Kaskus

News

i.am.legend.Avatar border
TS
i.am.legend.
Pengamat: 'How Democracies Die' Sindiran Anies untuk Oligarki
Pengamat: 'How Democracies Die' Sindiran Anies untuk Oligarki

Pengamat: 'How Democracies Die' Sindiran Anies untuk Oligarki

Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat politik dari Universitas Andalas Asrinaldi menangkap kode sindiran untuk penguasa di balik foto Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membaca buku berjudul How Democracies Die.

Menurutnya, sindiran itu menjadi relevan bila pesan yang ingin diambil Anies dari buku How Democracies Die ialah terkait demokrasi di tangan tokoh otoriter yang berubah menjadi kekuatan menakutkan dan alat untuk memperkuat kekuasaan.

"Kalau itu pesan yang ingin diambil Anies, jelas bagi saya itu sindiran bahwa naiknya kekuasaan, penguasa kita dengan isu populisme dan seterusnya, tapi setelah mereka menjabat demokrasi itu dibungkam, kebebasan tidak ada lagi. Pesannya itu barangkali secara simbolik sindiran untuk penguasa," kata Asrinaldi kepada CNNIndonesia.com, Minggu (22/11).

How Democracies Die merupakan buku karya seorang ilmuwan politik lulusan Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, yang terbit pada 16 Januari 2018 lalu.

Buku yang diketahui mempunyai tebal 380 halaman itu menggambarkan cara seorang pemimpin yang terpilih memiliki sumber daya serta akses mengubah proses demokrasi untuk memperkuat cengkraman kekuasaan secara perlahan di masyarakat.

Asrinaldi menilai langkah Anies mengunggah foto tersebut bukan berarti tengah menyasar sindiran ke Presiden Joko WIdodo. Menurut dia, unsur penguasa dalam pemerintahan di Indonesia tidak hanya terdiri dari Jokowi sebagai presiden saja.

"Kita tahu bahwa kekuasaan pemerintah kita ada oligarkinya, tidak hanya Jokowi. Sehingga pesan langsungnya kepada oligarki-oligarki," katanya.

Anies belakangan menjadi sorotan karena tak bisa mencegah kerumunan massa Rizieq Shihab di Petamburan. Anies sampai dipanggil polisi untuk mengklarifikasi kegiatan yang melanggar protokol kesehatan tersebut.

Asrinaldi menilai sikap pemerintah pusat dalam menyikapi kebijakan Anies usai Rizieq pulang dari Arab Saudi ke Indonesia berlebihan. Menurutnya, pemerintah pusat seperti ketakutan Anies akan mendapatkan dukungan berupa kartu truf untuk maju sebagai capres di Pilpres 2024 mendatang.

Menurutnya, sikap pemerintah pusat seharusnya tidak demikian mengingat penyelenggaraan Pilpres 2024 masih lama.

"Berlebihan dan terlalu blow up, semacam fobia ketakutan tidak menentu, seolah dengan dekatnya Anies ini, Anies dapat dukungan, dapat kartu truf untuk maju presiden. Terlalu cepat, semua bisa berubah," kata Asrinaldi.

Anies mengungga foto tengah membaca buku How Democracies Die di akun Instagram miliknya, @aniesbaswedan.

Buku itu memaparkan bagaimana berbagai cabang pemerintahan dalam suatu sistem dengan pemisahan kekuasaan mendapat legitimasi untuk melemahkan kelompok lain atau oposisi.

'How Democracies Die' diketahui dibuat untuk meneliti dinamika politik dalam negeri dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016, serta dinamika politik semasa pemerintah Presiden Donald Trump.
sumber

********

Pengamat: 'How Democracies Die' Sindiran Anies untuk Oligarki

Berpura-pura bodoh versus berpura-pura pintar, mana yang lebih ampuh? Ternyata berpura-pura pintar itulah yang sebenarnya ampuh, terutama bagi mereka yang terbiasa dibuai oleh kosakata yang panjang, indah, dan rumit, seseorang yang berpura-pura pintar bisa jadi idola pujaan hati.

Ini mirip seperti seseorang yang bodoh dan mudah ditipu, ketika dihadapkan pada 2 buah lukisan, naturalis dan abstrak. Seekor binatang tak akan mungkin bisa membuat sebuah lukisan naturalis yang mirip dengan aslinya. Tapi jika membuat sebuah lukisan abstrak, seekor binatang mampu membuatnya. Dan ketika seseorang yang ingin sekali mendapat pujian sebagai penikmat seni yang tinggi cita rasanya, diapun memilih lukisan abstrak yang penuh coretan warna tanpa makna, tapi dikomentari panjang lebar sebagai lukisan berkelas, punya makna dalam, padahal tanpa sepengetahuan dia, seekor monyetlah yang melukis itu semua dengan diarahkan oleh seorang manusia.

Penggambaran diatas, bolehlah jika ingin dipersamakan dengan sekelompok orang yang ditipu oleh seekor monyet yang sebenarnya tak bisa apa-apa, yang sesungguhnya hanya diperalat oleh seseorang yang licik. Sekelompok orang yang terkagum-kagum oleh seekor monyet yang hanya bisa ngoceh yang dilatih oleh pelatih tua yang profesional.

Nah, bicara tentang sebuah buku, kita sering diingatkan bahwa kita jangan hanya menilai isi buku dari sampul depannya saja, sebab terkadang isinya bisa menipu, berbeda dengan apa yang tertulis di sampul depan. Buku yang berjudul "Seorang Pendemo", bisa saja isinya adalah cerita tentang seseorang yang bekerja sebagai tukang demo keliling yang menjajakan panci ajaib.

Demokrasi bukanlah berdagang agama. Demokrasi bukan bermain isu sara. Demokrasi bukan menebar ancaman ayat dan mayat. Demokrasi adalah menjunjung tinggi keberagaman diluar batas agama. Politik identitas jelas bukan sebuah demokrasi. Justru politik identitas mematikan demokrasi itu sendiri. Lalu alangkah lucunya ketika pelaku politik identitas berbicara tentang demokrasi. Alangkah aneh dan tak tahu dirinya ketika pelaku politik identitas berbicara tentang kematian demokrasi.

Demokrasi jelas tidak membatasi mana orang jujur, mana orang munafik. Tapi ketika seseorang menjilat ludah yang telah jatuh ketanah hanya untuk menghiba dukungan, maka itulah sehina-hinanya orang. Ketika seseorang yang sesumbar tak ingin pulang sebelum orang yang dibencinya tak menjabat, tetapi akhirnya pulang juga karena diusir, maka itulah sehina-hinanya orang.

Dan di Indonesia, kita pernah disuguhi sebuah pertunjukan yang memalukan. Ketika sebuah perhelatan besar yang dilihat dunia, ada seseorang oportunis yang tersingkir merangkul sebuah kelompok arogan, maka sudah terpikirkan kala itu, jika seseorang ini menang, dia akan selamanya tunduk pada kemauan kelompok arogan ini. Tak akan punya nyali untuk menolak, menegur, atau menghukum. Dan hal itu terbukti benar.

Bayangkan jika perhelatan itu adalah sebuah pemilihan pemimpin negeri. Akan seperti apa negeri ini. Bisa jadi alat ketertiban dan alat pertahanan tak akan berdaya.

Ini akan mengerikan dampaknya.
Masihkah berpikir bahwa semua ini hanya sebatas gambar dan tulisan yang dimuat dalam sebuah baliho?

Padahal sesungguhnya perang ideologi, perang opini, bisa memelencengkan tujuan bangsa ini. Dan itu bisa dimulai dari sebuah baliho yang dibiarkan oleh seekor monyet yang dilatih oleh seseorang yang licik.

Demikian.


pisgedongAvatar border
RibaoAvatar border
evywahyuniAvatar border
evywahyuni dan 21 lainnya memberi reputasi
18
3.3K
79
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan