- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Gadis Belanda Bergaun Merah


TS
rizadwi88
Gadis Belanda Bergaun Merah
Aku beserta keluarga baru saja pindah ke luar kota. Meninggalkan rumah lama beserta seluruh kenangan manisnya, bukan hal mudah bagiku. Apalagi harus dipaksa tinggal di sebuah rumah kosong, peninggalan nenek buyut dari pihak ibu, yang terletak di kampung terpencil.
Benar-benar pengalaman yang tak mengenakkan untukku.
Lain halnya dengan Thalia, saudara kembarku. Dia tampak sangat antusias, saat mengetahui akan pindah ke tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota besar. Ya pantas saja, bukankah hal semacam itu memang sesuai dengan kepribadian seorang yang introvert.
Aku mendengkus kesal.
Rumah yang baru ditempati satu mingguan ini, dulunya kosong hampir selama dua puluh tahun. Kondisinya tak terlalu menyedihkan sebenarnya, mengingat masih ada kerabat yang rajin membersihkan dan merapikan tempat ini. Hanya saja, aku tak suka suasananya yang terlampau sepi.
Aku duduk termangu di teras. Menatap nanar derai hujan yang membasahi halaman. Aroma petrikor menguar, membuat perasaan menjadi sedikit tenang.
Kusendok es krim dari wadah besarnya. Dingin. Manis. Rasa vanilla bercampur coklat.
Aneh, ya?
Hujan-hujan seperti ini, aku malah asyik menyuap es krim yang dingin.
Tapi, memang seperti inilah diriku. Saat mood kacau, aku melampiaskannya pada es krim. Tak peduli hujan, atau musim salju sekalipun.
Aku terkekeh pelan.
Tawa ini terdiam, saat mataku menumbuk sosok yang tengah berjalan menembus hujan. Tanpa payung.
Dahiku berkerut.
Sungguh suatu hal yang tak lazim. Bukan tentang bagaimana dia berjalan di tengah hujan deras tanpa payung. Tapi, pakaian yang dikenakan sosok itu sungguh mencolok. Gaun pengantin warna merah marun. Lengkap dengan riasan khas pengantin perempuan Eropa. Rambutnya juga pirang.
"Kau melihatnya juga?" Sebuah suara berhasil membuatku terlonjak kaget.
Kupalingkan wajah ke samping kanan.
Tampak seorang wanita tua, berpakaian kebaya sederhana warna coklat garis-garis hitam. Rambut digelung. Paras keibuan nan kalem.
Entah mengapa, bibir ini rasanya kelu. Tak ada sepatah kata pun mampu terucap untuk menimpali pertanyaan beliau tadi.
"Maaf, kalau mengagetkanmu, Cah ayu. Kenalkan, aku Mbok Yem. Simbok tinggal di situ." Dia menunjuk sebuah rumah lawas yang ada di seberang jalan.
Aku hanya mengangguk pelan. Rasa aneh masih menyelimuti diri ini.
"Apa kau melihat pengantin wanita dengan gaun merah itu?"
Lagi-lagi, aku hanya mengangguk.
"Wah, sepertinya kau kurang beruntung, Nduk."
Aku mengangkat alisku.
"Wanita itu, Nona Laurent. Asli Belanda. Dia beserta keluarga besarnya tinggal di rumah gedongan ujung jalan. Apa kau pernah melihat rumahnya?"
Aku menggeleng.
Sial!
Kenapa aku tak bisa berbicara sedikitpun?!
"Nona Laurent selain cantik, dia juga sangat baik orangnya. Banyak yang jatuh hati padanya. Tak sedikit pula pria yang langsung melamarnya, karena sudah terlanjur mencintainya. Tapi, Nona Laurent sudah menjatuhkan pilihan pada seorang pribumi. Pria sederhana dari kampung sebelah …."
Mbok Yem berhenti sejenak. Tatapannya sendu.
"Sehari menjelang pernikahan, ada kabar buruk. Calon suami Nona Laurent tewas dibunuh seseorang yang tak terima cintanya ditolak gadis Belanda itu …."
Aku tersentak kaget.
"Nona Laurent sangat terpukul. Depresi. Hingga akhirnya, dengan memakai gaun pengantin merahnya, Nona Laurent memilih gantung diri, di sore hari saat hujan deras. Tepatnya, lima puluh tahun yang lalu …."
Mata ini membelalak lebar. Detak jantungku berhenti seketika.
Jadi … wanita tadi hantu?!
Oh, sial!
"Ada mitos di desa ini, Nduk. Barang siapa yang tanpa sengaja melihat penampakan Nona Laurent dengan gaun pengantin merah berjalan di tengah hujan deras, maka … orang tersebut pasti akan meninggal tiga hari kemudian …."
Aku menelan ludah yang terasa kering.
Mati aku!
Mbok Yem terkekeh pelan. "Tenanglah, Nduk … itu hanya mitos. Tak akan benar-benar terjadi pada jaman canggih seperti saat ini, bukan? Kau tak akan mati dengan cepat, hanya karena melihat hantu tanpa sengaja. Hehehe …."
Aku nyengir.
"Sedang apa kamu, Nduk?" Budhe Lastri menyapaku dari dalam rumah.
Aku menoleh. Tersenyum sekilas pada kerabat tertua ibuku itu.
"Eh, ini … lagi ngobrol-ngobrol sama Mbok Yem, Budhe …."
Eh, akhirnya aku bisa bicara juga?!
Aku menghela napas lega.
Budhe Lastri tampak terkejut mendengar ucapanku.
"Siapa, Nduk? Mbok Yem?"
Aku mengangguk. "Iya, ini Mbok Ye- … eh, kok ngilang? Kemana perginya dia? Mbok? Mbok Yem? Kemana, sih?"
Budhe duduk di sebelahku dan mengusap lembut pundak ini.
Aku menoleh sejenak dan mendapati raut wajah beliau terlihat agak aneh.
"Mbok Yem yang kamu maksud itu, pakai kebaya sederhana coklat dengan motif garis-garis? Rambutnya digelung?"
Aku mengangguk cepat.
Budhe menghela napas berat.
"Emm … anu, Nduk … ini kamu mau percaya atau endak, ya terserah. Tapi, orang yang kamu maksud itu … dia …."
"Dia kenapa, Budhe?" Perasaanku mulai tak enak.
"Dia … sudah meninggal, Nduk …."
Aku membelalakkan mataku lebar-lebar. "A-apaaa?!"
"Mbok Yem sudah meninggal sekitar lima tahunan yang lalu. Gantung diri di pohon nangka belakang rumahnya itu."
Badanku seketika gemetaran. Tenggorokan rasanya tercekat.
"Budhe bohong, 'kan?"
Wanita itu menggeleng.
"Be-berarti yang a-aku lihat tadi itu … han-hantuu?!"
Budhe mengangguk pelan.
"Kabarnya, tiga hari sebelum Mbok Yem gantung diri, dia bercerita kalau sempat melihat penampakan arwah Nona Laurent, gadis Belanda bergaun pengantin merah yang mati bunuh diri. Mitos yang beredar di desa ini, jika ada yang melihat penampakan arwahnya saat hujan deras di sore hari, tiga hari kemudian orang tersebut akan mati gantung diri. Itu bukan hanya isapan jempol, loh, Nduk. Mbok Yem salah satu dari sembilan puluh orang yang telah membuktikannya."
Dadaku mendadak terasa sesak.
"Budhe harap, kau tak pernah melihat arwah Nona Laurent, Nduk …."
Hatiku mencelos. Lutut ini lemas, bagai tak bertulang.
"I did …," bisikku lirih.
#end
Sidoarjo, 07-12-2020
Benar-benar pengalaman yang tak mengenakkan untukku.
Lain halnya dengan Thalia, saudara kembarku. Dia tampak sangat antusias, saat mengetahui akan pindah ke tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota besar. Ya pantas saja, bukankah hal semacam itu memang sesuai dengan kepribadian seorang yang introvert.
Aku mendengkus kesal.
Rumah yang baru ditempati satu mingguan ini, dulunya kosong hampir selama dua puluh tahun. Kondisinya tak terlalu menyedihkan sebenarnya, mengingat masih ada kerabat yang rajin membersihkan dan merapikan tempat ini. Hanya saja, aku tak suka suasananya yang terlampau sepi.
Aku duduk termangu di teras. Menatap nanar derai hujan yang membasahi halaman. Aroma petrikor menguar, membuat perasaan menjadi sedikit tenang.
Kusendok es krim dari wadah besarnya. Dingin. Manis. Rasa vanilla bercampur coklat.
Aneh, ya?
Hujan-hujan seperti ini, aku malah asyik menyuap es krim yang dingin.
Tapi, memang seperti inilah diriku. Saat mood kacau, aku melampiaskannya pada es krim. Tak peduli hujan, atau musim salju sekalipun.
Aku terkekeh pelan.
Tawa ini terdiam, saat mataku menumbuk sosok yang tengah berjalan menembus hujan. Tanpa payung.
Dahiku berkerut.
Sungguh suatu hal yang tak lazim. Bukan tentang bagaimana dia berjalan di tengah hujan deras tanpa payung. Tapi, pakaian yang dikenakan sosok itu sungguh mencolok. Gaun pengantin warna merah marun. Lengkap dengan riasan khas pengantin perempuan Eropa. Rambutnya juga pirang.
"Kau melihatnya juga?" Sebuah suara berhasil membuatku terlonjak kaget.
Kupalingkan wajah ke samping kanan.
Tampak seorang wanita tua, berpakaian kebaya sederhana warna coklat garis-garis hitam. Rambut digelung. Paras keibuan nan kalem.
Entah mengapa, bibir ini rasanya kelu. Tak ada sepatah kata pun mampu terucap untuk menimpali pertanyaan beliau tadi.
"Maaf, kalau mengagetkanmu, Cah ayu. Kenalkan, aku Mbok Yem. Simbok tinggal di situ." Dia menunjuk sebuah rumah lawas yang ada di seberang jalan.
Aku hanya mengangguk pelan. Rasa aneh masih menyelimuti diri ini.
"Apa kau melihat pengantin wanita dengan gaun merah itu?"
Lagi-lagi, aku hanya mengangguk.
"Wah, sepertinya kau kurang beruntung, Nduk."
Aku mengangkat alisku.
"Wanita itu, Nona Laurent. Asli Belanda. Dia beserta keluarga besarnya tinggal di rumah gedongan ujung jalan. Apa kau pernah melihat rumahnya?"
Aku menggeleng.
Sial!
Kenapa aku tak bisa berbicara sedikitpun?!
"Nona Laurent selain cantik, dia juga sangat baik orangnya. Banyak yang jatuh hati padanya. Tak sedikit pula pria yang langsung melamarnya, karena sudah terlanjur mencintainya. Tapi, Nona Laurent sudah menjatuhkan pilihan pada seorang pribumi. Pria sederhana dari kampung sebelah …."
Mbok Yem berhenti sejenak. Tatapannya sendu.
"Sehari menjelang pernikahan, ada kabar buruk. Calon suami Nona Laurent tewas dibunuh seseorang yang tak terima cintanya ditolak gadis Belanda itu …."
Aku tersentak kaget.
"Nona Laurent sangat terpukul. Depresi. Hingga akhirnya, dengan memakai gaun pengantin merahnya, Nona Laurent memilih gantung diri, di sore hari saat hujan deras. Tepatnya, lima puluh tahun yang lalu …."
Mata ini membelalak lebar. Detak jantungku berhenti seketika.
Jadi … wanita tadi hantu?!
Oh, sial!
"Ada mitos di desa ini, Nduk. Barang siapa yang tanpa sengaja melihat penampakan Nona Laurent dengan gaun pengantin merah berjalan di tengah hujan deras, maka … orang tersebut pasti akan meninggal tiga hari kemudian …."
Aku menelan ludah yang terasa kering.
Mati aku!
Mbok Yem terkekeh pelan. "Tenanglah, Nduk … itu hanya mitos. Tak akan benar-benar terjadi pada jaman canggih seperti saat ini, bukan? Kau tak akan mati dengan cepat, hanya karena melihat hantu tanpa sengaja. Hehehe …."
Aku nyengir.
"Sedang apa kamu, Nduk?" Budhe Lastri menyapaku dari dalam rumah.
Aku menoleh. Tersenyum sekilas pada kerabat tertua ibuku itu.
"Eh, ini … lagi ngobrol-ngobrol sama Mbok Yem, Budhe …."
Eh, akhirnya aku bisa bicara juga?!
Aku menghela napas lega.
Budhe Lastri tampak terkejut mendengar ucapanku.
"Siapa, Nduk? Mbok Yem?"
Aku mengangguk. "Iya, ini Mbok Ye- … eh, kok ngilang? Kemana perginya dia? Mbok? Mbok Yem? Kemana, sih?"
Budhe duduk di sebelahku dan mengusap lembut pundak ini.
Aku menoleh sejenak dan mendapati raut wajah beliau terlihat agak aneh.
"Mbok Yem yang kamu maksud itu, pakai kebaya sederhana coklat dengan motif garis-garis? Rambutnya digelung?"
Aku mengangguk cepat.
Budhe menghela napas berat.
"Emm … anu, Nduk … ini kamu mau percaya atau endak, ya terserah. Tapi, orang yang kamu maksud itu … dia …."
"Dia kenapa, Budhe?" Perasaanku mulai tak enak.
"Dia … sudah meninggal, Nduk …."
Aku membelalakkan mataku lebar-lebar. "A-apaaa?!"
"Mbok Yem sudah meninggal sekitar lima tahunan yang lalu. Gantung diri di pohon nangka belakang rumahnya itu."
Badanku seketika gemetaran. Tenggorokan rasanya tercekat.
"Budhe bohong, 'kan?"
Wanita itu menggeleng.
"Be-berarti yang a-aku lihat tadi itu … han-hantuu?!"
Budhe mengangguk pelan.
"Kabarnya, tiga hari sebelum Mbok Yem gantung diri, dia bercerita kalau sempat melihat penampakan arwah Nona Laurent, gadis Belanda bergaun pengantin merah yang mati bunuh diri. Mitos yang beredar di desa ini, jika ada yang melihat penampakan arwahnya saat hujan deras di sore hari, tiga hari kemudian orang tersebut akan mati gantung diri. Itu bukan hanya isapan jempol, loh, Nduk. Mbok Yem salah satu dari sembilan puluh orang yang telah membuktikannya."
Dadaku mendadak terasa sesak.
"Budhe harap, kau tak pernah melihat arwah Nona Laurent, Nduk …."
Hatiku mencelos. Lutut ini lemas, bagai tak bertulang.
"I did …," bisikku lirih.
#end
Sidoarjo, 07-12-2020






redbarong dan 15 lainnya memberi reputasi
16
2.9K
37


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan