- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Di Padang, Siswi Non Muslim Pun Harus Pakai Jilbab


TS
xzork
Di Padang, Siswi Non Muslim Pun Harus Pakai Jilbab
Sebelumnya please

bukan bermaksud SARA gan.. cuma mau share aja..
maaf banget kalo udah terlanjur berbau SARA, ane mohon maaf yang sebesar-besarnya..
Dan kalo ada masukan / update dari kaskuser yang berada di regional sekitar situ, mungkin bisa dishare dimari gan..
thanksss
Kewajiban berjilbab bagi seluruh siswi di semua sekolah negeri/ swasta—dari tingkat SD/MI, SLTP/MTS hingga SLTA/SMK/MA—di Padang berasal dari Instruksi Walikota Padang, Fauzi Bahar yang ditetapkan 7 Maret 2005. Sejak saat itu kontroversi pun meledak. Sebagaimana Perda-Perda atau aturan-aturan yang berbasis pada syariah di daerah-daerah lain, sasaran utama dari Instruksi Walikota Padang ini pada dua kelompok: perempuan dan non-muslim.
Jilbab yang merupakan pilihan pribadi dari perempuan yang ingin memakainya ataupun tidak, jilbab yang berhubungan erat dengan pemahaman pribadi seseorang terhadap agamanya, namun dengan Instruksi tersebut perempuan akan terpaksa memakai jilbab. Kelompok non-muslim pun di daerah-daerah yang menerapkan peraturan berbasis pada syariah, akan merasa terganggu, bahkan terancam kebebasannya, baik sebagai warga negara atau sebagai pemeluk agama yang berbeda dari Islam.
Alasan Walikota
Dalam acara Topik Minggu di SCTV, 9 Agustus 2006, Walikota Padang, Fauzi Bahar memberikan alasan-alasan yang konyol di balik penerapan kewajibab jilbab itu. Menurutnya, ada beberapa keuntungan yang didapat. Pertama, murid SD, SMP, hingga SMA terhindar dari gigitan nyamuk “Aedes aegypti” (jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah) dengan berbusana muslimah. Kedua, anak-anak gadis tidak gengsi masuk sekolah karena setelah mereka berjilbab tidak perlu malu karena tidak memakai perhiasan, baik kalung atau anting. Ketiga, sejak diterapkannya kewajiban jilbab, wilayah Padang telah aman dari penjambretan, karena perempuannya telah tertutup. Fauzi Bahar juga menambahkan dengan memberi contoh lain yaitu wilayah di Bukit Tinggi yang cuacanya dingin, maka perempuan yang naik motor tidak akan kedinginan atau masuk angin karena berjilbab!
Alasan Walikota ini jelas mengada-ada. Perlindungan dan pemberantasan terhadap nyamuk yang menyebabkan demam berdarah tidak ada hubungannya dengan busana muslim. Melalui program Departemen Kesehatan untuk memberantas nyamuk jenis ini dikenal langkah 3 M: Menguras, Menutup, dan Mengubur. Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang melekat pada dinding bak mandi. Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada nyamuk yang memiliki akses ke tempat itu untuk bertelur. Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.
Ternyata Walikota Padang ini menambahkan satu kata M: memakai busana muslimah! Alasan kedua juga jelas tidak pernah ada, siswi yang tidak masuk karena malu tidak memakai perhiasan. Jelas-jelas sekolah adalah tempat belajar, bukan pesta, atau mejeng sehingga tidak ada hubungannya dengan persoalan perhiasan dan busana. Sedangkan penjabretan adalah masalah kriminal, tidak ada hubungannya dengan busana perempuan. Kemiskinan dan pengangguran adalah sebab utama dari penjambretan, serta lemahnya penegakan hukum dari aparat pemerintah. Untuk menghindar dari penjambretan dengan mewajibkan perempuan harus berbusana tertutup sama saja dengan menyatakan penyebab pelecehan seksual terhadap perempuan karena perempuan berpakaian terbuka. Bukan pelaku pelecehan dan kejahatan yang dihukum, namun justeru perempuan yang terus disalahkan. Di sinilah perempuan menerima diskirimiasi dan kekerasan yang berlapis.
Dalam dialog Topik Minggu tersebut, Fauzi Bahar dengan penuh percaya diri, menyatakan tidak ada protes dari wali murid, karena aturan itu hanya diwajibkan untuk siswa muslim, sedangkan yang non-muslim tidak diwajibkan. Fauzi Bahar mengulang-ulang pernyataan ini hingga dalam wawancaranya yang terbaru dengan Tempo edisi 8, 14-20 April 2008. Menurutnya jika ada sekolah yang terbukti memaksakan pemakaian jilbab terhadap siswa nonmuslim, ia akan menindak tegas. ”Sebutkan dan akan kami copot kepala sekolahnya,” ucapnya.
Namun kenyataan di lapangan membuktikan yang berbeda dari pernyataan Fauzi Bahar. Melalui penelitian yang saya lakukan di Padang, Sumatera Barat selama seminggu, 31 Maret hingga 4 April 2007 membuktikan banyaknya siswi-siswi non muslim yang terpaksa berjilbab, bila tidak memakai mereka tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas. Fokus penelitian saya adalah, “Dampak Peraturan Busana Muslimah (Jilbab) terhadap Guru dan Siswi Non Muslim di Sekolah-sekolah Negeri Umum”.
Kewajiban busana muslimah pada siswi-siswi sekolah di Padang menyebabkan kekerasan psikis dan teologis terhadap siswi-siswi non-muslim. Hal ini terbukti pada Fransiska Silalahi, Siswi kelas 3 SMU 1 Padang yang terpaksa memakai jilbab ke sekolah selama tiga tahun.
Awalnya Siska enggan memakai jilbab pada hari pertama ia masuk sekolah. Namun ia ditegur kakak kelasnya karena tidak memakai jilbab. Siska berkelit bahwa ia non-muslim. Siska tidak bisa lagi berkelit setelah ada pengumunan dari kepala sekolahnya siswi non muslim pun wajib memakai jilbab.
Meskipun dalam proses belajar dan kegiatan-kegiatan lain di sekolah Siska yang beragama Kristen tidak pernah menerima perlakuan diskriminatif, namun ia tetap menyesalkan adanya peraturan busana muslimah, karena mewajibkan siswi-siswi non muslim berjilbab.
Seorang pendeta bernama John Robert Pardede dari Gereja Metodis Indonesia (GMI) menyatakan bahwa pemaksaan aturan-aturan yang berbasis pada syariat Islam telah membuat sakit hati kelompok non muslim, dan mereka juga terpaksa mengingkari hati nurani.
Menurut pengakuan Pendeta John, ia sering mendapat keluhan dari anggota jemaatnya, “tidak hanya anak-anak Kristen yang diwajibkan memakai jilbab di sekolah-sekolah, namun juga jemaat kami yang bekerja sebagai PNS terpaksa memakai jilbab,” katanya. Untuk menghindari dari peraturan tersebut banyak anggota jemaat Kristen yang memindahkan anak-anak mereka ke sekolah Kristen dan Katolik, “hal ini dilakukan agar anak-anak mereka terhindar dari pemaksaan itu,” tambahnya.
Sebagai kelompok minoritas, Pendeta John melihat posisi ini sangat rumit dan tidak berdaya. Ketika ditanya tentang penolakan dari kalangan Kristen, menurutnya Kristen tidak bisa melawan.
“Kami tidak bisa melawan, kami sadar inilah resiko menjadi kelompok minoritas, kami hanya terus introspeksi, kami melihat tidak ada jalan lain kecuali dengan mematuhi aturan ini,” kata Pendeta John.
Ketika Pendeta John menerma keluh-kesah dari anggota jemaatnya karena anak-anak mereka terpaksa memakai jilbab, Pendeta John hanya bisa membesarkan hati mereka dan berkata, “tidak apa-apa tutup kepala kalian dengan jilbab, tapi tutup hati kalian dengan iman kepada Allah kita.”
Bagi Pendeta John, jilbab tetaplah simbol agama tertentu yang sebenarnya tidak bisa dijadikan peraturan umum agar dipakai oleh seluruh anggota masyarakat yang berbeda dari agama itu. “kami melihat jilbab sebagai simbol agama (Islam) yang diharuskan dipakai oleh pemeluk agama lain, dan kami (Kristen) sering mengingkari hati nurani kami, kami terpaksa memakai simbol-simbol yang tidak kami yakini,” tutur Pendeta John.
Memakai jilbab karena terpaksa harus dijalani oleh kalangan Kristen di Padang, meskipun menyakitkan perasaan. Rasa sakit ini juga dirasakan oleh anggota jemaat Pendeta John yang menceritakan keluhan mereka. “Mereka merasa sakit, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Pernah suatu ketika saya datang ke rumah jemaat, dan anak-anak mereka datang ke sekolah, yang perempuan memakai jilbab, saya agak kebingungan dan tidak enak hati, jemaat saya Kristen kok anak-anaknya pakai jilbab, hampir saja saya tidak mengenal mereka, karena memakai jilbab itu,” kata Pendeta John.
Sedangkan bagi seorang ibu dan guru sekolah di sebuah sekolah umum di Padang yang menganut agama Kristen Protestan dan seorang ibu dari dua siswi yang terpaksa pakai jilbab ke sekolah, baginya peraturan tersebut memberi kesan ingin menghilangkan komunitas agama Kristen dan agama lain di luar Islam.
Dampak psikologis lain yang didapat oleh siswi-siswi non muslim adalah rendah diri. Hal ini diungkapkan oleh Romo Agus dari Keuskupan Padang. Menurut Romo Agus di atas kertas ia mengakui bahwa aturan tersebut diperuntukkan mengatur guru dan siswa yang muslim, namun kenyataannya di sekolah-sekolah siswi-siswi non muslim dipaksa untuk memakai jilbab.
Menutur Romo Agus perasaan siswi-siswi nonmuslim itu sebenarnya menolak untuk berjilbab, tapi mereka tidak mau dikeluarkan dari komunitas sekolah dan dijauhi teman-temannya karena tidak memakai jilbab.
“Secara psikologis, mereka sebenarnya menolak untuk memakai jilbab, tapi mereka juga tidak mau merasa ditolak oleh teman-temannya dan sekolahnya kalau tidak memakai jilbab,” tutur Romo Agus. “Perasaan itu juga muncul ketika teman-temannnya yang memakai jilbab tidak ikhlas untuk bergaul karena dianggap bukan bagian dari komunitas, dengan demikian mereka yang sebenarnya ingin menolak mau tidak mau harus melaksanakan peraturan ini, karena mereka mau ditolak oleh komunitasnya,” kata Romo menambahkan.
Romo Agus menyayangkan peraturan yang diskriminatif ini ada di sekolah. “Padahal seharusnya sekolah adalah komunitas pendidikan yang terbuka, satu sama lain saling menerima,” kata Romo Agus. Namun dengan adanya aturan tersebut, tujuan pendidik untuk mebuka karaktar siswa tidak tercapai karena adanya penyeragaman itu. “Dengan berlakunya penyeragaman uniform (semua harus berjilbab), ini berarti siswa tidak dididik untuk menerima kemajemukan dan pluralitas, sehingga mereka hanya mengerti bahwa kehidupan pendidikan hanya satu warna saja,” tambah Romo Agus.
Hal senada juga disampaikan oleh Pendeta Robert Marthin, Ketua PGI Sumatera Barat. Aturan kewajiban jilbab tersebut merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap kurang lebih 22.000 pemeluk Kristen di Sumatera Barat. Menurut catatan yang dimiliki antara tahun 2005-2006, kurang lebih ada 22 siswi yang melanjutkan studinya di luar kota ini atau mereka kembali ke kampung meskipun orang tuanya berada di Padang. Menurut Pendeta Marthin, awalnya aturan jilbab di sekolah-sekolah tidak mengejutkan pemeluk Kristen, namun ketika siswi-siswi Kristen harus pakai jilbab mereka langsung tertekan.
“Memakai jilbab atau tidak memakai jilbab bukan hal yang mengejutkan, tetapi yang sangat berdampak dan membuat shock adalah ketika siswi-ssiwi Kristen juga harus memakai jilbab. Perlakuan dan komentar tidak adil tidak hanya behenti di sini, meskipun siswi-siswi Kristen sudah memakai jilbab, tidak lepas dari komentar. Misalnya keluar perkataan, orang Kristen kok pakai busana Muslim?” kata Pendeta Marthin dalam wawancaranya dengan Jurnal Perempuan ketika ditanya kondisi terakhir umat Kristen di Padang. Kondisi yang serba salah, apabila siswi Kristen tidak memakai jilbab maka mereka tidak akan bisa masuk sekolah dan mengikuti pelajaran, memakai jilbab pun tidak lepas dari komentar tadi: orang Kristen memakai simbol Islam.
Menghadapi situasi yang rumit ini, Pendeta Marthin telah berusaha untuk memberikan respon, baik terhadap pemerintah atau kepada jemaat gerejanya. “Ada dua cara yang kami tempuh. Pertama, gereja melalui PGI mencoba membicarakan hal ini kepada Pemerintah, dalam hal ini Walikota. Kedua, memberikan pemahaman tentang hal ini kepada para orang tua. Akhirnya kami berkata kepada para jemaat di Padang bahwa yang penting adalah keimanan, soal busana atau berpakaian hanyalah tampilan luar, tapi yang penting iman dan keinginan untuk belajar yang baik dari anak dan pemberian pemahaman kepada anak agar mengerti kondisi yang seperti itu. Mau bagaimana lagi, sebab jika kita tidak mengikuti, siswa-siwi kita mau bersekolah di mana?” kata Pendeta Marthin.
aneh2 aja gan jaman sekarang..
kita kan hidup di tempat yang harusnya tidak memaksakan kehendak ke orang lain juga gan.. kalo kaya gini makin lama makin aneh aja gan hukum di negara ini..
kalo berkenan mungkin boleh
Sumber
UPDATEEE
Komeng dari kaskuser yang tinggal di Padang..
thanks gan pencerahannya..


bukan bermaksud SARA gan.. cuma mau share aja..
maaf banget kalo udah terlanjur berbau SARA, ane mohon maaf yang sebesar-besarnya..
Dan kalo ada masukan / update dari kaskuser yang berada di regional sekitar situ, mungkin bisa dishare dimari gan..
thanksss
Quote:
Kewajiban berjilbab bagi seluruh siswi di semua sekolah negeri/ swasta—dari tingkat SD/MI, SLTP/MTS hingga SLTA/SMK/MA—di Padang berasal dari Instruksi Walikota Padang, Fauzi Bahar yang ditetapkan 7 Maret 2005. Sejak saat itu kontroversi pun meledak. Sebagaimana Perda-Perda atau aturan-aturan yang berbasis pada syariah di daerah-daerah lain, sasaran utama dari Instruksi Walikota Padang ini pada dua kelompok: perempuan dan non-muslim.
Jilbab yang merupakan pilihan pribadi dari perempuan yang ingin memakainya ataupun tidak, jilbab yang berhubungan erat dengan pemahaman pribadi seseorang terhadap agamanya, namun dengan Instruksi tersebut perempuan akan terpaksa memakai jilbab. Kelompok non-muslim pun di daerah-daerah yang menerapkan peraturan berbasis pada syariah, akan merasa terganggu, bahkan terancam kebebasannya, baik sebagai warga negara atau sebagai pemeluk agama yang berbeda dari Islam.
Alasan Walikota
Dalam acara Topik Minggu di SCTV, 9 Agustus 2006, Walikota Padang, Fauzi Bahar memberikan alasan-alasan yang konyol di balik penerapan kewajibab jilbab itu. Menurutnya, ada beberapa keuntungan yang didapat. Pertama, murid SD, SMP, hingga SMA terhindar dari gigitan nyamuk “Aedes aegypti” (jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah) dengan berbusana muslimah. Kedua, anak-anak gadis tidak gengsi masuk sekolah karena setelah mereka berjilbab tidak perlu malu karena tidak memakai perhiasan, baik kalung atau anting. Ketiga, sejak diterapkannya kewajiban jilbab, wilayah Padang telah aman dari penjambretan, karena perempuannya telah tertutup. Fauzi Bahar juga menambahkan dengan memberi contoh lain yaitu wilayah di Bukit Tinggi yang cuacanya dingin, maka perempuan yang naik motor tidak akan kedinginan atau masuk angin karena berjilbab!
Alasan Walikota ini jelas mengada-ada. Perlindungan dan pemberantasan terhadap nyamuk yang menyebabkan demam berdarah tidak ada hubungannya dengan busana muslim. Melalui program Departemen Kesehatan untuk memberantas nyamuk jenis ini dikenal langkah 3 M: Menguras, Menutup, dan Mengubur. Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang melekat pada dinding bak mandi. Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada nyamuk yang memiliki akses ke tempat itu untuk bertelur. Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.
Ternyata Walikota Padang ini menambahkan satu kata M: memakai busana muslimah! Alasan kedua juga jelas tidak pernah ada, siswi yang tidak masuk karena malu tidak memakai perhiasan. Jelas-jelas sekolah adalah tempat belajar, bukan pesta, atau mejeng sehingga tidak ada hubungannya dengan persoalan perhiasan dan busana. Sedangkan penjabretan adalah masalah kriminal, tidak ada hubungannya dengan busana perempuan. Kemiskinan dan pengangguran adalah sebab utama dari penjambretan, serta lemahnya penegakan hukum dari aparat pemerintah. Untuk menghindar dari penjambretan dengan mewajibkan perempuan harus berbusana tertutup sama saja dengan menyatakan penyebab pelecehan seksual terhadap perempuan karena perempuan berpakaian terbuka. Bukan pelaku pelecehan dan kejahatan yang dihukum, namun justeru perempuan yang terus disalahkan. Di sinilah perempuan menerima diskirimiasi dan kekerasan yang berlapis.
Dalam dialog Topik Minggu tersebut, Fauzi Bahar dengan penuh percaya diri, menyatakan tidak ada protes dari wali murid, karena aturan itu hanya diwajibkan untuk siswa muslim, sedangkan yang non-muslim tidak diwajibkan. Fauzi Bahar mengulang-ulang pernyataan ini hingga dalam wawancaranya yang terbaru dengan Tempo edisi 8, 14-20 April 2008. Menurutnya jika ada sekolah yang terbukti memaksakan pemakaian jilbab terhadap siswa nonmuslim, ia akan menindak tegas. ”Sebutkan dan akan kami copot kepala sekolahnya,” ucapnya.
Namun kenyataan di lapangan membuktikan yang berbeda dari pernyataan Fauzi Bahar. Melalui penelitian yang saya lakukan di Padang, Sumatera Barat selama seminggu, 31 Maret hingga 4 April 2007 membuktikan banyaknya siswi-siswi non muslim yang terpaksa berjilbab, bila tidak memakai mereka tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas. Fokus penelitian saya adalah, “Dampak Peraturan Busana Muslimah (Jilbab) terhadap Guru dan Siswi Non Muslim di Sekolah-sekolah Negeri Umum”.
Spoiler for "Kondisi Kelompok Non-Muslim":
Kewajiban busana muslimah pada siswi-siswi sekolah di Padang menyebabkan kekerasan psikis dan teologis terhadap siswi-siswi non-muslim. Hal ini terbukti pada Fransiska Silalahi, Siswi kelas 3 SMU 1 Padang yang terpaksa memakai jilbab ke sekolah selama tiga tahun.
Awalnya Siska enggan memakai jilbab pada hari pertama ia masuk sekolah. Namun ia ditegur kakak kelasnya karena tidak memakai jilbab. Siska berkelit bahwa ia non-muslim. Siska tidak bisa lagi berkelit setelah ada pengumunan dari kepala sekolahnya siswi non muslim pun wajib memakai jilbab.
Meskipun dalam proses belajar dan kegiatan-kegiatan lain di sekolah Siska yang beragama Kristen tidak pernah menerima perlakuan diskriminatif, namun ia tetap menyesalkan adanya peraturan busana muslimah, karena mewajibkan siswi-siswi non muslim berjilbab.
Seorang pendeta bernama John Robert Pardede dari Gereja Metodis Indonesia (GMI) menyatakan bahwa pemaksaan aturan-aturan yang berbasis pada syariat Islam telah membuat sakit hati kelompok non muslim, dan mereka juga terpaksa mengingkari hati nurani.
Menurut pengakuan Pendeta John, ia sering mendapat keluhan dari anggota jemaatnya, “tidak hanya anak-anak Kristen yang diwajibkan memakai jilbab di sekolah-sekolah, namun juga jemaat kami yang bekerja sebagai PNS terpaksa memakai jilbab,” katanya. Untuk menghindari dari peraturan tersebut banyak anggota jemaat Kristen yang memindahkan anak-anak mereka ke sekolah Kristen dan Katolik, “hal ini dilakukan agar anak-anak mereka terhindar dari pemaksaan itu,” tambahnya.
Sebagai kelompok minoritas, Pendeta John melihat posisi ini sangat rumit dan tidak berdaya. Ketika ditanya tentang penolakan dari kalangan Kristen, menurutnya Kristen tidak bisa melawan.
“Kami tidak bisa melawan, kami sadar inilah resiko menjadi kelompok minoritas, kami hanya terus introspeksi, kami melihat tidak ada jalan lain kecuali dengan mematuhi aturan ini,” kata Pendeta John.
Ketika Pendeta John menerma keluh-kesah dari anggota jemaatnya karena anak-anak mereka terpaksa memakai jilbab, Pendeta John hanya bisa membesarkan hati mereka dan berkata, “tidak apa-apa tutup kepala kalian dengan jilbab, tapi tutup hati kalian dengan iman kepada Allah kita.”
Bagi Pendeta John, jilbab tetaplah simbol agama tertentu yang sebenarnya tidak bisa dijadikan peraturan umum agar dipakai oleh seluruh anggota masyarakat yang berbeda dari agama itu. “kami melihat jilbab sebagai simbol agama (Islam) yang diharuskan dipakai oleh pemeluk agama lain, dan kami (Kristen) sering mengingkari hati nurani kami, kami terpaksa memakai simbol-simbol yang tidak kami yakini,” tutur Pendeta John.
Memakai jilbab karena terpaksa harus dijalani oleh kalangan Kristen di Padang, meskipun menyakitkan perasaan. Rasa sakit ini juga dirasakan oleh anggota jemaat Pendeta John yang menceritakan keluhan mereka. “Mereka merasa sakit, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Pernah suatu ketika saya datang ke rumah jemaat, dan anak-anak mereka datang ke sekolah, yang perempuan memakai jilbab, saya agak kebingungan dan tidak enak hati, jemaat saya Kristen kok anak-anaknya pakai jilbab, hampir saja saya tidak mengenal mereka, karena memakai jilbab itu,” kata Pendeta John.
Sedangkan bagi seorang ibu dan guru sekolah di sebuah sekolah umum di Padang yang menganut agama Kristen Protestan dan seorang ibu dari dua siswi yang terpaksa pakai jilbab ke sekolah, baginya peraturan tersebut memberi kesan ingin menghilangkan komunitas agama Kristen dan agama lain di luar Islam.
Dampak psikologis lain yang didapat oleh siswi-siswi non muslim adalah rendah diri. Hal ini diungkapkan oleh Romo Agus dari Keuskupan Padang. Menurut Romo Agus di atas kertas ia mengakui bahwa aturan tersebut diperuntukkan mengatur guru dan siswa yang muslim, namun kenyataannya di sekolah-sekolah siswi-siswi non muslim dipaksa untuk memakai jilbab.
Menutur Romo Agus perasaan siswi-siswi nonmuslim itu sebenarnya menolak untuk berjilbab, tapi mereka tidak mau dikeluarkan dari komunitas sekolah dan dijauhi teman-temannya karena tidak memakai jilbab.
“Secara psikologis, mereka sebenarnya menolak untuk memakai jilbab, tapi mereka juga tidak mau merasa ditolak oleh teman-temannya dan sekolahnya kalau tidak memakai jilbab,” tutur Romo Agus. “Perasaan itu juga muncul ketika teman-temannnya yang memakai jilbab tidak ikhlas untuk bergaul karena dianggap bukan bagian dari komunitas, dengan demikian mereka yang sebenarnya ingin menolak mau tidak mau harus melaksanakan peraturan ini, karena mereka mau ditolak oleh komunitasnya,” kata Romo menambahkan.
Romo Agus menyayangkan peraturan yang diskriminatif ini ada di sekolah. “Padahal seharusnya sekolah adalah komunitas pendidikan yang terbuka, satu sama lain saling menerima,” kata Romo Agus. Namun dengan adanya aturan tersebut, tujuan pendidik untuk mebuka karaktar siswa tidak tercapai karena adanya penyeragaman itu. “Dengan berlakunya penyeragaman uniform (semua harus berjilbab), ini berarti siswa tidak dididik untuk menerima kemajemukan dan pluralitas, sehingga mereka hanya mengerti bahwa kehidupan pendidikan hanya satu warna saja,” tambah Romo Agus.
Hal senada juga disampaikan oleh Pendeta Robert Marthin, Ketua PGI Sumatera Barat. Aturan kewajiban jilbab tersebut merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap kurang lebih 22.000 pemeluk Kristen di Sumatera Barat. Menurut catatan yang dimiliki antara tahun 2005-2006, kurang lebih ada 22 siswi yang melanjutkan studinya di luar kota ini atau mereka kembali ke kampung meskipun orang tuanya berada di Padang. Menurut Pendeta Marthin, awalnya aturan jilbab di sekolah-sekolah tidak mengejutkan pemeluk Kristen, namun ketika siswi-siswi Kristen harus pakai jilbab mereka langsung tertekan.
“Memakai jilbab atau tidak memakai jilbab bukan hal yang mengejutkan, tetapi yang sangat berdampak dan membuat shock adalah ketika siswi-ssiwi Kristen juga harus memakai jilbab. Perlakuan dan komentar tidak adil tidak hanya behenti di sini, meskipun siswi-siswi Kristen sudah memakai jilbab, tidak lepas dari komentar. Misalnya keluar perkataan, orang Kristen kok pakai busana Muslim?” kata Pendeta Marthin dalam wawancaranya dengan Jurnal Perempuan ketika ditanya kondisi terakhir umat Kristen di Padang. Kondisi yang serba salah, apabila siswi Kristen tidak memakai jilbab maka mereka tidak akan bisa masuk sekolah dan mengikuti pelajaran, memakai jilbab pun tidak lepas dari komentar tadi: orang Kristen memakai simbol Islam.
Menghadapi situasi yang rumit ini, Pendeta Marthin telah berusaha untuk memberikan respon, baik terhadap pemerintah atau kepada jemaat gerejanya. “Ada dua cara yang kami tempuh. Pertama, gereja melalui PGI mencoba membicarakan hal ini kepada Pemerintah, dalam hal ini Walikota. Kedua, memberikan pemahaman tentang hal ini kepada para orang tua. Akhirnya kami berkata kepada para jemaat di Padang bahwa yang penting adalah keimanan, soal busana atau berpakaian hanyalah tampilan luar, tapi yang penting iman dan keinginan untuk belajar yang baik dari anak dan pemberian pemahaman kepada anak agar mengerti kondisi yang seperti itu. Mau bagaimana lagi, sebab jika kita tidak mengikuti, siswa-siwi kita mau bersekolah di mana?” kata Pendeta Marthin.
aneh2 aja gan jaman sekarang..
kita kan hidup di tempat yang harusnya tidak memaksakan kehendak ke orang lain juga gan.. kalo kaya gini makin lama makin aneh aja gan hukum di negara ini..
kalo berkenan mungkin boleh

Sumber
UPDATEEE
Komeng dari kaskuser yang tinggal di Padang..
thanks gan pencerahannya..
Quote:
Original Posted By myDC►

TETAP AJA TRIT ENTE BERBAU SARA . . .
Ane luruskan: Ane asli Padang dan tinggal di Padang sudah 20 tahun lebih.
Kebijakan pemakaian Jilbab di Padang sudah sejak tahun 2005. Dan Pemakaian Jilbab hanya diwajibkan bagi siswi Muslim, sedangkan siswi yang non-islam tidak diwajibkan memakai Jilbab, NAMUN tetap diwajibkan memakai seragam ROK PANJANG dan BAJU LENGAN PANJANG, TANPA MEMAKAI JILBAB. Ini semua ditujukan untuk menghormati penganut agama lain (non-islam), sehingga tidak ada alasan bahwa adanya pemaksaan dalam memakai atribut suatu agama lain.
KENYATAAN YANG TERJADI: Beberapa sekolah dengan mayoritas siswi non muslim (contoh: SMP mar*a, SMA D*n B*sc*, SMP Fr*t*r) tidak mematuhi aturan tersebut. alhasil, tetap saja siswi menggunakan pakaian seperti biasa (rok sampai lutut, baju lengan pendek) bahkan siswi muslim yang sekolah di sana pun juga menggunakan seragam yang sama.
Monggo, silahkan cek sendiri kebenarannya di Padang.


TETAP AJA TRIT ENTE BERBAU SARA . . .

Ane luruskan: Ane asli Padang dan tinggal di Padang sudah 20 tahun lebih.
Kebijakan pemakaian Jilbab di Padang sudah sejak tahun 2005. Dan Pemakaian Jilbab hanya diwajibkan bagi siswi Muslim, sedangkan siswi yang non-islam tidak diwajibkan memakai Jilbab, NAMUN tetap diwajibkan memakai seragam ROK PANJANG dan BAJU LENGAN PANJANG, TANPA MEMAKAI JILBAB. Ini semua ditujukan untuk menghormati penganut agama lain (non-islam), sehingga tidak ada alasan bahwa adanya pemaksaan dalam memakai atribut suatu agama lain.
KENYATAAN YANG TERJADI: Beberapa sekolah dengan mayoritas siswi non muslim (contoh: SMP mar*a, SMA D*n B*sc*, SMP Fr*t*r) tidak mematuhi aturan tersebut. alhasil, tetap saja siswi menggunakan pakaian seperti biasa (rok sampai lutut, baju lengan pendek) bahkan siswi muslim yang sekolah di sana pun juga menggunakan seragam yang sama.

Monggo, silahkan cek sendiri kebenarannya di Padang.

Diubah oleh xzork 16-07-2013 23:57
0
17.8K
Kutip
135
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan