Kaskus

Entertainment

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Sunyi Menjelang Akhir
Sunyi Menjelang Akhir


Gunung adalah tempat yang tepat untuk memporak porandakan logika manusia. Bagaimana tidak, di gunung terdapat bahaya mulai dari gunung meletus, binatang buas yang terdapat di dalam hutannya yang terjaga, itu hanya dua dari sekian banyak lagi. "Itu juga masih bahaya yang terlihat, belum lagi kita ngomong hal-hal yang tidak terlihat, hiii". Begitu kata Nata sahabatku yang hobi sekali mendaki gunung.

"Heran, sudah tau bahaya. Tapi kenapa masih tetap saja dia sering naik gunung". Ujarku pada sahabatku. Tapi memang itulah kenyataannya. Gunung memang selalu menyimpan bahaya namun dibalik itu semua; selain keindahan panorama yang selalu membuatku kembali dan terus kembali mendaki; Gunung selalu punya pembelajaran yang bahkan menurutku jauh lebih banyak dari bahanya. Salah satunya tentang bagaimana kita hidup di dunia ini; kita tidak pernah sendiri bahkan saat kehilangan semua orang yang kita miliki.

Oh iya, sebelumnya perkenalkan, namaku Arsyad. Namun teman-temanku sering memanggilku "Arnek". Singkatan dari Arsyad Nekat. Entah nekat apa yang teman-temanku maksud, padahal aku merasa kalau aku bukanlah orang yang nekat. Aku hanya tidak ingin melewatkan satu kesempatan pun untuk melakukan sesuatu yang ku inginkan. Apa pun resikonya; jika aku ingin, aku akan lakukan; tidak perduli apa pun resikonya bahkan mati sekali pun. Akan aku lakukan. 

Ah iya, yah aku nekat. Hahaha.

Ini sedikit cerita tentang pendakian terakhirku. Pendakian yang akhirnya menjadi titik akhir hobiku mendaki gunung. Kejadianya sekitar awal tahun ini. Tepatnya Januari 2019. Masih hangat dan selamanya akan selalu membekas diingatanku.

Sunyi Menjelang Akhir


Aku mempunyai 3 orang sahabat, mereka masing-masing bernama Salman, Nata dan yang paling cantik; dia perempuan satu-satunya, Elsa. Kami sudah bersahabat sejak SMP. Saat SMP dulu kami satu regu pramuka, hanya Elsa yang tidak satu regu denganku. Kami biasa mendaki gunung berempat saat masih SMA hingga kuliah. Namun semenjak lulus kuliah beberapa tahun yang lalu kami tidak lagi pernah mendaki bersama. Bahkan untuk sekedar bertemu dalam personil lengkap rasanya, susah. Aku bisa mengerti semua karena sudah punya tanggung jawab pekerjaannya masing-masing. Terlebih Nata yang sudah memiliki seorang anak. Karena dari itu aku; setelah lulus kuliah sering mendaki seorang diri. 

Namun, pada akhir 2018 aku mengajak sahabat-sahabatku reuni dengan ketinggian. Awalnya aku merasa kecewa karena ternyata dalam pembahasannya tidak ditemukan titik temu jadwal kami akan mendaki bersama. Tapi menjelang hari-hari pendakianku tiba-tiba ke 3 sahabatku merubah keputusan mereka dan menyetujui; kami akan mendaki bersama lagi.

Awalnya aku ingin mendaki Mahameru, namun karena berbenturan dengan jadwal sahabat-sahabatku. Aku mengalah dan menyetujui kalau kami akan mendaki gunung Gede yang jaraknya tidak jauh dari Ibu kota tempat kami tinggal.

Kami bersepakat mendaki di akhir Januari, melalui jalur Gunung Putri. "Tidak masalah" menurutku ini (Gunung Gede) adalah gunung yang ramah, kapan pun aku siap. Kami berangkat di kamis malam, alias malam jum'at. Kami sengaja mengambil hari itu karena Nata sudah harus kembali ke rumahnya pada sabtu harinya. Jujur aku sedikit bergidik. Namun melihat sahabatku tidak ada satu pun yang menunjukan raut wajah takut; aku lantas tenang karena itu.

Kami tiba di Pos Pendakian Gunung Putri pada hari kamis pukul 3 siang. Dan mulai tracking pada pukul 4 setelah satu jam beramah tamah dengan (sebut saja) Kang Andi, kenalannya Nata yang tinggal di dekat pos Pendakian Gunung Putri. Aku tidak mengerti bagaimana Nata mempunyai kenalan di tiap titik pendakian tapi karena itu aku banyak terbantu (Jangan dicontoh) saat aku sedang tiba-tiba ingin mendaki namun tidak mendaftar secara resmi.

Bisa dikatakan juga kalau pendakian kami saat itu ilegal. Karena kami tidak mengikuti prosedurnya dengan benar. Hanya bermodal kepercayaan petugas pada Kang Andi yang akhirnya kami diperbolehkan mendaki. 

"Gue heran sama lo, Nat. Gimana ceritanya lo punya banyak kenalan di mana-mana sih?" Tanyaku pada Nata yang hanya dijawabnya dengan menaikan kerah kemejanya seperti biasa.

"Nah mulai nih songongnya keluar". Sahut Elsa dengan senyumnya yang khas dengan satu lesung pipit di pipi sebelah kanannya. Nata hanya diam menanggapi ucapan Elsa yang berlalu mendahuliku dan Nata; berjalan bersama Salman di depan aku dan Nata. Elsa dan Salman terlihat senang sekali. Di luar kenyataan kalau mereka sebenarnya diam-diam saling memiliki perasaan yang sama; cinta mereka yang bukan sekedar sahabat. Rasanya mereka berdua sedang bernostalgia dengan tempat yang menjadi awal kedekatan mereka, di Pos Surya Kencana saat kami SMP mendaki gunung untuk pertama kali bersama dengan anggota pramuka lainnya dari SMP kami kala itu.

Salman dan Elsa berjalan sangat cepat, hingga jarak kami melebar sekitar 20 meteran. Sepanjang kaki melangkah sebenarnya aku memerhatikan raut wajah Nata yang muram seperti memikirkan sesuatu hal. "Oi Ngai, lo kenape diem aje?" Tanyaku pada Nata.

"Oh, ah… Engga. Ini kita yakin nih naek?" Tanya Nata tiba-tiba terlihat bimbang.

"Yakin lah, udah sampe sini". Jawabku. "Lo kenape sih? Ga enak badan?" Tanyaku karena wajah Nata berangsur pucat.

Nata menghentikan langkahnya, kemudian terlihat menghembuskan nafas. "Haaah… Bismillah…Innalillahi wa Innailaihi rojiun". 

Aku terkejut mendengar Nata mengucapkan kalimat itu. Dalam benakku kalimat itu diucapkan jika kita mendapat kabar kematian. Lantas aku bertanya pada Nata kenapa dia mengucapkan kalimat itu.

"Kenapa Ngai? Siapa yang meninggal?" Tanyaku.

"Ada". Jawab Nata singkat.

"Yee serius dodol!"

"Yee gue juga serius rengginang! Lo cek ajah di semua rumah sakit, pasti ada yang meninggal sekarang".

"Nat…"

"Haah" Sahut Nata.

"Berantem yuk!?"

"Atur jadwal sama sekretaris gue dulu yah, ahhaha".

"Kammmbiinngg!! Hahahah". Aku tertawa. Namun saat aku tertawa Nata hanya menatap ke arah langit; tatapannya tajam namun syarat akan makna mendalam. Nata memang sahabatku paling "Gila". Gila dalam artian pemahamannya tentang filsat dan teologis sangat berat. Aku kadang tak sampai paham pada ucapannya.

Seperti saat itu; pada akhirnya Nata menjelaskan maksud ucapan Innalilahi wa Inna Ilaihi Rojiun adalah karena kita ini ada karena kehendak Alloh dan suatu saat akan kembali pada-Nya.

"Apa pun yang terjadi itu dari Bos" Ucap Nata menunjuk ke langit yang dalam makna Bos adalah Alloh Ta'ala. "Kita akhirnya jadi naek karena Alloh, cuma Alloh yang bisa jelasin kenapa akhirnya kita bisa naek ditengah kemustahilan persamaan jadwal kita yang entah gimana bisa sama. Pasti ada penjelasan dibalik ini semua…" Ucap Nata menerawang kedepan.

"Penjelasan apa?" Sambarku.

"Engga… engga apa-apa. Lanjut nih?" Tanya Nata.

"Lo sehat ga? Enak ga? Kalo lo ngerasa ga sehat dan ga enak kita balik ajah". Jawabku. Nata diam dia hanya menunduk seperti memikirkan sesuatu. Aku lantas mengeluarkan handphoneku dengan maksud untuk menguhubungi Elsa dan Salman untuk jangan terlebih dulu jauh berjalan karena Nata kondisi Nata yang tiba-tiba seperti seorang yang sedang sakit. Namun, saat aku ingin menghubungi Elsa dan Salman aku menyadari kalau handphone-ku tidak mendapat sinyal.

"Ah kebiasaan nih, pasti kalo udah keluar dari Kota pasti sinyal ilang. B*ngk* nih provider". Gerutuku kesal.

"Hmmm" Nata tiba-tiba bergumam.

"Ngape lo?" Tannyaku.

"Gapape, yuk lanjut".

"Yakin nih?" Tanyaku.

"Lo yakin ga?" Tanya balik Nata seolah lupa kalau dia yang baru saja merasa tidak yakin untuk melanjutkan perjalanan ini.

Aku dan Nata kembali melanjutkan perjalanan, sekitar beberapa menit melangkah. Salman dan Elsa terlihat sedang berdiri dipinggir jalan setapak, bersandar pada sebuah pohon besar yang daunnya hampir menutupi langit di atas kami.

"Lama banget sih lo!" Gerutu Salman.

"Nih si boss mendadak aneh, PMS kali". Candaku.

"Nata? Kenapa?" Tanya Elsa.

"Au tuh, lo tanya ajah sama orangnya". Jawabku sambil menoleh ke arah Nata yang sedari tadi ada di sebelah kiriku namun saat aku menoleh Nata tidak ada.

"Oi, ngapain berenti?" Ucap Nata yang ternyata sudah berada di depan kami. Aku bergumam sendiri.

"Tadi dia yang tiba-tiba ragu, sekarang paling semangat". Ucapku dalam hati.

Lalu kami melanjutkan perjalanan. Hingga kami tiba di Alun-alun Surya Kencana pada Jum'at pukul 01.13 dini hari. Salman dengan cekatan mendirikan tenda untuk kami sejenak beristirahat sebelum menuju ke puncak menjelang fajar.

Setelah tenda berhasil didirikan kami berempat duduk didepannya memasak perbekalan yang kami bawa sambil bercerita waktu-waktu yang masing-masing kami lewati selama ini. Serta membahas kembali mimpi-mimpi yang pernah kami cita-citakan serta usaha kami dalam mempertanggung jawabkan impian kami.

Di tengah-tengah seru kami bertukar cerita. Diam-diam aku memperhatikan Nata. Dia kembali terlihat aneh, dia seolah tidak ada di dalam perbincangan kami. Seolah-olah hanya jasadnya yang ada di antara kami, namun tidak dengan pikirannya. Aku sedikit terganggu akan hal itu. Karena menurutku jika Nata memiliki masalah yang sedang dipikirkannya harusnya dia bicara saja. Kami semua sahabatnya.

"Nata memang begitu sekarang, dia udah beda sama kita. Iyah ga, Man?" Sindir Elsa menyenggol Salman dengan bahunya.

"Iya, dia udah mau jadi kaya Rumi". Sahut Salman ikut menyindir Nata.

"Rumi apa Al Hallaj apa Siti Jenar? Hahaha". Sahut Elsa lagi tertawa. "Nat, kamu ini hati-hati kalau belajar Syariat. Nyareat sama sesat beda-beda tipis, Nat". Lanjut Elsa sambil memegang bahu Nata. Namun Nata hanya bergeming tidak sedikitpun merespon kami.

"Kamu juga, Nek! Jangan terlalu egois hidup. Jangan terus-terusan jadi Arsyad yang Nekat kalo udah ada maunya". Lanjut Elsa kini sambil menatap wajahku dengan tatapannya yang dingin.

"Yah, elu lagi jadi ikut-ikutan aneh, Sa!" Ujarku pada Elsa.

"Lho, aku bilangin kamu, Syad. Inget, kita bukan anak SMA lagi. Kita udah harus bisa mempertanggung jawabkan apa yang dipercayakan pada kita. Kamu mau sampai kapan terus beradu argumen sama orang kalau kamu lagi dateng maunya dan harus diturutin. Kamu mau sampai minta pengertian orang sedangkan kamu acuh untuk mengerti orang lain?" 

Aku mendadak diam. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa Elsa juga aneh. Elsa yang biasanya heboh, ceria, jarang pernah serius, kalau kata orang betawi "pecicilan" mendadak berubah seperti guru BP yang killer yang sedang menasihati anak muridnya yang bermasalah.

"Ini gue lagi di prank yah? Kalian kenapa sih? Aneh. Hahaha". Sahutku namun tidak ada satu pun dari mereka yang menyahuti ucapanku.

Cuaca semakin dingin, Nata memutuskan untuk masuk ke dalam tenda. Begitu juga Salman, hingga menyisakan aku berdua dengan Elsa. Aku dan Elsa berbincang banyak hal. Sebenarnya lebih banyak Elsa yang berbicara tentang hidupnya. Aku hanya menjadi pendengar yang baik; kadang sekali aku celetuki ucapan Elsa yang kadang nyeleneh.

Setidaknya Elsa sudah kembali menjadi Elsa yang pecicilan, pikirku dalam hati. 

"Syad". Panggil Elsa tiba-tiba suaranya berubah lebih dalam.

"Haaah?"

"Makasih yah udah jadi sahabat aku".

"Apaan sih, Sa. Jangan mulai deh!" Sahutku.

"Aku serius, Syad. Kamu inget ga pertama kali kita ngebahas hal-hal serius di mana?" Tanya Elsa. Sementara aku menerawang ke dalam ingatan. "Tempat ini Syad, tempat ini. Mungkin kamu lupa, tapi aku masih inget gimana saat itu kamu, Salman, sama Nata nolongin aku di sini padahal saat itu regu kita sedang bersaing parah. Kamu Syad, kamu yang pertama kali bilang kalau kita ini temen, sahabat. Kamu orang pertama yang nganggep aku sahabat kamu…"

"Salman?" Sambarku sedikit meledek.

"Ahh, rese deh. Kamu tau Syad. Dia engga pernah nganggep aku sahabat…"

"Tapi kekasih, hahahah".

"Kurang lebih seperti itu, lah". Sahut Elsa, matanya menerawang jauh entah kemana.

"Kalian kenapa engga jadian ajah sih, resmiin gitu?" Sahutku.

"Hmmm ga bisa, Syad".

"Kenapa?" Tanyaku.

"Kamu tau, Salman udah nembak aku".

"Really?" Sahutku "Kapan?" Tanyaku.

"Tahun lalu, tapi belum aku jawab". 

"Lho, kenapa?" Tanyaku.

"Aku engga bisa!"

"Kenapa engga bisa? Salman cinta sama lo serius, lho! Tulus. Dan kita semua kenal bagaimana Salman, dia baik, banget! Apa lagi?"

"Aku mau jawab, tapi aku ga bisa ngomong langsung sama dia".

"Yaelahh, masih ajah kek anak ABG".

"Hihihihi". Elsa tertawa. "Nanti aku tunggu kamu di rumah aku, deh. Kalau mau liat aku ngejawab Salman". Ucap Elsa lalu dia masuk ke dalam tenda menyisakan aku sendiri dikedinginan dan keheningan.

Aku mulai merasa kedinginan. Kedinginan yang sungguh tidak biasanya. Aku merasa malam terlalu dingin bahkan melebihi dinginnya Dieng di musim kering. Aku merasa cuaca mulai menunjukan keanehannya, kemudian aku juga masuk ke dalam tenda, memasang alarm pukul 04.00 sebelum akhirnya aku terlelap pulas.

Pukul 04.00 aku bangun, bersamaan dengan yang lainnya; mendengar alarm yang kusetel. Tidur hanya beberapa jam membuat kepalaku sedikit sakit. Dengan ku paksakan aku lantas bangkit untuk mengejar matahari terbit.

"Nata kemana?" Tanyaku pada Salman dan Elsa saat hendak menuju ke puncak Gede.

"Au, nyari wangsit kali". Ucap Salman sambil menunjuk ke arah sisi vegetasi pepohonan besar.

"Halah, boker paling". Sahutku lalu menyuruh Elsa dan Salman jalan terlebih dahulu sementara aku menunggu Nata.

"Syad, Aku tunggu dipuncak yah. Kita rayakan pagi ini sebagai pagi yang baru untuk kita semua. Inget ucapnku tadi sebelum tidur, kan? Aku tunggu yah, Arsyad".

Aku menduga itu adalah sebuah pertanda kalau Elsa ingin menjawab pertanyaan Salman yang menginginkan Elsa menjadi pacarnya. Aku sungguh tidak sabar, ingin melihatnya. Namun Nata terlalu lama di sana; aku menghampiri arah yang Salman tunjuk sebelumnya dia bilang Nata pergi buang air.

Aku mencari Nata sambil memanggilnya, sedikit kesal karena sudah terlalu lama. Aku terus mencarinya namun Nata tetap tidak ada, Nata juga tidak merespon ucapanku. Hingga akhirnya langit mulai memerah aku memperhatikan sekelilingku berada dan menyadari satu keanehan yang terjadi.

"Tunggu, dari kemaren gue engga ketemu rombongan lain yang naek atau turun". Ucapku dalam hati, lalu aku kembali ke Alun-alun Surya Kencana. Betapa kagetnya aku kalau tenda yang tadi berdiri menjadi tempatku berteduh dari dinginya tempat ini sudah berganti dengan deretan tenda yang rasanya semalam aku tidak temukan.  Saat aku menghampiri deretan tenda itu guna mencari peralatan tendaku banyak orang yang juga rasanya semalam aku tidak menemukan satu pun orang ditempat ini, bahkan tendaku yang semalam berdiri tegak tidak ku temukan, peralatan dan perlengkapanku juga urung aku temukan.

"Syadd! Oi Syad!!" Suara seorang yang aku kenal terdengar dari arah belakangku. Aku menoleh untuk memastikan.

Nata berlari bersama Kang Andi menghampiriku, Nata langsung memelukku dan terus mengucapkan syukur. Aku makin tidak mengerti. Sebenarnya ada apa.

"Syad lo gapapakan. Minum Nek!" Ucap Nata menyodorkan aku sebuah botol berisi air mineral. Aku memperhatikan Nata dari atas hingga bawah. Pakaian yang dikenakanya berbeda dengan semalam yang aku lihat. Aku pun bergeming ketakutan.

"Nat…" Panggilku.

"Lo ilang, Syad. Dari kemaren gue nyariin lo sama Kang Andi. Temen-temennya Kang Andi juga lagi nyariin lo…" Ucap Nata yang membuat aku mendadak lemas hingga langsung terduduk lemas.

"Elsa sama Salman?" Tanyaku.

"Aman… dah yuk turun, Nek. Semua udah nunggu lo di bawah". Ucap Nata. Bersamaan langit yang mulai terang aku turun bersama Nata, Kang Andi dan dua temannya. Sesampainya kembali di Basecamp Gunung Putri. Aku menyalakan paket data ponselku sambil duduk bersandar mendengar Nata yang sedang menjelaskan kronologi serta meminta maaf kepada petugas yang menjaga Pos Gunung Putri.

Bunyi notifikasi pesan masuk tidak henti-hentinya berbunyi, banyak pesan masuk ke dalam ponselku. Dari sekian banyaknya. Yang aku baca hanya pesan dari Nata dan Salman yang memberi tahukanku kabar duka kalau, Elsa baru saja meninggal dini hari tadi di sebuah rumah sakit di Bandung karena kangker yang diidapnya.

***


Terimakasih sudah menjadi sahabatku
Menuntunku dari ketamakan yang membelenggu
Aku tidak ingin katakan, kalau itu kamu, namun aku juga tidak ingin katakan kalau itu bukan kamu.

Kembali lagi

Semua yang ada di Bumi adalah milik Alloh Ta'ala
Terlepas siapa pun yang ada di sana malam itu
Aku percaya, jika itu datang dari Alloh dengan maksud dan tujuan tertentu
Yang pada akhirnya, aku bersyukur sebelum kepergian sahabatku kembali pada Alloh.
Alloh mengizinkanku menghabiskan waktu-waktu kesunyian terakhirku dengan sahabat tercinta di bawah jutaan pendaran bintang yang indah

In memoriam
Sahabat terbaik dalam mengarungi pertanggung jawaban mimpi; Sebut saja, Elsa.


***


Hay, gue Nata. Akhir Tahun 2018, Arsyad. Sahabat gue, mengajak gue dan ke dua sahabat gue yang lainya kembali naik gunung, seperti masa-masa saat kami masih kuliah dulu. Tapi itu hanya wacana, tak pernah ada follow up lagi setelahnya. Karena kami sudah sangat sibuk dengan dunia kami masing-masing.

Di akhir Januari 2019, gue yang menganggap kalau rencana itu hanya wacana sangat terkejut saat gue ingin mengajak Arsyad untuk melayat Elsa di kediaman orang tuanya di Bandung, justru dibertahu oleh Ibunya Arsyad kalau Arsyad sedang naik gunung bersama gue, dan sahabat gue yang di sini gue sebut dengan nama Elsa dan Salman.

What!

Gue langsung menghubungi kenalan gue yang tinggal di Basecamp Gunung Putri untuk menahan sahabat gue itu. Tapi sayang, nama Arsyad tidak ada didaftar pendaki. Lalu gue berasumsi kalau Arsyad saat itu tidak daftar online. Dan benar saat gue mengkroscek pada kenalan gue lainya , sebut saja Kang Andi. Beliau juga kaget karena Beliau sebelumnya bertemu dengan gue dan Salman. Menurut beliau, gue yang meminta izin beliau melewati jalur yang hanya diketahui warga sekitar.

Lalu gue datang langsung kesana; dibantu oleh Kang Andi dan beberapa temannya gue mencari Arsyad. Gue tidak bisa meminta bantuan tim SAR karena Arsyad tidak terdaftar. Setelah semalaman mencari. Gue menemukan Arsyad sedang duduk kebingungan di Alun-alun Surya Kencana seorang diri.
hakkekkyuAvatar border
daengazman2028Avatar border
joewanAvatar border
joewan dan 9 lainnya memberi reputasi
10
836
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan