- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Life Onboard : My Reason


TS
mywisanggeni
Life Onboard : My Reason

Bukan tread lanjutan, atau tread pengganti. Masih cerita yang sama, dari sudut pandang yang berbeda, masalah berbeda yang harus diselesaikan bersama. Dulu. Sebelum akhirnya kami punya masalah kami masing2.
Quote:
"Kenapa tidak ada rute langsung dari manila ke yogyakarta?" Pramugari singapore airlines ini pasti tidak akan bisa menjawab, dan mungkin tidak seharusnya aku bertanya kepadanya. Aku cuma mencari posisi duduk senyaman mungkin, untuk badanku dengan perut yang semakin membesar.
Mataku kututup paksa, ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu.
Apa yang paling kalian pikirkan dari negaraku, Philipina? Presiden kami yang berperang melawan narkoba dan terorisme diwaktu yang sama? Atau Manny Paquiao, pahlawan lokal kami yang tidak bernasib baik dipertandingan terakhirnya diamerika. Kesenjangan ekonomi antara pulau2 diutara, terutama Luzon, yang makmur dibanding pulau2 diselatan, terutama Mindanao, yang kurang perhatian dari pemerintah, bahkan semenjak kami merdeka, sehingga banyak pemberontakan, bahkan ISIS pun bisa berdiri disana, pasti pernah mendengar berita tentang kota Marawi beberapa tahun yang lalu.
Percayalah, Indonesia masih berkali lipat lebih makmur dan kaya, dibanding negara kami, Ph. Karena aku melihatnya sendiri, berkali2 aku berkunjung ke indonesia. Jadi aku bisa membandingkannya. Dan mungkin cuma sedikit dari kalian yang membaca cerita ini pernah ke philipina, sehingga bisa membandingkan langsung keadaan disini, dan di Indonesia. Kalian beruntung.
Kembali lagi, beruntungnya, aku bukan berasal dari pulau selatan. Walaupun Papa lahir dari sebuah kepulauan kecil didekat pulau Mindanao. Mungkin tanah kelahirannya malah lebih dekat ke Indonesia daripada ke Manila. Dia sudah menetap dan bekerja disini, bahkan sejak sebelum menikah dengan Mama.
Aku lahir, tumbuh dan besar provinsi kecil disebelah utara Manila, ibukota Ph, dipulau Luzon, bernama Pampanga. Provinsi tua yang penjajah spanyol beri nama karena terletak ditepi sungai. (Indonesia : tepian sungai, inggris : river banks, tagalog : pampang). Ya, pampanga bermakna pribumi yang bermukim ditepi sungai. Aku dari kota kecil yang berbatasan langsung dengan kota San Fernando, ibukota provinsi Pampanga. Beberapa kilometer dari kota Angeles, sebuah kota administrasi kecil, yang mewah dan berpenduduk dengan taraf ekonomi menengah keatas, daerah urban. Maju, bersih, tertata rapi. Bagi kami, warga kota kecil, jalan2 dikota Angeles adalah wisata dari kerasnya hidup dikota kecil.
Spoiler for pampanga:

Yang terkenal dari provinsi kami? Tidak ada yang istimewa lokasi wisatanya. Mungkin yang bisa kami banggakan cuma gerai makanan MCD terbesar di Ph ada diprovinsi kami.
Spoiler for MCD:



Kota kecil disebuah provinsi kecil, tidak banyak yang bisa diceritakan dari kota ini. Guagua, kota kecil dengan pelabuhan kecil. Banyak gereja tua disini, mungkin bekas peninggalan penjajah, aku tidak tahu pasti. Pulau di bagian utara Ph memang mayoritas beragama Katholik dengan nama2 penduduk mirip dengan nama2 yang umum dipakai di eropa. Karena memang kami dijajah spanyol ratusan tahun. Berbeda dengan pulau dibagian selatan yang mayoritas beragama muslim, dengan nama2 yang juga mirip dengan nama yang umum dipakai di negara timur tengah. Ya, banyak sekali perbedaan antara utara dan selatan dinegara kami, bahkan bahasanya pun berbeda. Sekarang mungkin lebih heterogen karena adanya migrasi (mungkin transmigrasi)
Guagua, daerah yang keras dan tidak terlalu bersahabat bagi kami, perempuan. Kami terbiasa bekerja keras juga, bahkan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan laki2 pun kami, perempuan, kerjakan. Akibatnya badan kami sedikit berotot, terutama dibagian lengan, dan telapak tangan kami kasar. Kulit kami kusam, walaupun tidak bisa dikatakan hitam, karena daerah kami tidak sepanas diindonesia, dan matahari tidak sebegitu teriknya. Bagi kalian yang tinggal dikota miskin, kecil, dekat pelabuhan, pasti bisa merasakan apa yang kami rasakan dalam kerasnya hidup keseharian kami. Perempuan lemah? Mungkin, tapi bukan kami, bukan perempuan dar kota kami. Aku bahkan bisa mematahkan rusuk laki2 dengan tanganku, sekali pukul.
Spoiler for guagua, pampanga:

Panggil saja aku Mi, usia genap 27 ditahun ini. Tahun yang keras karena pandemi, yang membuat hidup kami semakin sulit. Aku dibesarkan Mama seorang diri, wanita yang luar biasa, bekerja sebagai pedagang, apapun itu yang berasal dari laut. Dia membeli dari nelayan lalu menjualnya langsung kepada pembeli, setelah sebelumnya memisahkan yang berkualitas baik untuk dijualnya kerestoran di Manila (*pengepul ikan).
Kuliah? Bahkan aku tidak berani bermimpi untuk menempuh pendidikan sampai kejenjang itu. Aku cuma lulus pendidikan bahasa inggris, selama 1 tahun, di St Mary academy of guagua, setelah selesai dari sekolah menengah. Sudah pasti alasannya adalah biaya.
Papa? Dia pergi merantau tapi tidak pernah kembali lagi ke kami, terakhir melihatnya, umurku masih 10 tahun, dia pergi ke jepang bersama kapal ikannya. Ya, dia adalah nelayan dikapal ikan besar berbendera jepang saat itu. Namanya Apo, dinamai seperti nama gunung tertinggi di Ph, yang terletak di pulai Mindanao. Dia tidak pernah memanggil dengan namaku langsung, dia hanya memanggil dengan sebutan anak (tagalog : anak, indonesia : anak)
Tapi yang akan aku ceritakan bukan tentang tanah kelahiranku, bahkan cerita ini tidak berlokasi di Guagua, Pampanga, atau bahkan di Ph. Cerita ini akan berlokasi di tempat yang ada dibelahan bumi yang lain. Ribuan kilometer jauhnya dari tanah kelahiranku.
November 2016
Ninoy Aquino International Airport
Manila
Quote:
"Kamu yakin? Tentang keputusanmu untuk bekerja disana?" Kata mama yang sedang duduk disamping, di deretan bangku besi memanjang sebelum masuk tiketing di airport.
"Yakin, Ma. Apalagi pilihan yang kita punya? Mama akan semakin menua dan aku akan tumbuh dewasa, artinya kita butuh lebih banyak uang untuk apapun itu kedepannya" kata ku menyemangati Mama. Ini adalah pertama kalinya kami berpisah setelah 21 tahun hidupku selalu disampingnya.
"Terakhir kali Apo juga berkata seperti itu, dan akhirnya dia pergi" kata Mama pelan.
"Mi pasti kembali lagi, Ma. Mi tidak punya siapa2 selain mama, percayalah" saya berusaha menenangkan, sambil memegang erat tangannya.
Ada waktu yang lama kami tidak berkata-kata. Sibuk dengan pikiran kami masing2, mungkin.
"Sudah siap, Mi?" Tanya Mervin memecah kebisuan, teman kecil sekaligus tentangga dekat rumah yang mengantar kami ke bandara, dengan mobil bau ikannya. Dia membawa 2 botol air minum, untuk aku dan mama.
"Terimakasih untuk semuanya, Mer" jawabku sambil membuka botol minum untuk mama.
"Jangan bilang seperti itu, seperti kamu ga akan kembali lagi. Hati2 disana, sampai jumpa tahun depan. Mpok akan baik2 saja disini selama kamu masih rutin memberi kabar, juga mengirim uang. Haha. Bukan begitu, Mpok?" Kata dia. Mervin lebih tua 6 tahun, hampir 7 tahun, dariku. Dia memanggil mama dengan sebutan Mpok (indonesia : Mbak).
"Pasti, Merv". Mataku melirik mama yang mengambil nafas panjang. Mama pasti akan mengulang pernyataannya beberapa hari yang lalu. Tentang aku lebih baik menikah dengan Mervin dan tidak perlu merantau lagi.
"Pesawatku sudah siap Ma, sampai jumpa lagi, tetap sehat dan jangan bekerja terlalu keras." Kata yang tepat untuk mencegah mama berbicara panjang lebar tentang rencananya, apalagi didepan Mervin.
Pertama kalinya dalam hidupku naik pesawat, pertama kalinya juga aku pergi lebih jauh dari Manila. Hidupku selama ini, mungkin, cuma berada diradius maksimal 100 km dari tempat tinggalku.
Anthem of the seas

Quote:
Berpuluh jam berikutnya aku tiba di bandara di New York, yang mungkin 10 lipat lebih besar daripada airport di Manila. Aku tidak bisa tidur sama sekali dipesawat, takut. Dan sekarang badanku lemas dan mataku berkunang2. Dengan sisa kesadaran yang ada aku bertanya2 bagaimana aku bisa menuju hotel yang ada dalam kontrak kerjaku, sebelum aku besok pagi masuk kapal.
Aku cuma mau tidur, dan setelah menghubungi mama aku benar2 tidur lebih dari 10jam, sampai terbangun esok harinya karena alarm dari hp, dan dari tubuh, rasa lapar. Cuaca diluar sangat dingin, dan aku tidak membawa selembar jaket pun, hanya kemeja lengan panjang lama, yang bisa menutupi lenganku, adalah pakaian terhangat yang aku miliki.
Pukul 09 pagi, setelah perjalanan hampir 2 jam dengan bus dari hotel, aku sudah dikapal, pelatihan ini-itu tentang keselamatan kerja dan sedikit tour tentang lingkungan kerja, restoran. Masih hari pertama. Dan aku sudah merasa capek dengan kapal sebesar ini, bahkan sebelum aku mulai bekerja.
Manajerku menyuruhku turun untuk makan siang, yang entah dimana itu tempatnya, setelah seorang laki2 berambut botak menjelaskan lokasi kerjaku nanti malam, beserta menu2 makanan yang disajikan, dengan gayanya yang sedikit genit dan merayu. Aku akan bekerja diroomservice, mengantar makanan pesanan tamu dari kamarnya via telpon. Sedikit mungkin berkomunikasi dengan orang karena aku memang tidak terbiasa berhubungan dengan orang baru.
Dan cerita akan dimulai, akhir tahun 2016. Tepat ketika bunyi pintu elevator terbuka, terbuka kembali.
"Papa..." kataku pelan ketika melihat laki2, mungkin seumuranku, yang sudah terlebih dahulu didalam elevator, masuk beberapa detik sebelum manajerku menekan tombol untuk membuka kembali pintu elevatornya, sehingga aku bisa masuk.
Dia hanya tersenyum dan menganggukan kepala setelah berbicara dengan manajerku, dia melihatku seperti ingin tertawa karena sepatu kanvas yang aku pakai terlihat sobek dibeberapa bagian, mungkin. Aku tidak peduli. Aku tahu dia akan berkata sesuatu.
Dia sangat mirip dengan wajah papa yang ada diingatanku, jantungku berdebar kencang dan nafasku tidak beraturan. Ingin rasanya aku marah dan berteriak didalam elevator.
"Kemana saja Apo belasan tahun terakhir??" Tapi teriakan itu tidak terucap, aku mengerti bahwa pria ini tidak mungkin papa, bahkan tidak peduli padaku kecuali sepatuku, sama seperti Apo.
"Di" katanya sambil mengulurkan tangan, menjabat tanganku. Darimana kata Di bisa muncul dari namanya yang tertulis di nametag? Kunto, akan kupanggil dia mister kunt, atau mister kwek. Terdengar lebih mudah diingat.
"Mi, Mino.." jawabku sambil menjabat tangannya, erat, apakah berlebihan?
Jari kami bersentuhan kembali, ketika bersamaan menyentuh tombol buka pada elevator. Kami sudah sampai dilantai 2. Aku setengah berlari meninggalkan elevator, setelah mengucap terimakasih sebelumnya.
Beberapa menit kemudian aku sudah lupa tentang kejadian dielevator, karena aku merasa bingung dengan banyaknya jenis dan jumlah makanan yang disajikan untuk crew dikapal.
Aku harus menjaga nafsu makanku!
Quote:

Tread akan update setiap akhir pekan, kecuali ada halangan untuk update misalnya tokoh utama kehabisan stok cerita. Jumat/Sabtu/Minggu - waktu sini.
Bebas berkomentar dan berspekulasi tentang cerita, TS tidak akan menjawab pertanyaan, karena cerita ini hanyalah terjemahan dari cerita yang ditulis oleh tokoh utama dalam cerita. Tanya2 di tread sebelah aja, males ganti2 ID.
Semoga paham, selamat menikmati.
Diubah oleh mywisanggeni 17-03-2021 15:06






ridaus48 dan 47 lainnya memberi reputasi
46
14.1K
Kutip
86
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan