dengan harga murah. Bu Teti memberiku kembalian tiga ribu rupiah.

Aku pun pamit ijin duluan pada beberapa tetanggaku yang juga sedang sarapan di tempat yang sama.

Saat hendak meninggalkan teras rumah Bu Teti, dari kejauhan aku menangkap seperti bayangan Bang Ipul dengan motornya. Aku ragu-ragu karena tak begitu jelas. 

Namun saat jarak semakin dekat, barulah aku yakin bahwa itu memang benar suamiku yang kuusir tadi malam. 

Tapi, sepertinya ia tak sendiri. Tidak tau siapa yang berada di boncengannya itu karena tertutup oleh tubuh Bang Ipul dari depan.

Ketika ia sudah tiba tepat di hadapanku, dia pun mematikan mesin motornya. Aku berdiri dengan Riska yang ada dalam gendonganku.

Saat itulah baru aku sadar bahwa yang dibonceng Bang Ipul ternyata adalah Ibunya, yang juga mertuaku. Ibu mertuaku langsung turun dari boncengan, kemudian berjalan menuju padaku dengan langkah tergesa, bagai tak sabar ingin segera menerkam mangsa.

"Heh Yanti, bagus kau ya, berani-beraninya kau usir si Ipul dari rumah! Apa hakmu mengusir anakku? Yang bayar sewa rumah kan dia? Harusnya kau yang diusir karena sudah kurang ajar dan durhaka pada mertua dan suami!"

Tanpa tedeng aling-aling, ibu mertuaku itu mencaci maki sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Aku yang kaget mendapat serangan tanpa persiapan, sempat terpana beberapa saat. 

Tangis Riska yang menggugahku dari keterpakuan barusan.

Ibu Bang Ipul menatapku dengan mata melotot lebar. Rambutnya meriap-riap berantakan ke depan, mungkin karena terkena angin sewaktu berada diboncengan Bang Ipul dalam perjalanan menuju kemari.

"Jangan bicara di sini Bu, malu banyak orang," kataku. Merasa malu karena semua tatapan orang-orang kini beralih pada kami.

"Alahh, kenapa memangnya? Takut kau ya, tetanggamu semua tau tabiatmu yang durhaka ini? Kenapa memangnya kalau anakku Ipul kasih gajinya ke aku? Kau mau larang-larang seorang anak yang mau berbakti? Tau dosa gak kau Yanti?" suara Ibu Bang Ipul makin meninggi. 

Kulihat tubuhnya sedikit bergetar, mungkin karena emosinya yang membuncah, yang tampak hendak ditumpahkannya padaku semua kemarahannya itu.

Tangis Riska dalam gendonganku juga makin kencang. Tak sedikitpun membuat nenek dan bapaknya iba. 

Kulirik lelaki berbadan besar yang kusebut suami itu. Tapi ia sungguh tak punya nyali, membuang muka, dan hanya mendiamkan ibunya memaki-maki aku dengan ganas.

Bu Teti tiba-tiba maju. Meraih Riska ke dalam gendongannya.

Sungguh sebenarnya aku malu, bukan karena dicaci maki bagai manusia tak berharga, tapi aku malu aib dalam rumah tanggaku kini jadi tontonan orang banyak.

Tapi biarlah, sudah telanjur kepalang. Dia jual, aku beli!

Kulempar tatapan tajam pada mertuaku. Kami berdua bagai dua ekor singa lapar yang hendak bertarung, siap saling mencabik satu sama lain dengan kata-kata penghinaan.

"Ibu tanya Yanti tadi ngerti dosa apa enggak? Sebelum Ibu tanya Yanti, apa Ibu sudah tanya ke diri Ibu sendiri? Mengambil hak menantu dan cucu sendiri itu dosa nggak, Bu? Dan sudah Ibu ajarin belum, anak Ibu ini, bagaimana cara bertanggungjawab sebagai suami?" 

Aku beralih pada Bang Ipul yang wajahnya terliha memerah, mungkin karena menahan malu.

"Kau jangan ajari ikan berenang, Yanti! Kau yang dengki, kau yang sok ngajarin aku soal dosa! Aku ini orang tua, tak ada seujung kuku pun ilmu agama yang kau punya jika dibanding aku!"

Aku tertawa sinis mendengar kata-kata Ibu Bang Ipul.

"Ilmu agama Yanti memang tak punya. Tapi sebagai seorang yang mengaku punya ilmu agama, apa Ibu tak malu, memakan hak Yanti dan Riska cucu Ibu? Setiap suamiku gajian, Ibu yang duluan ambil jatah. Sisanya beberapa ratus ribu itu yang Ibu kasih ke Bang Ipul untuk Yanti kelola. Kami bahkan selalu hidup kekurangan."

"Untuk makan pun kami harus berhutang ke warung. Andai Ibu tak serakah, tentulah menantu dan cucu Ibu ini tak pernah kelaparan." 

Tangisku hampir membuncah, tapi kutahan sekuat tenaga.  Belaian tangan Bu Teti dipunggung terasa memberi kekuatan padaku.

Orang-orang yang tadinya asik menyantap sarapan, kini berkerumun memandang.

Malu sudah tak kuhiraukan, toh jika aib ini sampai tersebar, itu bukan karena salahku. Bang Ipul dan Ibunya lah yang duluan menyerangku di khalayak umum.

Ibu Bang Ipul hendak memukul wajahku, tapi tangan Bang Ipul mencegahnya dengan cepat dan tepat waktu.

"Bu, jangan main fisik dong!" Bu Imar, salah satu tetanggaku berteriak pada mertuaku.

"Biar! Kalian jangan ikut campur! Biar kuhajar mulut menantu kurang ajar ini! Kalian jangan ikut-ikutan!" teriaknya kalap sambil berusaha melepaskan diri dari tangan Bang Ipul.

Sedikit pun nyaliku tak surut. Semakin kupandangi semakin dia emosi, bagai hendak dilumatnya aku dalam sekali pukulan.

"Bu, anak kalau sudah berumah tangga, jangan direcokin. Kan kasihan Yanti, haknya sebagai istri malah ditikung mertua sendiri. Kamu juga Pul, sudah berkeluarga, harusnya anak istri yang didahulukan. Kan mereka jadi tanggung jawabmu yang utama." 

Bu Teti kali ini yang berkomentar, dan diiiyakan oleh tetangga-tetangga lainnya. Suasana menjadi riuh. Semua jari menuding pada suami dan mertuaku. Menyalahkan keduanya.

Bang Ipul nampak menahan malu, tak ada satu orang pun yang membelanya maupun ibunya. Malah semua menasihatinya, berusaha menyadarkannya dari kekeliruan.

Tapi sepertinya tak mempan pada ibu mertuaku. Dia tetap bersikeras bahwa akulah yang salah dan harus dipermalukan.

"Ipul, ayo kita pulang! Setelah ini, segera kau ceraikan perempuan durhaka ini! Nanti kucarikan kau pengganti yang jauh lebih baik darinya!"

"Bu ...," rengek Bang Ipul pada ibunya.

"Apa kau Pul? Jangan bikin malu kau ya?! Banyak perempuan di luar sana. Kau mapan dan gagah, tak susah kau cari ganti istri yang gak guna macam si Yanti ini!"

Ibu Bang Ipul berkata sambil berusaha menyeret tangan Bang Ipul kembali ke motor.

Suamiku itu tampaknya enggan mengikuti Ibunya. Dia terus memandangku dengan tatapan sarat penyesalan.

***

Bersambung ke HALAMAN INI
Diubah oleh dwindrawati 30-03-2021 04:33
Deviafeb
piaupiaupiau
Nikita41
Nikita41 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
3.3K
16
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan