- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Berry (Kucing yang bisa merasakan kematian)


TS
Ayulagi
Berry (Kucing yang bisa merasakan kematian)
Aku meremas ujung selimut saat melihat seekor kucing berwarna hitam memasuki ruang rawat. Hewan berkaki empat itu berjalan perlahan. Ekornya yang panjang bergerak ke kanan dan kiri.
"Jangan sampai dia berhenti di ranjangku!" Terdengar suara berat dari samping kananku.
Dia Tuan Angelo. Pria paruh baya yang menderita sakit jantung koroner. Tadi malam, dia sesak napas sampai harus diberikan oksigen. Para perawat terlihat sibuk memberikan pertolongan pertama. Aku tak tahu lagi karena mereka langsung membawa Tuan Angelo ke ICU.
Sepertinya, sekarang keadaan Tuan Angelo sudah stabil, tetapi gesturnya berubah tegang saat melihat kedatangan Berry si kucing yang bisa merasakan kematian.
Kucing peliharaan seorang dokter di rumah sakit ini sudah lama terkenal. Sejak kedatangannya dua tahun lalu, setidaknya ada seratus orang yang meninggal dengan tenang. Umumnya, beberapa pasien yang mendekati ajal akan khawatir. Namun, Berry dengan wajah dan tingkah laku yang lucu, membuat mereka semua lebih bisa menerima kematian.
Berry kembali berjalan mendekat. Aku ikut menahan napas. Harapanku sama seperti Tuan Angelo. Penyakitku tidaklah parah, hanya mengalami alergi seafood, semua tubuhku memerah. Akan tetapi, tidaklah mungkin Berry datang ke dalam ruang perawatan tanpa tujuan.
Jangan-jangan ... di antara aku dan Tuan Angelo akan menemui ajal malam ini juga?!
Jangan sampai orang itu adalah aku!
Aku masih muda, masih ingin hidup!
"Miaw ...!"
Aku membeku di atas ranjang. Mataku melihat ke arah kanan. Berry duduk diam diantara ranjangku dan Tuan Angelo. Kucing hitam itu menunduk. Oh, tidak! Jangan menengok ke arahku, Berry!
Aku memilih memejamkan mata, demi menghalau rasa takut yang begitu kuat.
"Miaw ...." Kucing itu mengeong lagi. Kali ini, suaranya sangat lembut. Tidak ceria seperti cerita yang kudengar.
"Hah, syukurlah ...."
Mataku membuka sepenuhnya mendengar Tuan Angelo mengucap syukur. Kali ini aku tak mampu berkata-kata, karena Berry sudah mengubah arah duduknya menghadap ranjangku. Kucing bermata hijau itu melihatku dengan sorot sedih. Jadi ... aku akan tiada?
"Aku turut bersedih untukmu, Willy. Ternyata kau selanjutnya. Selamat tinggal!"
Tuan Angelo menarik gorden perawatan dengan kasar. Dia benar-benar egois!
Perlahan aku turun dari ranjang, lalu melihat kalung Berry yang masih tergantung dengan rapi. Aku pernah mendengar kalau di dalam kalung itu ada chips untuk melacak Berry. Lebih baik aku buang saja chips itu!
"Miaw ... miaw ...!"
"Jangan berisik!" bentakku.
Kucing itu benar-benar menjengkelkan! Dia malah berlari ke sana-sini. Tidak menyerah, aku segera mengejarnya dan berhasil!
Sebelum dia kabur lagi, aku mencoba menarik kalungnya. Namun, kucing itu malah mencakar dan menggigit tanganku. Dia kembali terlepas dan berlari ke ujung ranjang. Kesabaranku sudah hilang, dengan nekat aku mengambil sebilah pisau untuk memotong buah di atas meja kecil dekat ranjang.
"Kau yang akan mati, Berry!"
Aku menangkapnya dan dengan segera mengayunkan pisau ke tubuhnya.
"Miaaaaw ...!"
Ya, aku berhasil! Aku masih hidup!
"Berry! Sayang!" Terdengar pintu kamar perawatan terbuka dengan kasar. Setelah itu aku dihadapkan dengan majikannya Berry. Dia adalah dokter spesialis jantung.
Tanganku masih berlumur darah dan pisau juga masih kugenggam. Dokter itu mengangkat tubuh Berry yang sudah tiada. Dia mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Apa yang kau lakukan?!" hardiknya.
Dia meletakkan Berry di atas nakas dengan perlahan. Selanjutnya, dokter pria itu mendekat dan menarik bajuku. Dia juga merampas pisau yang kupegang dan dengan kekuatan penuh, benda tajam itu diayunkan menembus perutku.
"Kau tidak bisa lari dari kematian!" Ucapannya sangat jelas, dia terus saja mengayunkan pisaunya menerjang tubuhku yang mulai kehabisan banyak darah.
Aku berteriak minta tolong. Namun, tak ada yang datang. Tenagaku hampir habis, dengan lemah aku menyeret tubuh ke arah ranjang Tuan Angelo. Pria itu benar-benar keterlaluan, dia tak peduli denganku yang hampir terbunuh.
"Tuan! Tolong aku! Telepon perawat, polisi atau siapa saja!"
Tak ada jawaban. Dokter itu berubah tidak waras. Dia tertawa sendiri dengan pisau yang masih digenggam erat oleh tangan besarnya.
Aku sudah sampai di depan ranjang Tuan Angelo. Terburu-buru aku menyibakkan gordennya. Aku tercengang, di atas ranjang itu terbujur sesosok jasad yang diselimuti kain putih. Aku terkejut dan berteriak sejadi-jadinya ketika melihat sebuah tangan yang keluar dari selimut.
Di pergelangan tangan itu melingkar sebuah gelang identitas. Ternyata jasad itu ... Tuan Angelo?!
"Selamat tinggal, Willy!" Aku menengok ke arah suara dokter itu.
Dia menghunuskan pisau tepat di jantungku. Aku tersungkur dan semua pandanganku berkunang. Kepalaku rasanya berputar. Di ujung pintu kamar samar-samar terlihat sosok pria paruh baya yang melambaikan tangannya ke arahku, pun dengan kucing hitam yang terus saja mengeong di dekat kakinya.
End.
"Jangan sampai dia berhenti di ranjangku!" Terdengar suara berat dari samping kananku.
Dia Tuan Angelo. Pria paruh baya yang menderita sakit jantung koroner. Tadi malam, dia sesak napas sampai harus diberikan oksigen. Para perawat terlihat sibuk memberikan pertolongan pertama. Aku tak tahu lagi karena mereka langsung membawa Tuan Angelo ke ICU.
Sepertinya, sekarang keadaan Tuan Angelo sudah stabil, tetapi gesturnya berubah tegang saat melihat kedatangan Berry si kucing yang bisa merasakan kematian.
Kucing peliharaan seorang dokter di rumah sakit ini sudah lama terkenal. Sejak kedatangannya dua tahun lalu, setidaknya ada seratus orang yang meninggal dengan tenang. Umumnya, beberapa pasien yang mendekati ajal akan khawatir. Namun, Berry dengan wajah dan tingkah laku yang lucu, membuat mereka semua lebih bisa menerima kematian.
Berry kembali berjalan mendekat. Aku ikut menahan napas. Harapanku sama seperti Tuan Angelo. Penyakitku tidaklah parah, hanya mengalami alergi seafood, semua tubuhku memerah. Akan tetapi, tidaklah mungkin Berry datang ke dalam ruang perawatan tanpa tujuan.
Jangan-jangan ... di antara aku dan Tuan Angelo akan menemui ajal malam ini juga?!
Jangan sampai orang itu adalah aku!
Aku masih muda, masih ingin hidup!
"Miaw ...!"
Aku membeku di atas ranjang. Mataku melihat ke arah kanan. Berry duduk diam diantara ranjangku dan Tuan Angelo. Kucing hitam itu menunduk. Oh, tidak! Jangan menengok ke arahku, Berry!
Aku memilih memejamkan mata, demi menghalau rasa takut yang begitu kuat.
"Miaw ...." Kucing itu mengeong lagi. Kali ini, suaranya sangat lembut. Tidak ceria seperti cerita yang kudengar.
"Hah, syukurlah ...."
Mataku membuka sepenuhnya mendengar Tuan Angelo mengucap syukur. Kali ini aku tak mampu berkata-kata, karena Berry sudah mengubah arah duduknya menghadap ranjangku. Kucing bermata hijau itu melihatku dengan sorot sedih. Jadi ... aku akan tiada?
"Aku turut bersedih untukmu, Willy. Ternyata kau selanjutnya. Selamat tinggal!"
Tuan Angelo menarik gorden perawatan dengan kasar. Dia benar-benar egois!
Perlahan aku turun dari ranjang, lalu melihat kalung Berry yang masih tergantung dengan rapi. Aku pernah mendengar kalau di dalam kalung itu ada chips untuk melacak Berry. Lebih baik aku buang saja chips itu!
"Miaw ... miaw ...!"
"Jangan berisik!" bentakku.
Kucing itu benar-benar menjengkelkan! Dia malah berlari ke sana-sini. Tidak menyerah, aku segera mengejarnya dan berhasil!
Sebelum dia kabur lagi, aku mencoba menarik kalungnya. Namun, kucing itu malah mencakar dan menggigit tanganku. Dia kembali terlepas dan berlari ke ujung ranjang. Kesabaranku sudah hilang, dengan nekat aku mengambil sebilah pisau untuk memotong buah di atas meja kecil dekat ranjang.
"Kau yang akan mati, Berry!"
Aku menangkapnya dan dengan segera mengayunkan pisau ke tubuhnya.
"Miaaaaw ...!"
Ya, aku berhasil! Aku masih hidup!
"Berry! Sayang!" Terdengar pintu kamar perawatan terbuka dengan kasar. Setelah itu aku dihadapkan dengan majikannya Berry. Dia adalah dokter spesialis jantung.
Tanganku masih berlumur darah dan pisau juga masih kugenggam. Dokter itu mengangkat tubuh Berry yang sudah tiada. Dia mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Apa yang kau lakukan?!" hardiknya.
Dia meletakkan Berry di atas nakas dengan perlahan. Selanjutnya, dokter pria itu mendekat dan menarik bajuku. Dia juga merampas pisau yang kupegang dan dengan kekuatan penuh, benda tajam itu diayunkan menembus perutku.
"Kau tidak bisa lari dari kematian!" Ucapannya sangat jelas, dia terus saja mengayunkan pisaunya menerjang tubuhku yang mulai kehabisan banyak darah.
Aku berteriak minta tolong. Namun, tak ada yang datang. Tenagaku hampir habis, dengan lemah aku menyeret tubuh ke arah ranjang Tuan Angelo. Pria itu benar-benar keterlaluan, dia tak peduli denganku yang hampir terbunuh.
"Tuan! Tolong aku! Telepon perawat, polisi atau siapa saja!"
Tak ada jawaban. Dokter itu berubah tidak waras. Dia tertawa sendiri dengan pisau yang masih digenggam erat oleh tangan besarnya.
Aku sudah sampai di depan ranjang Tuan Angelo. Terburu-buru aku menyibakkan gordennya. Aku tercengang, di atas ranjang itu terbujur sesosok jasad yang diselimuti kain putih. Aku terkejut dan berteriak sejadi-jadinya ketika melihat sebuah tangan yang keluar dari selimut.
Di pergelangan tangan itu melingkar sebuah gelang identitas. Ternyata jasad itu ... Tuan Angelo?!
"Selamat tinggal, Willy!" Aku menengok ke arah suara dokter itu.
Dia menghunuskan pisau tepat di jantungku. Aku tersungkur dan semua pandanganku berkunang. Kepalaku rasanya berputar. Di ujung pintu kamar samar-samar terlihat sosok pria paruh baya yang melambaikan tangannya ke arahku, pun dengan kucing hitam yang terus saja mengeong di dekat kakinya.
End.






a9r7a dan 9 lainnya memberi reputasi
10
1.7K
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan