Jika aku mendengar kata cinta, membuat diriku ingin tertawa. Memoriku pun mengingat akan hal bahagia maupun menyedihkan. Aku juga ingin menghapus semua masalah tentang cinta yang membuatku lupa akan bahagia. Aku hanya tahu cinta hanyalah untuk pasangan yang dimabuk asmara. Apakah benar itu? Rasaku pernah mati karena cinta. Mungkin aku terlalu mencintai orang yang ternyata tidak tahu isi hatiku. Pengorbanan dan perhatian yang aku berikan ternyata tidak dihiraukannya. Apa lelaki tidak begitu peka jika ada seorang wanita datang memberi cinta?





Bukan lewat pandangan pertama aku menyukainya, bukan pula karena dijodohkan. Aku terlalu cuek melihat sekitar. Saat itu aku masih sekolah menengah atas. Mungkin terbiasa melihatnya karena posisi rumahku dan rumahnya berhadapan. Ya, kita bertetangga.

Sebenarnya aku anak yang lugu dan pemalu. Kalau melihat laki-laki sering kutundukkan wajahku ini. Akan tetapi, mataku tak bisa berpaling gara-gara dia sering membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah dari sekolah. Aku dan kedua teman sekampung sering belajar di teras rumahku. Jadi dia kadang melihat apa yang aku dan teman-teman lakukan. Senengnya lagi, dia membantu mengerjakan soal.

Sebut saja dia Masrul (nama samaran). Lelaki yang suka membantu teman, murah senyum, dan baik hati. Entah sejak kapan rasa ini datang. Rasa suka, sayang atau cinta, aku pun tak tahu apa yang aku rasakan. Diriku terkadang senyum sendiri di kala mengingat wajahnya. Sehari saja tidak melihat batang hidungnya, aku merasa kehilangan. Ah, untung saja rumahnya di depan rumahku. Aku juga sering menatapnya di balik jendela di ruang tamu, hanya untuk memandangnya sampai bosan saat dia duduk di teras rumahnya. Segila ini rasa cinta yang menghantuiku.

Tidak mungkin aku menyatakan cintaku padanya. Aku begitu malu dan takut ditolak pastinya. Apalagi aku masih gadis SMA menembak seorang lelaki itu hal tidak mungkin. Ide pun langsung terlintas dipikiranku. Lirik lagu romantis kutulis pada secarik kertas, lalu aku berikan begitu saja padanya.

"Apa ini?" tanya Masrul.

"I ... itu surat dari temenku. Baca aja." Aku pun bergegas meninggalkan situasi yang membuat jantungku serasa mau copot. Tidak mungkin jika aku mengatakan kalau surat yang aku kirim itu dariku. Bisa mati karena malu aku.

Sekali, dua kali dan seterusnya aku mengirimkannya surat. Aku jawab itu surat dari temanku jika dia bertanya. Biarlah, yang penting dia mau menerimanya dan ... senyum itu membuat hatiku luluh.

Namun, ada kabar jika dia akan menikah dengan wanita lain. Lalu, aku dianggap apa? Bodohnya kenapa diriku tidak jujur saja jika aku mempunyai perasaan cinta padanya. Akan tetapi, apa dia mau dengan anak lugu sepertiku. Apa dia mau dengan anak yang masih ingusan ini.

Aku menangis mendengar kabar itu. Seperti petir di siang hari tanpa ada mendung. Awan hitam itu berpindah ke hatiku. Tidak ada semangat untuk menjalani hari. Sekolah pun tak ada gairah untuk belajar. Sampai dua hari aku tidak masuk sekolah karena anemiaku kambuh.



Ibu masuk ke kamar membawa sebuah kresek berisi buah. Katanya dari Masrul. Dia tidak sempat ke sini karena sibuk kerja.
Aku ambil kresek itu dengan mata berkaca-kaca. Kenapa aku secengeng ini? Aku ambil buah di dalamnya, tetapi ada secarik kertas. Kubaca perlahan.

"Dek, cepet sembuh. Maaf, Mas nggak bisa jenguk. Lirik lagu yang kau kirimkan itu bukan dari temanmu 'kan. Mas diberitau temanmu. Tapi maaf, Mas gak pantes jadi pacarmu. Mas udah anggep kamu adek."

Rasanya aku tidak sanggup membuka mata lagi. Baru kali ini aku begitu terpuruk. Aku tidak kuat gara-gara cintaku tak terbalas. Mimpi apa aku semalam. Aku juga sadar bahwa aku masih sekolah. Aku juga tidak mau terlalu memikirkan cinta. Cinta begitu rumit.