Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

69farhanAvatar border
TS
69farhan
BURUH MAGANG, PELATIHAN KERJA ATAU EXPLOITASI PEKERJA?
BURUH MAGANG, PELATIHAN KERJA ATAU EXPLOITASI PEKERJA?

Mengenali Praktik Penyelunsupan Status Pekerja Berkesok Peserta Magang / Pekerja Magang.

Lowongan magang di PT Nanbu Plastics Indonesia berangkat malam ini,” Mei mengeja sebuah lowongan pekerjaan pada Grup Facebook Balai Ketenagakerjaan (BKK) SMK Muhammadiyah Larangan, sebuah kecamatan di Brebes, Jawa Tengah, pada 14 Juli 2016.

Mei melihat jam. Pukul 2 siang. Ia membaca persyaratan dengan teliti. Setelah memastikan diri memenuhi persyaratan, Mei menekan nomor kontak di ponselnya sesuai yang tertera pada lowongan. Kontak itu mengarah pada Mely, guru Bahasa Inggris tempatnya sekolah yang juga pengurus BKK.

Usai berbincang, Mei memutuskan untuk mengambil kesempatan itu. Tawaran uang saku Rp2,9 juta, janji dikontrak PT Nanbu setelah magang 6 bulan, dan fasilitas tempat tinggal; membuat Mei seketika membayangkan masa depan pekerjaan yang stabil.

Mei bahkan menyanggupi membayar Rp1,3 juta sebagai "syarat administrasi" dalam lowongan pekerjaan itu.

“Langsung hari itu juga dibayar tanpa kuitansi,” ujarnya.

Dari BKK sekolahnya, ia dikirim ke BKK SMK Ma'arif NU Tonjong, sekira 30,4 kilometer dari sekolahnya. Di sana ia bertemu dengan sembilan calon tenaga magang lain yang juga mendaftar. 

Sekitar pukul 8 malam, mereka diberangkatkan ke Bekasi. Menjelang subuh, mobil berhenti di satu pom bensin di daerah Cikarang. Mereka bermalam di musala di pom bensin itu hingga hari terang. Pagi itu Mei berfirasat buruk.

“Janjinya ada mes tapi ternyata tidur di musala. Kita disuruh mandi di sana sebelum ikut tes magang,” tutur Mei. 

Meski merasa ada sesuatu yang tidak beres, Mei tidak banyak bertanya atau protes.

Perjalanan berlanjut. Tetapi bukan ke PT Nanbu Plastics, melainkan ke sebuah Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) di daerah Cikarang bernama LPK Mardizu Sejahtera. Di sana Mei dan teman-temannya menjalani tes dan melengkapi administrasi. Bagi yang belum membayar Rp1,3 juta dikenakan biaya pendaftaran Rp50 ribu.

“Saya sudah bayar di awal, jadi tidak bayar pendaftaran lagi,” ucap Mei. Dalam informasi yang diberikan Mely pada grup Facebook, bagi yang tidak membayar Rp1,3 juta di muka akan dikenai potongan gaji.

Usai tes, Mei dan teman-temannya diminta mencari kos sendiri-sendiri sembari menunggu panggilan magang. Seminggu panggilan belum juga ada. Dua minggu menunggu, tak juga ada kabar. Padahal uang bekal dari kampung sudah menipis. 

Mei dan teman-temannya bimbang, antara mau pulang atau tetap menunggu. Mei sendiri memilih tetap menunggu. 

Setelah sebulan lebih, panggilan magang akhirnya datang. Pada 22 Agustus, Mei menandatangani kontrak magang selama tiga bulan, bukan enam bulan seperti yang dijanjikan. Kontrak magang itu pun bukan dengan PT Nanbu Plastics Indonesia secara langsung, melainkan dengan PT Mardizu Sejahtera sebagai pihak ketiga.

Nasib buruk belum selesai di situ. Selama magang, uang saku tidak pernah penuh diterima Mei. Potongan bus jemputan, seragam, dan lainnya membebaninya. Sialnya lagi, belum selesai tiga bulan magang, Mei sudah diputus kontrak magang tanpa alasan. 

Selama berbulan-bulan Mei luntang-lantung di perantauan. “Ada yang enggak kuat lagi, akhirnya pulang. Saya tetap melamar kerja ke sana-sini.”

Pola Pemerasan 'Peserta Magang'

Kisah Mei hanya satu dari sekian banyak cerita para lulusan SMA/SMK yang berniat magang untuk mendapat pengalaman kerja. Persyaratan pengalaman kerja menjadi penting bagi mereka untuk meningkatkan keterampilan atau, dalam istilah dunia angkatan kerja, "daya saing". Karena itu mereka rela mengupayakan banyak cara untuk mendapat kesempatan magang.

Sayangnya, kebutuhan magang itu dimanfaatkan dengan baik oleh sejumlah LPK untuk meraup untung.

Dalam kasus Mei, misalnya, ada kerjasama antara sekolah dan LPK yang menjadi broker alias perantara magang di perusahaan. LPK merekrut para lulusan baru untuk ikut dalam program magang.

Staf LPK Mardizu, Eli membenarkan adanya kerjasama dengan sekolah-sekolah itu. “Kita banyak dari Jawa Tengah untuk kerjasamanya,” kata Eli kepada Tirto, 27 April lalu.

Eli juga mengakui jika para peserta magang akan diikat kontrak dengan PT Mardizu Sejahtera bukan dengan perusahaan tempat para magang akan bekerja. Sehingga tanggung jawab peserta magang tetap ada di tangan PT Mardizu.

Meski demikian, Eli membantah adanya pungutan biaya atau potongan uang saku peserta magang. Mereka hanya memungut uang pendaftaran sebesar Rp50 ribu sebagai ganti biaya tes, fotokopi, dan alat tulis.

“Kami hanya minta uang pendaftaran saja,” klaim Eli.

Pernyataan Eli berbeda dengan keterangan Mei yang menyerahkan Rp1,3 juta sebagai biaya administrasi. Biaya itu diberikan kepada Mely sesuai pengumuman di Facebook. Mely dari pihak BKK sendiri menolak diwawancarai.

“Kalau mau tanya soal BKK, tanyanya ke ketuanya saja langsung,” ujar Mely melalui pesan singkat.

Pola ini mirip dengan sistem outsourcing tetapi dalam kondisi yang lebih buruk.

Asep, 31 tahun, seorang mantan calo magang dan pencari kerja, mengungkapkan bagaimana metode kerja LPK menangguk untung lewat cara-cara pemerasan.

Mereka bekerja secara berkelompok, menyambangi sejumlah sekolah di desa-desa. Bermodal pakaian rapi dan kartu nama yang dicetak sendiri, mereka memperdaya sekolah agar mau bekerjasama dengan mereka sebagai penyalur tenaga kerja.

“Yang penting (berpenampilan) meyakinkan. Mereka juga enggak akan curiga kalau kerjasama, karena memang mereka juga ingin lulusan sekolah mereka bisa cepat dapat kerja,” ujar Asep kepada Tirto.

Pertama-tama, Asep dan rekannya mengadakan tes di sekolah tersebut. Untuk mengikuti tes, para siswa dalam fase menjelang lulus harus membayar Rp50 ribu. Sekali tes biasanya lebih dari 200 orang.

Tes itu formalitas belaka. Sebab, faktanya, Asep dan rekannya akan mencari siswa yang mau menyetor uang antara Rp2 juta - Rp3 juta dengan iming-iming mendapat kepastian diterima kerja atau magang.

“Mereka yang bersedia memberikan uang akan kita bawa ke lokasi di dekat pabrik. Kami sediakan kontrakan, mereka tinggal di sana. Selama mereka di sana, kami janjikan nanti bisa diterima di perusahaan besar dengan gaji besar. Yang penting sabar,” ujar Asep yang bekerja menjadi calo sejak 2014 hingga 2015.

Berbekal ijazah dan surat lamaran, Asep dan timnya menyebarkan lamaran korban mereka ke banyak perusahaan. Jika ada yang diterima, dengan meneken perjanjian, para siswa harus menyetorkan sejumlah uang dan pemotongan gaji setiap bulan.

“Kita gambling saja. Kalau ada diterima, ya sebenarnya itu karena memang (kualitas) lamaran mereka sendiri. Tapi ada yang sudah berbulan-bulan menunggu akhirnya pulang kampung. Yang diterima bayar dan potong gaji tiap bulan,” ungkapnya.

Jika ada yang menolak potong gaji, tim akan mengancam dengan merekomendasikan kepada perusahaan agar si korban dipecat atau tidak dilanjutkan magangnya.

“Ada juga yang memang kita kerjasama dengan perusahaan. Jadi resmi penyalur. Tapi, istilahnya, kita minta uang untuk administrasi dan potong gaji,” ujar Asep. “Kalau tidak mau, silakan pulang kampung, masih banyak yang mau.”

BURUH MAGANG, PELATIHAN KERJA ATAU EXPLOITASI PEKERJA?


Aturan pemagangan lain adalah masa magang hanya boleh dilakukan paling lama setahun, tetapi bisa diperpanjang lewat perjanjian magang baru dengan sepengetahuan dari Dinas Ketenagakerjaan setempat.

Tetapi fakta yang ditemui Tirto di lapangan justru sebaliknya.

Kelonggaran usia dan masa magang menjadi celah manis bagi LPK-LPK nakal untuk bermain. Nasib para pencari kerja yang sudah memiliki pengalaman terjebak dalam status magang.

Dul, salah satunya. Mantan pekerja di perusahaan rekanan Pertamina ini terbelit kontrak magang selama setahun dengan PT Cikarang Nusantara.

Perusahaan yang disebutkan terakhir mengklaim diri sebagai Lembaga Pelatihan Kerja tetapi peran sesungguhnya sebagai penyalur tenaga kerja. Dul dimagangkan di PT Setia Guna Sejahtera, vendor dari Yamaha Motor.

“Umur saya 22 tahun, masih magang. Padahal sudah punya pengalaman kerja. Tapi ya gimana lagi, kita butuh kerja, magang saja enggak apa-apa,” ujar Dul.

Parahnya lagi, untuk bisa mendapatkan status magang itu, Dul harus mengeluarkan Rp5 juta sebagai uang “administrasi” ke PT Cikarang Nusantara. Uang sakunya pun dipotong.

Selain menguntungkan penyalur tenaga kerja, status tenaga magang yang bekerja lebih dari setahun menguntungkan perusahaan.

Perusahan-perusahaan tidak perlu membayar mahal tenaga buruh. Apalagi, dalam salah satu pasal dari peraturan magang itu, tenaga magang diperbolehkan hingga 30 persen dari jumlah pekerja di perusahaan.

Longgarnya aturan itu diperparah dengan minimnya pengawasan. Sebab pengawas ketenagakerjaan kini ditarik ke tingkat provinsi, tidak lagi kabupaten.

Sebagaimana dituturkan oleh Mei dan Dul, mereka terjebak dalam lingkaran parasit LPK yang bertindak sebagai agen penyalur tenaga kerja dan bahkan perusahaan outsourcing. LPK-LPK ini dengan mudah memindah "peserta magang" pada bidang kerja yang berbeda-beda dan perusahaan yang beda pula.

Aturan dan praktik magang ini, yang kami temui di kawasan industri Bekasi, menyeret buruh bekerja dalam keadaan rentan, membuat sebagian angkatan kerja di Indonesia menjadi budak magang sepanjang hidupnya.

PERSYARATAN PENYELENGGARA PEMAGANGAN

Magang dan Pemagangan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Dalam Peraturan Menteri ini, ditentukan berbagai persyaratan bagi perusahaan yang akan menyelenggarakan Program Pemagangan.

Persyaratan Pertama; perusahaan yang akan menyelenggarakan program pemagangan harus memiliki Unit Pelatihan. Unit pelatihan tersebut harus memiliki: a. susunan kepengurusan unit pelatihan; b. tenaga pelatihan dan Pembimbing Pemagangan yang berasal dari karyawan perusahaan yang kompeten; c. ruangan teori dan praktik; dan d. skema program pemagangan yang akan diselenggarakan. Dan, Peserta pemagangan yang dapat diterima paling banyak 30% (tiga puluh persen} dari jumlah karyawan.

Persyaratan Kedua; perusahaan yang akan menyelenggarakan Pemagangan harus memiliki program pemagangan yang berisi: a. nama program pemagangan; b. tujuan program pemagangan; c. kompetensi yang akan ditempuh; d. perkiraan waktu pemagangan, yang dibatasi paling lama 1 (satu) tahun sejak ditandatangani Perjanjian Pemagangan. Dalam hal untuk mencapai kualifikasi kompetensi tertentu akan memerlukan waktu lebih dari 1 (satu) tahun, maka harus dituangkan dalam Perjanjian Pemagangan baru dan dilaporkan kepada Dinas Kabupaten/Kota setempat; e. persyaratan peserta pemagangan; f. persyaratan Pembimbing Pemagangan; dan g. kurikulum dan silabus.

Program pemagangan tersebut harus mengacu pada: a. SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia); b. Standar Kompetensi Kerja Khusus; dan/atau c. Standar Kompetensi Kerja Internasional.

Program pemagangan harus disusun oleh Penyelenggara Pemagangan itu sendiri, yang meliputi: a. pemberian teori dan praktik di Unit Pelatihan; dan b. praktik kerja di unit produksi perusahaan. Pemberian teori dilaksanakan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari komposisi program pemagangan; dan Praktik kerja dilaksanakan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari komposisi program pemagangan.

Persyaratan Ketiga; Penyelenggara Pemagangan harus memiliki sarana dan prasarana, yakni: a. ruang teori; b. ruang simulasi/praktik; c. kelengkapan alat keselamatan dan kesehatan kerja; dan d. buku kegiatan (logbook) bagi peserta pemagangan yang disusun dengan Format yang ditetapkan oleh Menteri.

Persyaratan Keempat; harus ada Pembimbing Pemagangan yang memenuhi persyaratan: a. karyawan tetap; b. sehat jasmani dan rohani; c. memiliki kompetensi teknis dalam jabatan yang sesuai dengan program pemagangan; d. memiliki kompetensi metodologi pelatihan; e. surat penunjukan pembimbing dari manajer personalia atau di atasnya; dan f. memahami regulasi pemagangan.

Persyaratan Kelima; Penyelenggara Pemagangan yang akan melaksanakan penyelenggaraan pemagangan wajib memberitahukan secara tertulis rencana penyelenggaraan pemagangan kepada: a. Direktur Jenderal untuk penyelenggaraan pemagangan lintas provinsi; atau b. Kepala dinas provinsi untuk penyelenggaraan pemagangan lintas kabupaten/kota dalam satu wilayah provinsi; atau c. Kepala dinas kabupaten/kota untuk penyelenggaraan pemagangan dalam satu wilayah kabupaten/kota, dengan melampirkan: a. program pemagangan; b. rencana penyelenggaraan pemagangan; dan c. rancangan Perjanjian Pemagangan.

Persyaratan Keenam; Waktu penyelenggaraan Pemagangan di Perusahaan disesuaikan dengan jam kerja di Perusahaan, dan TIDAK DIPERBOLEHKAN pada jam kerja lembur, hari libur resmi, dan malam hari.

Jika keenam persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka sangat patut diduga telah terjadi praktik penyelundupan Status Pekerja dengan KEDOK PESERTA MAGANG ATAU PEKERJA MAGANG yang sangat merugikan tenaga kerja. Apabila terbukti telah terjadi pelanggaran atas persyaratan-persyaratan tersebut, maka perusahaan yang bersangkutan patut diperkarakan.

PERJANJIAN PEMAGANGAN

Dalam Pasal 22 UUK tahun 2003 junto Permenaker No. 36 tahun 2016 mengatur bahwa, pemagangan dapat dilaksanakan apabila telah dibuat Perjanjian Pemagangan antara Peserta (BUKAN PEKERJA) dengan pengusaha secara tertulis.

Dalam perjanjian tersebut sekurang-kurangnya memuat ketentuan: a. hak dan kewajiban PESERTA; b. hak dan kewajiban Pengusaha; c. jangka waktu pemagangan; d. jenis program pemagangan; e. kualifikasi yang akan dicapai sesuai dengan kurikulum dan silabus yang telah disusun.

Hak Peserta Magang, antara lain: a. memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja; b. memperoleh bimbingan dari pembimbing pemagangan; c. memperoleh sertifikat pemagangan apabila lulus; d. memperoleh uang saku; dan e. memperoleh perlindungan dalam bentuk asuransi kecelakaan kerja dan kematian akibat kerja yang preminya dibayarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perjanjian Pemagangan tersebut harus diketahui dan disahkan oleh Dinas Kabupaten/Kota setempat; dan pengesahan tersebut harus selesai dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja. Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disahkan maka Perjanjian Pemagangan dapat dilaksanakan.

Apabila diketahui bahwa Perjanjian Pemagangan tidak disahkan dalam waktu 3 hari kerja atau disahkan telah melampui 3 hari kerja, maka sudah sepatutnya Kepala Dinas Ketenagakerjaan setempat dilaporkan kepada instansi yang berwenang untuk diambil tidakan hukum karena telah lalai menjalankan tugasnya yang dapat berakibat timbulnya kerugian khususnya bagi Peserta Magang.

Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan, dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan. Dengan perubahan status tersebut, pekerja berhak atas segala hal yang diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.

Perlu dicatat. Yang mengikuti program pemagangan adalah Peserta – bukan Pekerja. Oleh karena itu, apabila dalam Perjanjian Pemagangan tertulis “Perjanjian Pemagangan Antara PEKERJA MAGANG dengan Pengusaha…..”, maka sesungguhnya demi hukum tidak ada Perjanjian Pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasala 22 ayat (3) UUK tahun 2003. Dengan demikian peserta yang bersangkutan demi hukum menjadi pekerja dari perusahaan yang bersangkutan.

Spoiler for Sumber :
Diubah oleh 69farhan 01-01-2021 02:42
0
1.1K
1
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan