Mengenal kembali partai Masyumi yang akan di hadirkan kembali oleh para inisiator KAMI.
Cikal bakal partai masyumi di Indonesia tidak terlepas dari berdirinya sebuah keorganisasian umat muslim yaitu Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)
Sebenarnya partai Masyumi terbagi dua generasi.
Masyumi 1943 dan Masyumi 1945.
Partai Masyumi(Majelis Syuro Muslimin Indonesia)1943 di huni oleh ulama-ulama termashyur di Indonesia seperti K.H. Hasyim Asyari dan K.H. Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah.
Di era ini partai Masyumi 1943 lebih fokus tuk berjuang demi kemerdekaan Indonesia.
Partai Masyumi 1945 barulah mereka terjun ke dunia politik sepenuhnya.
Banyak kader partai Masyumi duduk di pemerintahan sebagai petinggi elit negeri ini.
Sayang umurnya tidak panjang dan berakhir di tahun 1960 karena di bubarkan oleh Presiden Soekarno karena terlibatnya para tokoh utama Masyumi yaitu M. Natsir, Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Burhanoeddin Harahap dalam pemberontakan PRRI(Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).

Tujuan partai Masyumi jelas ingin Indonesia berazaskan syariat agama islam di kehidupan masyarakatnya.
Namun yang perlu di garis bawahi mereka tetap memperbolehkan golongan agama lain tuk menyuarakan aspirasi politik berdasarkan ideologinya.
Partai Masyumi sendiri adalah musuh bebuyutan partai Komunis Indonesia saat itu.
Paham agamais versus paham sosialis.
Yang satu menjadikan agama sebagai sentral kehidupan sedangkan yang satu mengesampingkan agama dalam kehidupan.

Namun menyimak peristiwa Piagam Jakarta sebenarnya ada gesekan halus yang terjadi antara mereka dengan kaum nasionalis.
Beberapa tokoh Masyumi sedikit menyimpan kejengkelan di peristiwa tersebut akibat hilangnya tujuh kata(
"Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi Ketuhanan yang maha esa").
Setuju dan memaklumi namun ada pertentangan di dalam hati.

Yang menjadi pertanyaannya sekarang mampukah partai Masyumi 2020 mampu berbicara banyak di perpolitikan Indonesia.
Kalau dahulu dengan adanya ulama-ulama besar berada di dalamnya jelas merupakan faktor kuat tuk mendulang suara dan kekuatan politik.
Namun ada catatan kecil menjelang akhir perjalanan sebelum tahun pembubaran 1960 .
Partai Masyumi 1945 mulai terpecah kader-kader di dalamnya.
NU dan Muhamadiyah keluar dari partai tersebut walau tidak begitu signifikan mengganggu suara partai Masyumi akan tetapi mulai banyak perbedaan yang tak mampu di satukan kembali.
Puncaknya beberapa elite Masyumi melakukan pemberontakan.
Menurut sejarah pemberontakan ini sebenarnya tidak begitu mengarah ke revolusi namun lebih ke perang antara daerah dan pusat soal otonomi daerah.
Namun karena Indonesia baru merdeka situasinya masih belum sehat benar tuk melakukan perubahan-perubahan yang besar.

Partai Bulan dan Bintang pun yang melanjutkan trah partai Masyumi tidak dapat berbicara banyak di kontestasi politik.
Belum lagi menurunnya perolehan suara partai-partai agamais beberapa tahun ini.
Ada signal bahwa partai berideologikan agama kurang di minati masyarakat.
Mungkin ada kekecewaan dengan maraknya korupsi yang di lakukan oleh oknum partai agamais yang menawarkan kemuliaan akhlak bersandarkan agama namun ternyata banyak yang mengkhianati ajarannya.
Sungguh berat sebenarnya beban partai agamais karena akhlak dan moral harus terus di jaga terhadap para kadernya.
Partai Masyumi 2020 harus paham itu.
Apalagi masih terus menggaungkan persoalan lama yang telah terkubur sebagai modal perjuangan.
Menurut jaman sudah tidak laku lagi.
Antara bosan dan jengah karena setiap tahun hanya itu-itu saja yang selalu di hebohkan
Partai Masyumi 2020 harus membawa dan menawarkan angin segar dan baru sebagai modal maju di kancah perpolitikan.
Kalau tidak mampu takutnya menjadi partai layu sebelum berkembang.