Spoiler for pengertian ilmu tajwid dan nahwu shorof:

Screenshootdari sini

Screenshoot dari sini

Tidak pernah ada dalam bayangan situasi seperti ini, di mana semua negara mengalami pandemi, perekonomian anjlok, banyak pengusaha yang gulung tikar, dan lain sebagainya.


Apalagi di Jakarta, dimana penduduknya banyak yang terkena virus tersebut, akhirnya kami, khususnya saya sebagai warga Jakarta begitu sangat terpukul dengan peraturan yang ada, sesuatu kebiasaan yang dilakukan tiap hari harus distop dengan tiba-tiba, bahkan semua harus dilakukan dari rumah.



Sekolah Diniyah (setingkat SD) milik keluarga besar suami, dimana di sekolah tersebut tidak menulis latin, semua dengan tulisan Arab.



Ketika saya mendengar obrolan mertua dan adik ipar, mereka begitu kesulitan saat menerangkan materi nahwu shorof secara online, karena memang ilmu tersebut menurut saya seperti matematika, agak rumit.


Saya pernah memperhatikan mereka mengajar di sekolah, saat offlinesaja saya butuh konsentrasi ekstra untuk memahaminya, sekarang dengan belajar daring, apalagi anak-anak yang tingkat konsentrasinya kadang terganggu dengan godaan-godaan kecil.


Kesulitan lain pembelajaran dilakukan secara online yaitu tidak semua murid-muridnya mempunyai smartphone canggih bisa melalui via z**m atau aplikasi lainnya, yang membuat situasi semakin sulit.


Apalagi jika pengajaran ilmu tajwid dan Bahasa Arab yang membutuhkan pemahaman begitu lama untuk dicerna (maklum usia siswa siswi 6-15 tahun). Alhasil target pembelajaran selama belajar daring pun tidak atau belum efektif sampai sekarang.



Bagi saya pribadi pun sama seperti itu, selama kurang lebih 13 tahun diamanahkan menjadi mentor membaca Alqur'an di salah satu masjid di Jakarta.


Kebetulan di sana saya membagi ilmu dengan para remaja usia sekitar 20-30 tahun, saat belajar tatap muka selama 11 tahun pun kadang mereka kesulitan untuk memahami materi tajwid saat dijelaskan.


Ketika ada keputusan untuk belajar secara daring, saya sedikit kecewa, tetapi demi kebaikan bersama agar tidak menyebarnya virus corona.


Saat itu ketua kami memberi instruksi untuk menggunakan aplikasi z**m, g**gle m**ting, or via wa berupa video call atau voice note (vn), keputusan saya saat itu menggunakan vn dan video call melalui wa, karena saya punya anak kecil yang tidak memungkinkan untuk standbyselama 2 (dua) jam di depan smartphone.



Puji syukur para syuhada pencari ilmu menyetujuinya, kendala saya saat belajar daring, selalu diganggu anak (lihat foto) jadi pembelajaran kurang maksimal.


Ada juga beberapa syuhada yang japri saya untuk bertatap muka, dia tidak mengerti dengan materi yang saya berikan via online, padahal saya sudah merekomendasikan via aplikasi meetingdengan mentor lain, sampai sekarang sudah setahun saya belum memenuhinya.


Ketika masjid mulai dibuka, akhirnya saya membuat keputusan untuk tatap muka, dari 20 siswa, yang berani tatap muka hanya 3 orang saja, sudah pasti kami mematuhi protokol kesehatan dengan memakai masker dan face Shield, membawa hand sanitizer, dan jarak peserta yang satu dengan lainnya kurang lebih 1 (satu) meter.


Ketika saya menjelaskan materi bacaan di luar kaidah, dalam menerangkan isymam mereka harus melihat mulut saya, saat itu pun berkali-kali saya menirukannya.



Jujur, saya berharap pandemi ini segera berlalu, agar pembelajaran kembali normal, membentuk generasi-generasi yang pandai ilmu agama dan duniawi.


Kesimpulannya, kami merasakan ketidakefektifan mengajar mengaji secara daring, khususnya saya yang masih mempunyai anak kecil.


Kalau hanya menghafal mungkin masih bisa via online, tetapi untuk menerangkan yang membutuhkan penjabaran itu agak sulit, terlebih tulisan Arab.