firakusAvatar border
TS
firakus
☼ ★ From 2001 to 2021 ★ ☼
“Suka musik juga?,” tanyaku.
Itulah pertanyaan terlempar kali pertama untuk Nani seraya mencoba membuka obrolan antara kami berdua. Aku dan nani adalah murid satu sekolah yang kerap mengintip kakak kelas berlatih musik dari balik jendela. 

“Iya, suka. Emang dari kecil sih suka musik. Tapi selama ini belum pernah ngeband,” ungkapnya.
“Kalau penyanyi atau band favorit apa?,” tanyaku sambil mengintip kembali ke dalam ruangan. 
“Band Pop. Tapi musik rock suka juga sih. Kalau kamu suka musik apa?,” balas Nani.
“Aku suka musik apa aja sih, asal kan punya kasetnya. Hehehehe,” jelasku sambil tertawa irit. 

Obrolan awal di sore hari sepulang sekolah tersebut jadi awal perkenalanku dengan Siswi 1.4, siswi yang kelasnya tepat berada di samping ruang UKS (Unit Kesehatan Siswa). Semenjak itu aku dan Nani kerap memanfaatkan waktu istirahat untuk saling bertegur sapa, dan sesekali mengobrol ke sana kemari, atau hanya sekedar basa-basi. Sejak perkenalan itu, hati kecil ini sudah punya naluri bahwa ia mungkin saja bisa jadi cewek yang selama ini aku cari untuk dijadikan tambatan hati. Tak lain, dari obrolan yang semakin intens itulah tersirat akan beberapa kesamaan dari kami berdua. 
Untungnya kami berdua masuk SMA Kelas 1 di tahun 2001 dan saat itu sudah mencicipi teknologi ponsel, meskipun belum secanggih seperti sekarang namun berkat telepon selular tersebut akhirnya membuat komunikasi aku dan Nina lebih mudah. Kala itu harga pulsa memang tergolong mahal untuk ku seorang siswa SMA, komunikasi lewat SMS jadi jalan terbaik meskipun jari jemari ini serasa keriting tatkala SMS-an. 




“Coba deh dengerin album ini, ini band rock dari Amerika,” pungkasku sambil sodorkan album kaset. 
“Oh, Ok. Nanti aku dengerin deh! Aku pinjam dulu ya,” jawabnya. 

Semasa itu memang belumlah mengenal youtube, bahkan untuk memperoleh VCD / DVD musik saja masih terbilang susah untuk ukuran di pelosok. Aku dan Nani mulai berbagi referensi akan musik yang digemari dari kami berdua, tak lain dan tak bukan adalah usaha untuk mencoba agar kami berdua berada di pemahaman musik yang sama. Tak hanya berbagi referensi dan sesekali kami berdua pergi ke Swalayan, di mana tempat tersebut menjajakan berbagai album kaset musisi dalam negeri maupun luar negeri. Pada zaman itu aku sendiri harus menabung sampai 20 hari untuk bisa membeli sebuah album kaset, menyisihkan Rp. 1.000 setiap harinya untuk bisa memboyong album kaset musik luar negeri yang dibanderol Rp. 19.000. 

Tak terasa kedekatan aku dan Nina telah berlalu hingga sekian bulan lamanya hingga telah memasuki ujian. Setelah melewati ujian, jelang pembagian rapor sekolah kami mengadakan class meeting. Momen ini diisi dengan berbagai acara, mulai dari tanding cabang olahraga antar kelas, hingga dengan pentas musik yang menghadirkan berbagai band dari tingkat kelas. Rupanya Tuhan berikan kesempatan terbaik, momen yang membuat aku dan Nina semakin dekat. Rio, teman satu kelasku yang jago bermain gitar memiliki ide agar membuat band untuk tampil dalam acara class meeting. Sontak, aku sendiri menyambut ide tersebut dengan bersemangat. Aku dan Rio muter ke beberapa kelas menawarkan ide tersebut, mencoba mencari tambahan personil untuk bisa membentuk dan segera menjadwalkan untuk latihan. Didapatlah Erwin sebagai pemain keyboard dan Indra penabuh drum. Posisi gitar yang sudah pasti milik Rio, hingga akhirnya aku sendiri mau tak mau jadi pembetot bass emoticon-Cape d...

Padahal aku sendiri tak pernah memiliki gitar bass, namun atas semangat teman-teman aku mau mempelajari bermain bass, demi bisa tampil di class meeting. Jumat siang setelah sholat jum’at, kami berempat ngumpul membahas soal lagu apa yang akan dibawakan, sembari mencari penyanyi yang saat itu belumlah didapat. Terlintas di kepala adalah Nina, sebatas naluri atas dirinya yang memang suka musik. Jumat malam pun aku bergegas menelpon Nani, menawarkan posisi vokal untuk dirinya.

“Nin, jadi aku dan teman-teman pada mau bikin band untuk tampil di Class Meeting. Mau gabung nggak?,” tanyaku lewat telpon. 
“Hah.. ! Suaraku pas pasan lho,” jawabnya.
“Udah nggak apa-apa, asal tau lagunya aja. Lagian cuman buat acara Class Meeting,” terangku mencoba meyakinkan Nani.
“Sms aja lagu nya apa, biar aku coba dengerin dulu,” balas Nani.
“ya udah, besok kita obrolin aja lagi di sekolah bareng yang lain,” jelasku seraya menutup obrolan di telepon.

Jam istirahat pun akhirnya menjadi waktu paling tepat untuk ngobrolin band, sembari isi perut dengan lontong + gorengan di kantin. Singkat cerita didapatlah 2 lagu yang akan dibawakan, dan kami pun sepakat menentukan jadwal latihan sebelum manggung. Kami berlima janjian berlatih dengan sewa studio musik, dan tentu saja bayarnya pun patungan emoticon-Big Grin. Dua kali kami sewa studio untuk persiapan manggung di Class Meeting, hasilnya lagu Bendera (Coklat) dan Kota Tua (Nicky Astria) jadi dua lagu yang bakal dibawakan dalam acara class meeting. 

Hari Kamis di minggu berikutnya adalah hari dimana susugan seni dari murid digelar, ada 5 band tampil, dan juga beberapa siswa unjuk gigi dengan karaoke. Dikarenakan kami masih Kelas 1, dan dianggap junior maka Band kami bernama Pen**** ini tampil di urutan ke dua, dua lagu yang sudah kami latih pun dengan penuh pede kami bawakan. Namanya baru nge-band, belepotan dan tak rapi pun terdengar dari sound musik yang kami tampilkan. Namun secara garis besar, penampilan kami cukup menghibur dan disambut dengan tepuk tangan dari siswa lain. Kami berlima pun menikmati  tampil di Class Meeting tersebut. 

“Asli aku grogi tadi, sampe lupa lirik,” ungkap Nani setelah selesai manggung.
“Hahahahah.. aku juga salah pencet senar,” pungkas Rio.
“Gimana kalau band ini kita seriusin aja, jadi latihan rutin biar bisa ikutan festival musik,” celetuk Erwin yang memang dari keluarga pecinta musik.

Tampil dengan belepotan di acara class meeting itu pun seakan menjadi cambuk buat kami berlima, dan pada akhirnya sepakat untuk rutin latihan sambil berharap ikut serta ketika ada festival band.  
Waktu terus berjalan, band kami rutin berlatih dengan sewa studio musik, dan sesekali latihan di ruang musik yang ada di sekolah. Kami berlima pun sepakat untuk belajar mendalami musik secara mandiri, dengan catatan tak menomor duakan kewajiban belajar. Terlalu sering bersama, membuat hubunganku dan Nani pun semakin erat, sampai teman satu band dan teman di sekolah pun beranggapan bahwa aku & Nani memang berpacaran. 

“Teman-teman pada beranggapan kita pacaran nih,” jelas Nani lewat sms.
“ya udah, mending kita pacaran beneran aja,” balasku.

Sepulang sekolah aku dan Nani pun sepakat untuk pulang bareng, mencuri waktu untuk memperjelas obrolan kami berdua lewat sms. Sampai pada akhirnya, kami berdua pun sepakat untuk pacaran secara resmi. Semakin band kami ini aktif, maka semakin sering pula kami dipertemukan. Sampai pada suatu saat kami pun ikut dalam festival musik ajang antar SMA, kami pun menyambut event itu dengan rajin berlatih dan mempersiapkan segalanya. Dari awalnya latihan cuman ketika ada acara, kami berlima memutuskan untuk latihan seminggu sebanyak dua kali. 

Tibalah pada saat perlombaan band tersebut, dimana acara ini diikuti oleh 62 band dari berbagai pelajar SMA satu Kabupaten. Band kami tampil urutan ke 25, dan itu sekitar jam 2 siang. Para pengunjung yang lebih banyak pelajar ini pun memadati gedung serba guna, sebagai lokasi festival musik tersebut digelar. Kami tampil begitu lepas, membawakan lagu Kota Tua (Nicky Astria) sebagai lagu wajib, dan Nyanyian Badai sebagai lagu pilihan. Setelah kami tampil, kami pun memutuskan untuk menunggu waktu pengumuman dengan ngumpul di rumah Erwin yang kebetulan dekat dengan lokasi gedung serbaguna. Kami berlima seakan hanyut dalam obrolan seputar penampilan barusan, dan dari kami berlima pun serasa menjelaskan satu sama lain akan beberapa kendala saat tampil . Singkat cerita, waktu menunjukan 7 malam, kami pun bergegas menuju gedung serba guna untuk menilik hasil lomba. Dewan Juri yang terdiri dari 3 orang tersebut pun mulai membacakan hasil penjurian. 

Tanpa diduga, Nani keluar sebagai vokalis terbaik dalam ajang festival musik pelajar itu. Dan lebih membahagiakan lagi sudah tentu band kami, band baru terbentuk ini berhasil menyabet Juara Harapan 1. Tentu ini pencapaian ajaib, setelah melewati beberapa perjuangan dalam persiapan. 
Selepas festival itu pun hubunganku dan Nani makin erat, kami berdua pun saling mengenal kan satu sama lain ke keluarga masing-masing. Tak terasa, hubungan kami berdua sudah berjalan hingga 9 bulan, namun suatu hari datang kabar kurang sedap. Bahwa Nani berencana pindah sekolah ke Yogyakarta, karena Bapaknya dipindah tugaskan. Meskipun baru terdengar selentingan kabar itu, aku sendiri sudah berpikir yang macam-macam akan hubungan kami. Benar adanya, selepas kenaikan kelas pun Nani memang pindah sekolah. Libur sekolah Nani masih menghabiskan waktu bersama ku, sembari ia mempersiapkan berbagai barang yang akan ia bawa. Dalam rentan waktu itu, kami berdua pun kerap ngobrolin akan kelanjutan bagaimana dengan hubungan ini. 

“Kita jalani saja, meskipun kita terpisah jarak. Yang penting kita tetap jaga komunikasi,” ucapnya sembari memandang ombak di laut Widuri. 
“Ok. Kamu juga, kalau ada apa-apa, cerita yah.” Jawabku.

Liburan telah usai, kebersamaan kami pun mulai terjauhkan oleh jarak. Kami hanya berkomunikasi lewat SMS, dan sesekali ada pulsa maka aku telpon sekadar mengobati kangen mendengar suaranya emoticon-Mewek. Seiring berjalan waktu dan kesibukan satu sama lain, akhirnya komunikasi yang setiap hari itu pun mulai pudar. Bahkan kami berdua sempat satu minggu tak berbagi kabar, sampai tiba waktunya ia berkirim SMS bahwa nanti malam akan menelpon karena ada hal penting ingin diobrolin. 
Saat itu telepon Siemen C35 milik ku berdering, suaranya terdengar nyaring dari ruang TV saat aku sedang menonton film Angling Dharma. Firasat pun mengatakan, bahwa itu adalah telepon dari Nani yang sudah aku tunggu-tunggu. Karena keterbatasan pulsa, ia pun mencoba mengobrol dengan cepat, dan ringkas. 

“Pulsaku nggak banyak, jadi aku langsung saja ke intinya,” ucap Nani.
“Ok,” jawabku.
“Aku tahu kita baik-baik saja, kita sama-sama saling dukung dalam banyak hal. Tapi jarak yang jauh ini, aku pikir jadi kendala buat hubungan kita. Sepertinya kita mendingan putus saja, tapi kita tetap bisa berteman. Siapa tau, nanti ketika kuliah bisa ketemu lagi di sini (Jogjakarta),” jelas Nani. 

Kaget dan panik adalah hal yang aku rasakan waktu itu, untungnya langit tak runtuh dan angin tak berhembus dengan sangat kencang. Aku pun mencoba memberi penjelasan, seraya membujuk Nani untuk tak berucap kata putus. Jarak yang terbentang ini bukanlah sebuah halangan, kita masih bisa tetap baik-baik saja meskipun susah untuk bertatap muka. Singkat cerita, ia pun tetap bersikeras untuk memilih putus, demi kebaikan bersama dan menghindar bertengkar akhirnya kami berdua pun putus dengan baik baik. 

Meskipun tak se-dramatisir layaknya di sinetron, jujur kala itu hidup serasa ada yang berbeda. Nuansa hati masih berselimut rasa tak rela, namun diri ini tak bisa memaksa akan perasaan orang lain mengikuti apa yang kita ingini. Semenjak itu (2002), kami pun sudah jarang berkomunikasi, sampai tiba saat dimana Jogjakarta mendapat sebuah bencana (gempa 2006). Aku pun mencoba mencari tahu kabar Nani, mencoba menghubungi namun nomornya tak aktif, bertanya ke teman sesama kuliah di Jogja, namun tak ada yang tau keberadaanya. Sampai akhirnya hanya kata pasrah yang tersisa, saat itu aku cuman berharap kalau Nani menghubungiku. 
Terpisah oleh jarak, Nani yang (mungkin) masih tinggal di Jogjakarta, sementara aku hidup di kota Metropolitan menempuh ilmu, sembari berjuang demi menghidupi diri sendiri. Kesibukan diri membuat terkadang lupa akan keberadaan Nani, namun rasa cinta dan sayang terhadap Nani tetap ada. Sampai pada akhirnya Tuhan mempertemukan aku dengan Rindy, sosok cewek yang kini berubah dari mantan menjadi istri. Berpacaran dengan Rindi selama 6 bulan, 28 Oktober 2009 aku memutuskan untuk segera menikah dan berharap untuk segera memiliki momongan. 

2 Tahun berkeluarga dengan Rindy, sosok Nani pun muncul dan saat itu sebatas di media sosial saja. Meskipun sudah lama, namun perasaan dan kenangan kebersamaan dengan Nani tak mudah untuk dibuang. Bahkan menemukannya di media sosial pun serasa membangkitkan perasaan kepadanya yang tak pernah sirna. Menambahkan sebagai teman, dan juga meninggalkan pesan di akun miliknya jadi cara untuk memulai komunikasi dengan Nani. Namun tak ada hasil, add friend & pesan pun tak pernah ia jawab hingga sekarang. Jujur, aku sendiri juga tak paham dengan Nani tak pernah merespon add friend atau pun membalas pesan yang sempat aku kirim. Tapi aku sadar, ku tak punya alasan untuk membenci kamu, dan aku juga tak ada alasan untuk melupakanmu.

Meskipun saat ini aku sudah bersama Rindy dengan dikaruniai 2 putri yang menggemaskan, namun aku sadar bahwa goresan luka yang Nani beri memang sudah terobati, namun goresannya masih tersisa dan selalu membekas. Terkadang ketika menemukan momen atau sesuatu hal yang ada hubungannya dengan Nani, sontak pikiran ini serasa dibawa untuk mengenang akan kebersamaan dengannya. 

Quote:


Move on tak segampang orang bilang!. Meskipun putus dari kamu tinggalkan luka, namun luka itu sudah terobati, dan tinggalah goresan dari luka tersebut tersisa. Wajar saja apabila sedari 2001 hingga 2021 nama Nani tetap ada dalam hati. Semoga Nani pun demikian, akan selalu mengingat aku, meskipun kita sudah tak lagi bisa bareng-bareng. 

Apapun yang kamu lakukan sekarang, dan dimanapun kamu berada, aku cuman bisa memastikan kalau aku tetap jadi pribadi yang terus mendukungmu, layaknya yang kita lakukan pada tahun 2002.



Diubah oleh firakus 02-02-2021 13:50
nyong.eq
Ardian463
tien212700
tien212700 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1.7K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan