- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Empat Organisasi Keagamaan Tolak Omnibus Law


TS
mr.khonthol
Empat Organisasi Keagamaan Tolak Omnibus Law
Quote:

Empat organisasi besar keagamaan di Indonesia, yakni Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persekutuan Greja-greja Indonesia (PGI) dan Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah Indonesia)menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang lazim disebut Omnibus Law-Cipta Kerja.
Hal ini diungkapkan dalam “Diskusi Reforma Agraria” bertajuk “RUU Cipta Kerja dalam Kacamata Agama” yang diselenggarakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Selasa, 28 April 2020.
Diskusi yang berlangsung secara daring tersebut, menghadirkan M. Busyro Muqoddas (PP Muhammadiyah), M. Maksum Machfoedz (PBNU), Jhony Simanjuntak (PGI) dan Sampurno Sejati dari Peradah Indonesia sebagai pembicara.
Mengawali diskusi, Maksum Machfoedz mencoba melihat keberadaan dan substansi RUU ini di bidang agraria. Ia mengatakan RUU Cipta Kerja cenderung menghambat orang mencari makan, karna ruang hidup, tanah dan lahan pertanian tidak diberikan kepada petani sehingga mereka kesulitan mendapatkan pangan.
Hal ini bukan hanya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD), tapi juga bertentangan dengan Al-Qur’an,” Ujarnya.
Ia mengutip Ibnu Qayyim dengan mengatakan tidak ada pernah kedamaian di dunia dan akhirat kecuali berlandaskan keadilan.
“Jadi keadilan yang diajarkan Kyai Ahmad Dahlan, Ibnu Qayyim dan KH. Hasyim Anshari, itu luar biasa dan harus menjadi intisari bagaimana kita menelaah Omnibu Law ini,” tambahnya.
Maksum juga mengkritisi proses pembahasan RUU ini yang tidak partisipatif apalagi di bahas dalam situasi krisis akibat pandemi corona.
Makan saja tidak bisa, diajak diskusi RUU, semua pekerjaan diblokir, di-PHK. Proteksi berlebihan terhadap kapitalis dan investor asing dengan mengorbankan rakyat, masyarakat adat, petani, nelayan, fakir miskin dan masyarakat rentan lainnya dalam kerentanan ekonomi yang luar biasa. Ini sangat tidak layak dan tidak manusiawi, padahal mereka korban yang paling depan,” ucap Maksum.
“Kita diingatkan Wa Syaawirhum Fiil Amri, bermusyawarahlah dalam segala urusan. Apalagi ini urusan rakyat. Syuuraa Baynahum, bermusyawarah dengan orang-orang di antara mereka. Ini yang punya persoalan, yang punya hajat, tidak pernah diajak omong,” Maksum melanjutkan.
Ia juga mengingatkan bahwa negara ini tidak akan pernah memperoleh stabilitas ekonomi tanpa memperhatikan petani. Sementara saat ini, petani miskin karna kebijakan negara ditambah sekarang negara mau melanggengkan kemiskinan itu dengan proteksi berlebihan terhadap investor. Ini merupakan kedzaliman,” Maksum menegaskan.
Tidak jauh berbeda, Busyro Muqoddas mengatakan jika RUU Cipta Kerja konsisten dengan UUD 1945, maka isinya tidak akan berantakan seperti sekarang. Ini yang melahirkan penolakan dari berbagai kalangan, dari kampus, aktivis, NGO, termasuk KPA,” tutur Busyro.
Jika kami, dari masyarakat sipil ini semuanya dan ormas agama sudah hadir dan memberikan pandangan sebaiknya pemerintah menarik kembali naskah itu”, Busyro menegaskan.
Meskipun bukan negara agama, tapi agama di Indonesia merupakan roh, karna keputusan-keputusan yang diambil juga berdasarkan nilai-nilai agama,” katanya.
Busyro menjelaskan, Muhammadiyah sudah melaksanakan konferensi pers bersama wakil dari 26 NGO dan guru besar, menolak dengan tegas Omnibus Law. Konferensi pers tersebut dilanjutkan dengan diskusi terfokus dengan 40 Desa Fakultas Hukum se-Indonesia dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH).
Lebih lanjut, ia mengatakan tujuan agama secara universal bisa ditarik dari nilai-nilai intrinsik, nilai leluhur yang ada di dalam Surat Al-Maun. Fawailul lil musallin, ayat ini mengandung nilai simbolik, artinya ketika masyarakat mengalami proses pemiskinan, nasibnya seperti anak yatim piatu yang lemah. Kewajiban negara harus memberikan proteksi kepada rakyat yang sekarang kondisinya sedang lemah, apalagi jika RUU Cipta Kerja ini dipaksakan oleh semua Parpol,” tutur Busyro.
Senada, Jhony Simanjuntak dari PGI menyatakan organisasinya secara tegas telah menyatakan keberatan atas Omnibus Law, apalagi dibicarakan pada situasi pandemi Covid-19.
Jhony menjelaskan, PGI mempunyai mandat untuk mendorong, menjaga dan mengawasi negara agar negara tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan pancasila, yakni dengan menegakkan kebenaran, keadilan, dan kedamaian.
PGI juga sudah berulang kali mendapat kunjungan dari banyak kelompok yang menyampaikan sikap dan aspirasi mereka terhadap Omnibus Law dan PGI mendukung sikap mereka dan berada pada posisi menolak RUU Cipta Kerja,” jelas Jhony.
Jhony menjabarkan beberapa alasan mengapa PGI menolak Omnibus Law, pertama, PGI menilai bahwa secara prosedural, RUU ini tidak aspiratif karena tidak melibatkan publik dalam perencanannya; kedua, RUU ini merupakan kerja besar karna menyentuh kurang lebih 81 UU sehingga tidak mungkin diselesaikan dalam satu masa kerja; ketiga, RUU Cipta Kerja terlalu ramah terhadap investor, namun tidak mengedepankan kepentingan rakyat.
Dengan dasar-dasar pertimbangan itulah kami menyatakan sebaiknya RUU ini ditarik. RUU ini akan menimbulkan huru-hara jika disahkan,” ungkap Jhony.
Terkait ini, kami juga sudah menyelenggakan beberapa kali konferensi pers dan penyampaian secara lisan melalui tokoh-tokoh kami di DPR dan Pemerintah, tapi hingga kini, baik DPR maupun Presiden masih bersikukuh untuh mengesahkan Omnibus Law ini,” Ungkapnya.
Terakhir, ia juga mengajak seluruh elemen sosial, petani, dan kelompok lainnya bersatu menyatakan RUU ini telah mengingkari hak asasi publik. Hak asasi untuk berkembang, hak asasi untuk bertahan hidup, hak mengelola hidup dan memajukan hidup kita,” tutup Jhony.
Sampurno Sejati, dari Peradah Indonesia juga menyatakan hal yang sama.
Dengan berbagai pertimbangan, kami menolak RUU Cipta Kerja karna bertolak-belakang dengan hukum-hukum adat yang ada di Bali,” jelas Sampurno.
Banyak pasal-pasal yang ada di RUU ini bertentangan dengan adat, seperti upacara adat. Ketika upacara adat di Bali dilaksanakan, kami membutuhkan massa yang banyak dan waktu yang lama. Ketika cuti panjang dihapuskan, kami akan kesulitan untuk melaksanakan hukum adat. Di sisi lain, keseharian yang kami lakukan di Bali tidak mengenal waktu dan dilakukan secara mendadak,” sambung Sampurno.
Melalau diskusi ini, kami mewakili generasi muda, khususnya Hindu dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja,” tuturnya.
Kalau memang ingin membuat negara ini menjadi negara yang maju dengan aturan yang baru untuk mempermudah rakyat, mari duduk berasama dan susun bersama dengan Ormas dan Ormas keagamaan. Kita susun kembali UU yang ramah terhadap rakyat dan alam.” Tutup Sampurno.
SUMBER
Hal ini diungkapkan dalam “Diskusi Reforma Agraria” bertajuk “RUU Cipta Kerja dalam Kacamata Agama” yang diselenggarakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Selasa, 28 April 2020.
Diskusi yang berlangsung secara daring tersebut, menghadirkan M. Busyro Muqoddas (PP Muhammadiyah), M. Maksum Machfoedz (PBNU), Jhony Simanjuntak (PGI) dan Sampurno Sejati dari Peradah Indonesia sebagai pembicara.
Mengawali diskusi, Maksum Machfoedz mencoba melihat keberadaan dan substansi RUU ini di bidang agraria. Ia mengatakan RUU Cipta Kerja cenderung menghambat orang mencari makan, karna ruang hidup, tanah dan lahan pertanian tidak diberikan kepada petani sehingga mereka kesulitan mendapatkan pangan.
Hal ini bukan hanya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD), tapi juga bertentangan dengan Al-Qur’an,” Ujarnya.
Ia mengutip Ibnu Qayyim dengan mengatakan tidak ada pernah kedamaian di dunia dan akhirat kecuali berlandaskan keadilan.
“Jadi keadilan yang diajarkan Kyai Ahmad Dahlan, Ibnu Qayyim dan KH. Hasyim Anshari, itu luar biasa dan harus menjadi intisari bagaimana kita menelaah Omnibu Law ini,” tambahnya.
Maksum juga mengkritisi proses pembahasan RUU ini yang tidak partisipatif apalagi di bahas dalam situasi krisis akibat pandemi corona.
Makan saja tidak bisa, diajak diskusi RUU, semua pekerjaan diblokir, di-PHK. Proteksi berlebihan terhadap kapitalis dan investor asing dengan mengorbankan rakyat, masyarakat adat, petani, nelayan, fakir miskin dan masyarakat rentan lainnya dalam kerentanan ekonomi yang luar biasa. Ini sangat tidak layak dan tidak manusiawi, padahal mereka korban yang paling depan,” ucap Maksum.
“Kita diingatkan Wa Syaawirhum Fiil Amri, bermusyawarahlah dalam segala urusan. Apalagi ini urusan rakyat. Syuuraa Baynahum, bermusyawarah dengan orang-orang di antara mereka. Ini yang punya persoalan, yang punya hajat, tidak pernah diajak omong,” Maksum melanjutkan.
Ia juga mengingatkan bahwa negara ini tidak akan pernah memperoleh stabilitas ekonomi tanpa memperhatikan petani. Sementara saat ini, petani miskin karna kebijakan negara ditambah sekarang negara mau melanggengkan kemiskinan itu dengan proteksi berlebihan terhadap investor. Ini merupakan kedzaliman,” Maksum menegaskan.
Tidak jauh berbeda, Busyro Muqoddas mengatakan jika RUU Cipta Kerja konsisten dengan UUD 1945, maka isinya tidak akan berantakan seperti sekarang. Ini yang melahirkan penolakan dari berbagai kalangan, dari kampus, aktivis, NGO, termasuk KPA,” tutur Busyro.
Jika kami, dari masyarakat sipil ini semuanya dan ormas agama sudah hadir dan memberikan pandangan sebaiknya pemerintah menarik kembali naskah itu”, Busyro menegaskan.
Meskipun bukan negara agama, tapi agama di Indonesia merupakan roh, karna keputusan-keputusan yang diambil juga berdasarkan nilai-nilai agama,” katanya.
Busyro menjelaskan, Muhammadiyah sudah melaksanakan konferensi pers bersama wakil dari 26 NGO dan guru besar, menolak dengan tegas Omnibus Law. Konferensi pers tersebut dilanjutkan dengan diskusi terfokus dengan 40 Desa Fakultas Hukum se-Indonesia dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH).
Lebih lanjut, ia mengatakan tujuan agama secara universal bisa ditarik dari nilai-nilai intrinsik, nilai leluhur yang ada di dalam Surat Al-Maun. Fawailul lil musallin, ayat ini mengandung nilai simbolik, artinya ketika masyarakat mengalami proses pemiskinan, nasibnya seperti anak yatim piatu yang lemah. Kewajiban negara harus memberikan proteksi kepada rakyat yang sekarang kondisinya sedang lemah, apalagi jika RUU Cipta Kerja ini dipaksakan oleh semua Parpol,” tutur Busyro.
Senada, Jhony Simanjuntak dari PGI menyatakan organisasinya secara tegas telah menyatakan keberatan atas Omnibus Law, apalagi dibicarakan pada situasi pandemi Covid-19.
Jhony menjelaskan, PGI mempunyai mandat untuk mendorong, menjaga dan mengawasi negara agar negara tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan pancasila, yakni dengan menegakkan kebenaran, keadilan, dan kedamaian.
PGI juga sudah berulang kali mendapat kunjungan dari banyak kelompok yang menyampaikan sikap dan aspirasi mereka terhadap Omnibus Law dan PGI mendukung sikap mereka dan berada pada posisi menolak RUU Cipta Kerja,” jelas Jhony.
Jhony menjabarkan beberapa alasan mengapa PGI menolak Omnibus Law, pertama, PGI menilai bahwa secara prosedural, RUU ini tidak aspiratif karena tidak melibatkan publik dalam perencanannya; kedua, RUU ini merupakan kerja besar karna menyentuh kurang lebih 81 UU sehingga tidak mungkin diselesaikan dalam satu masa kerja; ketiga, RUU Cipta Kerja terlalu ramah terhadap investor, namun tidak mengedepankan kepentingan rakyat.
Dengan dasar-dasar pertimbangan itulah kami menyatakan sebaiknya RUU ini ditarik. RUU ini akan menimbulkan huru-hara jika disahkan,” ungkap Jhony.
Terkait ini, kami juga sudah menyelenggakan beberapa kali konferensi pers dan penyampaian secara lisan melalui tokoh-tokoh kami di DPR dan Pemerintah, tapi hingga kini, baik DPR maupun Presiden masih bersikukuh untuh mengesahkan Omnibus Law ini,” Ungkapnya.
Terakhir, ia juga mengajak seluruh elemen sosial, petani, dan kelompok lainnya bersatu menyatakan RUU ini telah mengingkari hak asasi publik. Hak asasi untuk berkembang, hak asasi untuk bertahan hidup, hak mengelola hidup dan memajukan hidup kita,” tutup Jhony.
Sampurno Sejati, dari Peradah Indonesia juga menyatakan hal yang sama.
Dengan berbagai pertimbangan, kami menolak RUU Cipta Kerja karna bertolak-belakang dengan hukum-hukum adat yang ada di Bali,” jelas Sampurno.
Banyak pasal-pasal yang ada di RUU ini bertentangan dengan adat, seperti upacara adat. Ketika upacara adat di Bali dilaksanakan, kami membutuhkan massa yang banyak dan waktu yang lama. Ketika cuti panjang dihapuskan, kami akan kesulitan untuk melaksanakan hukum adat. Di sisi lain, keseharian yang kami lakukan di Bali tidak mengenal waktu dan dilakukan secara mendadak,” sambung Sampurno.
Melalau diskusi ini, kami mewakili generasi muda, khususnya Hindu dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja,” tuturnya.
Kalau memang ingin membuat negara ini menjadi negara yang maju dengan aturan yang baru untuk mempermudah rakyat, mari duduk berasama dan susun bersama dengan Ormas dan Ormas keagamaan. Kita susun kembali UU yang ramah terhadap rakyat dan alam.” Tutup Sampurno.
SUMBER
MUKA GILE BRAY ....
MUHAMMADIYAH, NAHDLATUL ULAMA, PGI & PERHIMPUNAN PEMUDA HINDU INDONESIA BERSATU TOLAK OMNIBUS LAW!!!
BHINNEKA TUNGGAL IKA



APAKAH CEBONG & KADRUN SEKARANG BERSATU BRAY ???









satriagujis5 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
920
Kutip
14
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan