- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Membunuh Malaikat ( Sebuah Cerpen )


TS
achanyoe
Membunuh Malaikat ( Sebuah Cerpen )
Siang gan, apa kabar semua. Semoga sehat-sehat ya. gak ada yang kurang sesuatu apapun.
Mau numpang majang cerpen buatan ane nih. Moga aja pada suka yak. Buat nemenin agan-agan di rumah. Atau buat yang lagi kerja terus spaneng, coba baca deh. seru kok cerpennnya.
Yaudah langsung gasken ke lokasi ya.
Mau numpang majang cerpen buatan ane nih. Moga aja pada suka yak. Buat nemenin agan-agan di rumah. Atau buat yang lagi kerja terus spaneng, coba baca deh. seru kok cerpennnya.
Yaudah langsung gasken ke lokasi ya.

Part I
Spoiler for Malaikat:

Quote:
Lagu itu, lagi-lagi aku mendengarnya. Lagu yang memang sedang hits itu sepertinya diputar dimana-mana. Sebuah lagu yang tepat untuk mewakili perasaanku saat ini. Atau lebih tepatnya sebuah lagu yang sedang menghakimiku. Apakah aku harus terlahir ke dunia? Apakah hidup ini adil?
Kota ini, ah iya kota ini. Sekarang aku berjalan di atasnya. Kota yang indah saat malam. Gedung-gedungnya tinggi. Banyak lampu, gemerlap cahaya dimana-mana. Aku sekarang berjalan di atasnya. Mengingat kembali kenangan yang telah berlalu. Angin ini, mengapa menerpa lebih kencang?
Kemarin adalah hari paling indah bukan? Mengapa aku justru tak berhenti menangis. Bukankah itu akhir dari mimpi burukku? Mengapa air mata ini mengalir, bukannya aku harusnya tertawa. Apa yang sebenarnya terjadi. Ah iya, sebelum angin mendorongku jatuh, izinkan aku mengenangnya. Di atas kota ini, izinkan aku mengenangnya. Kejadian satu hari setelah aku bebas.
Kriing.. kriing.. kriing..
Suara alarm berbunyi. Mematikan alarm lalu lanjut tidur adalah rutinitas pagi yang mungkin dilakukan banyak orang. Salah satunya adalah aku. Selalu sengaja memasang alarm pukul 5 pagi untuk kemudian bangun pada pukul 7 pagi. Sesungguhnya bukan karena malas, aku hanya benci untuk bangun. Dunia ini begitu menyeramkan. Aku bahkan tidak tahu alasan kenapa dunia itu ada? Jika untuk menyiksaku, kenapa harus ada dunia? Pertanyaan yang tidak pernah terjawab.
Orang-orang mungkin bertanya untuk apa menyalakan alarm jika tidak ingin bangun cepat dan bersegera melihat dunia. Bagiku alarm adalah bentuk lain dari kehangatan seorang ibu. Bagi manusia yang tidak beruntung kita bisa kehilangan banyak hal bukan? Lalu alasan satu-satunya aku masih bangun adalah sebuah keyakinan bahwa akan ada kebahagiaan yang menantiku di depan sana. Sesuatu yang mungkin saja terjadi, mungkin saja tidak.
“Hari ini kamu gajian, kan? Jangan lupa belikan keperluan Bapak.” Sebuah kalimat pendek dari bapak di pagi itu.
Kalimat yang sama setiap bulannya. Bapak hanya bicara denganku saat gajian tiba. Dia mengulang kalimat yang sama: Belikan keperluan bapak dan mana jatah bapak. Hanya dua kalimat sepanjang bulan. Dua puluh empat kalimat sepanjang tahun. Padahal kita tinggal di rumah yang sama, sering bertemu di pagi yang sama. Tapi kita tidak pernah bertingkah seperti bapak dan anak.
Ternyata tidak setiap omongan orang itu benar. Katanya anak perempuan akan selalu dekat dengan bapaknya. Lihat saja aku yang tidak pernah dekat dengan bapakku. Ia tidak pernah memanjakanku, tidak pernah menyayangiku. Ia hanya menganggapku alat untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Dua permintaannya setiap bulan terasa sangat memuakkan. Apalagi saat ia meminta jatah bulanan. Yang artinya, itu adalah hampir seluruh gaji yang aku terima.
Pagi itu aku berangkat ke sekolah tanpa melihat wajahnya. Saat dia mengingatkanku untuk membeli keperluannya, aku langsung keluar rumah begitu saja. Meninggalkannya sendiri yang asik merokok di depan tv tabung usang. Ditemani sebotol bir, ia duduk bersandar di sofa lusuh penuh debu. Ruang tamu tanpa jendela membuat suasana disana begitu pengap. Ditambah bau bapak yang jarang mandi, sempurna sudah keadaan di ruang tamu. Belum lagi kamar bapak, tidak kalah bau dan berantakan. Untungnya aku selalu menjaga kamarku tetap bersih. Sehingga aku masih bisa merasakan tidur nyeyak di rumah. Meski jika bisa memilih, aku ingin sekali pergi dari rumah itu.
Fyuhh.. apakah semua ini akan berakhir? Kataku dalam hati sambil menghela nafas panjang dan berlalu pergi meninggalkan rumah.
Aku mengikuti pelajaran seperti biasa, duduk sendirian di depan kelas. Siapa yang mau duduk sendirian di dalam kelas sepanjang tahun. Sejatinya itu bukanlah pilihan bagi manusia normal. Terpaksa, lebih tepatnya terpaksa. Aku pemalu memang, sulit bersosialisasi, ditambah juga tidak cantik jadi tidak ada laki-laki yang suka. Dianggap aneh hanya karena terlalu pendiam. Dan mungkin karena tidak pernah bisa diajak jalan-jalan sepulang sekolah. Tapi itu bukan mauku, tidak cantik dan pendiam karena digariskan begitu oleh Tuhan. Tidak bisa ikut mereka pergi juga karena harus bekerja untuk biaya sekolah. Ibuku sudah tidak ada, bapakku tidak lebih dari sampah. Berjuang sendiri untuk melanjutkan hidup itu juga keterpaksaan. Begitu saja mereka tidak mengerti. Bukankah sebagai manusia mereka seharusnya iba padaku, karena kesulitan hidup yang aku lalui ini. Apakah aku memang ditakdirkan hidup sendiri?
Semenjak kelas 3 SMA, saat istirahat aku selalu makan di kelas. Memang tidak bisa pergi ke kantin. Sisa uang dari gaji hanya cukup untuk bayar SPP dan transportasi. Saat istirahat, aku selalu makan makanan yang sama. Roti gagal produksi dari tempatku bekerja sambilan. Bentuknya cacat tapi rasanya tetap enak. Dulu beberapa teman sering mengajak ke kantin, tapi karena aku menolaknya perlahan mereka tidak lagi mengajakku. Sampai akhirnya tidak ada yang peduli aku sendirian di kelas saat istirahat.
Siang itu saat waktu istirahat hampir usai, sekumpulan teman laki-laki pulang dari kantin sambil saling ledek, bercanda, dan tertawa. Mereka melaluiku begitu saja, kembali ke tempat duduknya masing-masing.
“Woy Andi, mau gak lu gua jadiin pacar Lia?”
“Najis parahlah, ogah amat, emang gak ada yang lebih jelek apa?” kata Andi membalas ledekan temannya dilanjutkan dengan tawa teman yang lain.
Mereka mengatakannya tepat di belakangku dengan suara yang jelas, bullying mereka sangat kejam. Najis katanya? Apakah aku sama dengan hewan sampai mereka bilang najis? Apakah mereka tidak tahu bahwa menghina fisik wanita adalah dosa terbesar yang harus dihindari laki- laki? Karena kecantikan wajah dan kemolekan tubuh adalah impian setiap wanita, tapi tidak semua wanita bisa mendapatkannya, kan? Wanita juga makhluk yang lembut, memiliki perasaan yang rapuh. Salah perkataan sedikit saja, bisa membuat trauma yang sulit hilang.
Mereka memang selama ini hanya menghindar dariku. Tidak pernah sampai mengganggu secara langsung. Baru kali ini mereka seperti ini. Mungkin karena sudah muak menahan diri selama ini hanya bisa diam-diam meledek. Tapi lebih baik kalian ledek aku sepuasnya tanpa harus aku dengar. Karena rasanya sangat sakit saat mendengar mereka menertawakanku secara langsung.
Aku hanya bisa menangis, tangisan tanpa suara. Aku hanya harus kuat menghadapi ini semua. Aku sudah kelas 3 SMA, sebentar lagi akan memulai kehidupan baru. Semoga setelah lulus bisa menemukan kehidupan yang layak. Tidak muluk-muluk, aku hanya ingin pergi jauh dari kota ini. Meninggalkan bapak dan segala kenangan pahit lainnya.
Sepulang sekolah aku harus segera ke tempat kerja. Karena jarak dari sekolah cukup jauh, aku harus bergegas. Telat masuk artinya tidak dapat uang makan. Aku bekerja di toko roti, di bagian
produksi. Toko roti ini dulu adalah bekas tempat ibuku bekerja. Setelah ia meninggal, aku memohon kepada pemilik toko untuk bisa bekerja disini. Meski waktu itu umurku baru genap 12 tahun, baru masuk SMP.
Aku memohon kepada pemilik roti untuk bisa bekerja disini. Karena semenjak bapak dipenjara karena telah membunuh istrinya sendiri, aku hanya bisa bergantung pada diri sendiri. Tidak punya saudara ataupun teman yang bisa membantu saat itu. Aku masih bisa bersyukur saat itu karena aku adalah anak tunggal. Bayangkan di posisi itu harus mengurus adik kecil. Mungkin aku sudah memilih berhenti sekolah saja.
Sama seperti di sekolah, tempat kerja juga tidak lebih baik. Bos disini begitu pelit, setiap kesalahan dibalas dengan potong gaji. Terlambat artinya tidak dapat uang makan. Cacat produksi roti, artinya potong gaji. Di saat hari raya kami hanya dapat setengah THR, itupun harus kerja sampai mendekati hari raya baru dapat THR. Karena menjelang hari raya pesanan sedang banyak-banyaknya.
Rekan kerjaku karena mereka juga kesulitan ekonomi jadi tak jarang akhirnya mereka memanfaatkanku. Mereka sering meminjam uang secara paksa, untuk kemudian tidak mengembalikannya. Mereka tahu aku tidak akan melawan. Beruntung roti-roti cacat produksi disini boleh dibawa pulang – karena kita sudah menggantinya dengan gaji kita sendiri. Jadi bisa aku makan untuk sarapan dan bekal ke sekolah.
Jam kerjaku disini dari jam 4 sore sampai jam 10 malam. Begitu terus setiap hari, kecuali hari Minggu baru dapat jatah libur. Itu pun seringnya dipakai untuk lembur. Karena hanya dari uang lemburlah aku bisa menyimpan uang. Bapak hanya tahu berapa gaji pokok, tidak dengan uang lemburnya. Karena uang lembur diberikan satu minggu setelah gaji pokok.
Dulu sebelum bapak bebas, gaji yang aku terima dari toko roti ini sangat cukup untuk biaya hidup dan sekolah. Bahkan sampai bisa aku gunakan untuk membeli baju-baju bagus atau membeli makanan yang aku suka. Tapi satu tahun lalu, bapak bebas. Empat tahun lebih cepat dari hukuman seharusnya. Dengar-dengar saudaranya yang orang berada dari kampungnya membantunya untuk bisa bebas lebih cepat. Dan saat itu, ia mulai mengusik hidup anaknya sendiri.
“Lia, kamu di panggil Ibu Rosi tuh,” kata mba Naning salah satu karyawan toko itu.
“Iya mba, baru juga sampai,” balasku kepada mba Naning. Tanggal itu dipanggil bu Rosi artinya gajian.
Aku bekerja di bagian produksi. Tugasnya ialah membuat adonan roti, membentuknya, lalu memasukannya ke dalam oven. Saat baru masuk dulu, tugasku hanya bagian packaging. Membungkus roti dan menempel label expired itulah tugas yang bisa dilakukan anak kecil umur 12 tahun. Seiring berjalannya waktu, bos mulai mempercayaiku untuk membuat roti. Bagian produksi itu adalah yang paling sering kena potongan gaji, walaupun gajinya juga yang paling lumayan dibanding bagian lainnya. Tapi sebenarnya tidak beda jauh, karena potongan gaji kami juga lumayan besar.
“Lia, ini gaji kamu. Lumayan banyak kena potongan. Akhir-akhir ini kenapa banyak yang cacat hasil produksimu?” tanya ibu Rosi sambil menyerahkan gaji.
“Anu Bu, karena persiapan UN mungkin Bu,” jawabku sekenanya.
“Kamu ini kan kerja, jadi jangan membuat sekolahmu mengganggu kinerjamu disini. Lagi pula, meski gajimu aku potong, kebanyakan cacat produksi juga kesalahan. Dan kesalahan tetap kesalahan, paham kamu? Perbaiki kinerjamu yah, karena banyak yang mau mengganti posisimu sekarang,” balas ibu Rosi kali ini dengan nada yang sedikit tinggi.
Keluar dari ruangan ibu Rosi rasanya jantung ini serasa ingin berhenti. Sudah hampir enam tahun bekerja disini, tapi baru kali ini ibu Rosi marah sekalian mengancamku untuk dimutasi. Akhir-akhir ini kerjaku memang kurang baik. Tepatnya satu tahun ini. Aku jadi kurang fokus saat bekerja. Setelah bapak keluar dari penjara, otak ini serasa ingin meledak karena memikirkannya. Andai saja dia masih dipenjara, mungkin hidupku sedikit lebih baik. Aku bisa punya cukup uang untuk membalas kejamnya hidup, sedikit bersenang-senang.
Pekerjaan hari itu terasa melelahkan. Ditambah kejadian bullying tadi siang masih membekas rasa sakitnya. Rasanya ingin segela terlelap saja. Berharap esok hari adalah hari terbaikku. Balasan dari betapa menyebalkannya hari ini. Malam itu hujan turun dengan derasnya, waktunya pulang harus ditunda karena tidak punya payung. Aku duduk di dekat jendela sambil memandangi hujan. Ya Tuhan, kenapa aku begitu mencintai hujan. Rasa tenang saat melihat hujan begitu menyejukan hatiku. Aroma hujan adalah bau terbaik di dunia. Rasa air yang turun dari langit itu begitu manis menyegarkan. Andai manusia bisa santai saja saat turun hujan. Tidak perlu khawatir sakit, handphone rusak dan kekhawatiran lainnya. Mungkin aku adalah orang pertama yang rela jika dunia hujan setiap hari saja.
Menunggu hujan begitu jadi mengingat kenangan masa lalu. Banyak orang bilang, kalau kenangan berteman baik dengan hujan. Sepertinya kali ini omongan orang-orang itu benar. Saat itu aku jadi mengingat saat-saat ibu dan bapak masih bersama. Ibu sebenarnya bisa dikatakan bukan ibu yang baik, tapi juga bukan ibu yang jahat juga. Ibu memang sering marah- marah, tapi paling cuma sebentar. Setelahnya dia balik meminta maaf karena telah marah padaku. Bapak juga waktu ibu masih hidup tidak seperti sekarang. Dia memang tidak punya uang dan pengangguran yang bergantung hidup dari gaji ibu, tetapi dia tidak pemarah dan pemabuk seperti sekarang. Bapak justru sering membelaku saat ibu marah-marah.
Terakhir kali aku melihat ibu dan bapak bersama sebelum kematian ibu adalah saat mereka bertengkar hebat. Tepatnya di sebuah malam enam tahun lalu. Malam yang sama seperti saat ini, hujan. Mereka bertengkar tentang keinginan ibu yang tidak bisa bapak wujudkan. Entah apa keinginan ibu tidak jelas. Karena saat itu aku mengurung diri di kamar sambil menutup wajah dengan bantal. Tidak tahan dengan berisik suara bapak ibu bertengkar. Sambil menangis aku hanya melihat gelap akibat mataku tertutup bantal. Aku sempat mendengar suara bapak menangis. Mereka memang sering bertengkar. Tapi tidak pernah sehebat malam itu.
Sampai akhirnya pertengkaran mereka sepertinya usai, ditandai keheningan dari keduanya. Malam itu aku tertidur dengan perasaan sedih setelah mendengar semua pertengkaran mereka. Hingga paginya saat aku terbangun, aku melihat ibuku mati dengan luka tusuk di perutnya. Dan bapakku menangis di atas jasadnya. Tak lama warga datang setelah mendengar tangisan dan teriakan histerisku. Anak kecil berumur genap 12 tahun harus melihat kejadian mengerikan itu. Suami membunuh istrinya sendiri. Membuat aku kehilangan ibu selamanya.
Apakah hidup ini adil?
Kota ini, ah iya kota ini. Sekarang aku berjalan di atasnya. Kota yang indah saat malam. Gedung-gedungnya tinggi. Banyak lampu, gemerlap cahaya dimana-mana. Aku sekarang berjalan di atasnya. Mengingat kembali kenangan yang telah berlalu. Angin ini, mengapa menerpa lebih kencang?
Kemarin adalah hari paling indah bukan? Mengapa aku justru tak berhenti menangis. Bukankah itu akhir dari mimpi burukku? Mengapa air mata ini mengalir, bukannya aku harusnya tertawa. Apa yang sebenarnya terjadi. Ah iya, sebelum angin mendorongku jatuh, izinkan aku mengenangnya. Di atas kota ini, izinkan aku mengenangnya. Kejadian satu hari setelah aku bebas.
***
Kriing.. kriing.. kriing..
Suara alarm berbunyi. Mematikan alarm lalu lanjut tidur adalah rutinitas pagi yang mungkin dilakukan banyak orang. Salah satunya adalah aku. Selalu sengaja memasang alarm pukul 5 pagi untuk kemudian bangun pada pukul 7 pagi. Sesungguhnya bukan karena malas, aku hanya benci untuk bangun. Dunia ini begitu menyeramkan. Aku bahkan tidak tahu alasan kenapa dunia itu ada? Jika untuk menyiksaku, kenapa harus ada dunia? Pertanyaan yang tidak pernah terjawab.
Orang-orang mungkin bertanya untuk apa menyalakan alarm jika tidak ingin bangun cepat dan bersegera melihat dunia. Bagiku alarm adalah bentuk lain dari kehangatan seorang ibu. Bagi manusia yang tidak beruntung kita bisa kehilangan banyak hal bukan? Lalu alasan satu-satunya aku masih bangun adalah sebuah keyakinan bahwa akan ada kebahagiaan yang menantiku di depan sana. Sesuatu yang mungkin saja terjadi, mungkin saja tidak.
“Hari ini kamu gajian, kan? Jangan lupa belikan keperluan Bapak.” Sebuah kalimat pendek dari bapak di pagi itu.
Kalimat yang sama setiap bulannya. Bapak hanya bicara denganku saat gajian tiba. Dia mengulang kalimat yang sama: Belikan keperluan bapak dan mana jatah bapak. Hanya dua kalimat sepanjang bulan. Dua puluh empat kalimat sepanjang tahun. Padahal kita tinggal di rumah yang sama, sering bertemu di pagi yang sama. Tapi kita tidak pernah bertingkah seperti bapak dan anak.
Ternyata tidak setiap omongan orang itu benar. Katanya anak perempuan akan selalu dekat dengan bapaknya. Lihat saja aku yang tidak pernah dekat dengan bapakku. Ia tidak pernah memanjakanku, tidak pernah menyayangiku. Ia hanya menganggapku alat untuk memenuhi kebutuhan hariannya. Dua permintaannya setiap bulan terasa sangat memuakkan. Apalagi saat ia meminta jatah bulanan. Yang artinya, itu adalah hampir seluruh gaji yang aku terima.
Pagi itu aku berangkat ke sekolah tanpa melihat wajahnya. Saat dia mengingatkanku untuk membeli keperluannya, aku langsung keluar rumah begitu saja. Meninggalkannya sendiri yang asik merokok di depan tv tabung usang. Ditemani sebotol bir, ia duduk bersandar di sofa lusuh penuh debu. Ruang tamu tanpa jendela membuat suasana disana begitu pengap. Ditambah bau bapak yang jarang mandi, sempurna sudah keadaan di ruang tamu. Belum lagi kamar bapak, tidak kalah bau dan berantakan. Untungnya aku selalu menjaga kamarku tetap bersih. Sehingga aku masih bisa merasakan tidur nyeyak di rumah. Meski jika bisa memilih, aku ingin sekali pergi dari rumah itu.
Fyuhh.. apakah semua ini akan berakhir? Kataku dalam hati sambil menghela nafas panjang dan berlalu pergi meninggalkan rumah.
***
Aku mengikuti pelajaran seperti biasa, duduk sendirian di depan kelas. Siapa yang mau duduk sendirian di dalam kelas sepanjang tahun. Sejatinya itu bukanlah pilihan bagi manusia normal. Terpaksa, lebih tepatnya terpaksa. Aku pemalu memang, sulit bersosialisasi, ditambah juga tidak cantik jadi tidak ada laki-laki yang suka. Dianggap aneh hanya karena terlalu pendiam. Dan mungkin karena tidak pernah bisa diajak jalan-jalan sepulang sekolah. Tapi itu bukan mauku, tidak cantik dan pendiam karena digariskan begitu oleh Tuhan. Tidak bisa ikut mereka pergi juga karena harus bekerja untuk biaya sekolah. Ibuku sudah tidak ada, bapakku tidak lebih dari sampah. Berjuang sendiri untuk melanjutkan hidup itu juga keterpaksaan. Begitu saja mereka tidak mengerti. Bukankah sebagai manusia mereka seharusnya iba padaku, karena kesulitan hidup yang aku lalui ini. Apakah aku memang ditakdirkan hidup sendiri?
Semenjak kelas 3 SMA, saat istirahat aku selalu makan di kelas. Memang tidak bisa pergi ke kantin. Sisa uang dari gaji hanya cukup untuk bayar SPP dan transportasi. Saat istirahat, aku selalu makan makanan yang sama. Roti gagal produksi dari tempatku bekerja sambilan. Bentuknya cacat tapi rasanya tetap enak. Dulu beberapa teman sering mengajak ke kantin, tapi karena aku menolaknya perlahan mereka tidak lagi mengajakku. Sampai akhirnya tidak ada yang peduli aku sendirian di kelas saat istirahat.
Siang itu saat waktu istirahat hampir usai, sekumpulan teman laki-laki pulang dari kantin sambil saling ledek, bercanda, dan tertawa. Mereka melaluiku begitu saja, kembali ke tempat duduknya masing-masing.
“Woy Andi, mau gak lu gua jadiin pacar Lia?”
“Najis parahlah, ogah amat, emang gak ada yang lebih jelek apa?” kata Andi membalas ledekan temannya dilanjutkan dengan tawa teman yang lain.
Mereka mengatakannya tepat di belakangku dengan suara yang jelas, bullying mereka sangat kejam. Najis katanya? Apakah aku sama dengan hewan sampai mereka bilang najis? Apakah mereka tidak tahu bahwa menghina fisik wanita adalah dosa terbesar yang harus dihindari laki- laki? Karena kecantikan wajah dan kemolekan tubuh adalah impian setiap wanita, tapi tidak semua wanita bisa mendapatkannya, kan? Wanita juga makhluk yang lembut, memiliki perasaan yang rapuh. Salah perkataan sedikit saja, bisa membuat trauma yang sulit hilang.
Mereka memang selama ini hanya menghindar dariku. Tidak pernah sampai mengganggu secara langsung. Baru kali ini mereka seperti ini. Mungkin karena sudah muak menahan diri selama ini hanya bisa diam-diam meledek. Tapi lebih baik kalian ledek aku sepuasnya tanpa harus aku dengar. Karena rasanya sangat sakit saat mendengar mereka menertawakanku secara langsung.
Aku hanya bisa menangis, tangisan tanpa suara. Aku hanya harus kuat menghadapi ini semua. Aku sudah kelas 3 SMA, sebentar lagi akan memulai kehidupan baru. Semoga setelah lulus bisa menemukan kehidupan yang layak. Tidak muluk-muluk, aku hanya ingin pergi jauh dari kota ini. Meninggalkan bapak dan segala kenangan pahit lainnya.
***
Sepulang sekolah aku harus segera ke tempat kerja. Karena jarak dari sekolah cukup jauh, aku harus bergegas. Telat masuk artinya tidak dapat uang makan. Aku bekerja di toko roti, di bagian
produksi. Toko roti ini dulu adalah bekas tempat ibuku bekerja. Setelah ia meninggal, aku memohon kepada pemilik toko untuk bisa bekerja disini. Meski waktu itu umurku baru genap 12 tahun, baru masuk SMP.
Aku memohon kepada pemilik roti untuk bisa bekerja disini. Karena semenjak bapak dipenjara karena telah membunuh istrinya sendiri, aku hanya bisa bergantung pada diri sendiri. Tidak punya saudara ataupun teman yang bisa membantu saat itu. Aku masih bisa bersyukur saat itu karena aku adalah anak tunggal. Bayangkan di posisi itu harus mengurus adik kecil. Mungkin aku sudah memilih berhenti sekolah saja.
Sama seperti di sekolah, tempat kerja juga tidak lebih baik. Bos disini begitu pelit, setiap kesalahan dibalas dengan potong gaji. Terlambat artinya tidak dapat uang makan. Cacat produksi roti, artinya potong gaji. Di saat hari raya kami hanya dapat setengah THR, itupun harus kerja sampai mendekati hari raya baru dapat THR. Karena menjelang hari raya pesanan sedang banyak-banyaknya.
Rekan kerjaku karena mereka juga kesulitan ekonomi jadi tak jarang akhirnya mereka memanfaatkanku. Mereka sering meminjam uang secara paksa, untuk kemudian tidak mengembalikannya. Mereka tahu aku tidak akan melawan. Beruntung roti-roti cacat produksi disini boleh dibawa pulang – karena kita sudah menggantinya dengan gaji kita sendiri. Jadi bisa aku makan untuk sarapan dan bekal ke sekolah.
Jam kerjaku disini dari jam 4 sore sampai jam 10 malam. Begitu terus setiap hari, kecuali hari Minggu baru dapat jatah libur. Itu pun seringnya dipakai untuk lembur. Karena hanya dari uang lemburlah aku bisa menyimpan uang. Bapak hanya tahu berapa gaji pokok, tidak dengan uang lemburnya. Karena uang lembur diberikan satu minggu setelah gaji pokok.
Dulu sebelum bapak bebas, gaji yang aku terima dari toko roti ini sangat cukup untuk biaya hidup dan sekolah. Bahkan sampai bisa aku gunakan untuk membeli baju-baju bagus atau membeli makanan yang aku suka. Tapi satu tahun lalu, bapak bebas. Empat tahun lebih cepat dari hukuman seharusnya. Dengar-dengar saudaranya yang orang berada dari kampungnya membantunya untuk bisa bebas lebih cepat. Dan saat itu, ia mulai mengusik hidup anaknya sendiri.
“Lia, kamu di panggil Ibu Rosi tuh,” kata mba Naning salah satu karyawan toko itu.
“Iya mba, baru juga sampai,” balasku kepada mba Naning. Tanggal itu dipanggil bu Rosi artinya gajian.
Aku bekerja di bagian produksi. Tugasnya ialah membuat adonan roti, membentuknya, lalu memasukannya ke dalam oven. Saat baru masuk dulu, tugasku hanya bagian packaging. Membungkus roti dan menempel label expired itulah tugas yang bisa dilakukan anak kecil umur 12 tahun. Seiring berjalannya waktu, bos mulai mempercayaiku untuk membuat roti. Bagian produksi itu adalah yang paling sering kena potongan gaji, walaupun gajinya juga yang paling lumayan dibanding bagian lainnya. Tapi sebenarnya tidak beda jauh, karena potongan gaji kami juga lumayan besar.
“Lia, ini gaji kamu. Lumayan banyak kena potongan. Akhir-akhir ini kenapa banyak yang cacat hasil produksimu?” tanya ibu Rosi sambil menyerahkan gaji.
“Anu Bu, karena persiapan UN mungkin Bu,” jawabku sekenanya.
“Kamu ini kan kerja, jadi jangan membuat sekolahmu mengganggu kinerjamu disini. Lagi pula, meski gajimu aku potong, kebanyakan cacat produksi juga kesalahan. Dan kesalahan tetap kesalahan, paham kamu? Perbaiki kinerjamu yah, karena banyak yang mau mengganti posisimu sekarang,” balas ibu Rosi kali ini dengan nada yang sedikit tinggi.
Keluar dari ruangan ibu Rosi rasanya jantung ini serasa ingin berhenti. Sudah hampir enam tahun bekerja disini, tapi baru kali ini ibu Rosi marah sekalian mengancamku untuk dimutasi. Akhir-akhir ini kerjaku memang kurang baik. Tepatnya satu tahun ini. Aku jadi kurang fokus saat bekerja. Setelah bapak keluar dari penjara, otak ini serasa ingin meledak karena memikirkannya. Andai saja dia masih dipenjara, mungkin hidupku sedikit lebih baik. Aku bisa punya cukup uang untuk membalas kejamnya hidup, sedikit bersenang-senang.
***
Pekerjaan hari itu terasa melelahkan. Ditambah kejadian bullying tadi siang masih membekas rasa sakitnya. Rasanya ingin segela terlelap saja. Berharap esok hari adalah hari terbaikku. Balasan dari betapa menyebalkannya hari ini. Malam itu hujan turun dengan derasnya, waktunya pulang harus ditunda karena tidak punya payung. Aku duduk di dekat jendela sambil memandangi hujan. Ya Tuhan, kenapa aku begitu mencintai hujan. Rasa tenang saat melihat hujan begitu menyejukan hatiku. Aroma hujan adalah bau terbaik di dunia. Rasa air yang turun dari langit itu begitu manis menyegarkan. Andai manusia bisa santai saja saat turun hujan. Tidak perlu khawatir sakit, handphone rusak dan kekhawatiran lainnya. Mungkin aku adalah orang pertama yang rela jika dunia hujan setiap hari saja.
Menunggu hujan begitu jadi mengingat kenangan masa lalu. Banyak orang bilang, kalau kenangan berteman baik dengan hujan. Sepertinya kali ini omongan orang-orang itu benar. Saat itu aku jadi mengingat saat-saat ibu dan bapak masih bersama. Ibu sebenarnya bisa dikatakan bukan ibu yang baik, tapi juga bukan ibu yang jahat juga. Ibu memang sering marah- marah, tapi paling cuma sebentar. Setelahnya dia balik meminta maaf karena telah marah padaku. Bapak juga waktu ibu masih hidup tidak seperti sekarang. Dia memang tidak punya uang dan pengangguran yang bergantung hidup dari gaji ibu, tetapi dia tidak pemarah dan pemabuk seperti sekarang. Bapak justru sering membelaku saat ibu marah-marah.
Terakhir kali aku melihat ibu dan bapak bersama sebelum kematian ibu adalah saat mereka bertengkar hebat. Tepatnya di sebuah malam enam tahun lalu. Malam yang sama seperti saat ini, hujan. Mereka bertengkar tentang keinginan ibu yang tidak bisa bapak wujudkan. Entah apa keinginan ibu tidak jelas. Karena saat itu aku mengurung diri di kamar sambil menutup wajah dengan bantal. Tidak tahan dengan berisik suara bapak ibu bertengkar. Sambil menangis aku hanya melihat gelap akibat mataku tertutup bantal. Aku sempat mendengar suara bapak menangis. Mereka memang sering bertengkar. Tapi tidak pernah sehebat malam itu.
Sampai akhirnya pertengkaran mereka sepertinya usai, ditandai keheningan dari keduanya. Malam itu aku tertidur dengan perasaan sedih setelah mendengar semua pertengkaran mereka. Hingga paginya saat aku terbangun, aku melihat ibuku mati dengan luka tusuk di perutnya. Dan bapakku menangis di atas jasadnya. Tak lama warga datang setelah mendengar tangisan dan teriakan histerisku. Anak kecil berumur genap 12 tahun harus melihat kejadian mengerikan itu. Suami membunuh istrinya sendiri. Membuat aku kehilangan ibu selamanya.
Apakah hidup ini adil?
Diubah oleh achanyoe 09-01-2021 07:47






hellkat08 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1.6K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan