Kaskus

News

wismanganAvatar border
TS
wismangan
UU Cipta Kerja Batal? Ratusan Akademisi 30 Kampus Teken Pernyataan Menolak
Polemik pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU di saat pandemi oleh DPR dan pemerintah terus mendapat kecaman dari berbagai pihak.

Selain dari mayoritas buruh dan masyarakat, penolakan pengesahan UU tersebut juga datang dari para akademisi.

Lebih dari 100 akademisi dari lebih 30 perguruan tinggi yang ada di Indonesia menandatangani pernyataan, menolak UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR pada Senin (5/10/2020).

Pengesahan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law [OL] Cipta Kerja menurut mereka, terkesan dipaksakan dan di luar batas nalar yang wajar.

RUU yang baru disahkan ini tidak hanya berisikan pasal-pasal bermasalah, di mana nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila dilanggar bersamaan tetapi juga cacat dalam prosedur pembentukannya," ujar akademisi dari FH Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi saat dihubungi Tribun, Selasa (6/10/2020).

Aspirasi publik pun kata para akademisi, kian tak didengar, bahkan terus dilakukan pembatasan, seakan tidak lagi mau dan mampu mendengar apa yang menjadi dampak bagi hak-hak dasar warga.

• Data Disnaker Batam, Tiga Lokasi Jadi Pusat Buruh Tolak Omnibus Law, Hanya Boleh 40 Orang

Para akademisi, imbuh dia, melihat ada lima masalah mendasar dalam materi muatan pasal-pasal pada UU Cipta Kerja.

Satu, sentralistik rasa Orde Baru.

Para akademisi menemukan hampir 400-an pasal yang menarik kewenangan kepada Presiden melalui pembentukan peraturan presiden.

Dua, UU ini juga anti-lingkungan hidup.

Mereka menyebut terdapat pasal-pasal yang mengabaikan semangat perlindungan lingkungan hidup, terutama terhadap pelaksanaan pendekatan berbasis resiko serta semakin terbatasnya partisipasi masyarakat.

Tiga, soal liberalisasi Pertanian.

Dalam UU ini, tidak akan ada lagi perlindungan petani ataupun sumberdaya domestik, semakin terbukanya komoditi pertanian impor, serta hapusnya perlindungan lahan-lahan pertanian produktif.

Empat, kata dia, UU ini abai terhadap Hak Asasi Manusia.

Sebab Pasal-pasal tertentu mengedepankan prinsip semata-mata keuntungan bagi pebisnis, sehingga abai terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, terutama perlindungan dan pemenuhan hak pekerja, hak pekerja perempuan, hak warga dan lain lain.

• Tolak Omnibus Law Cipta Kerja, SPAI-FSPMI Karimun Akan Gelar Aksi, Ini Poin Kerugiannya

Lima, mengabaikan prosedur pembentukan UU.

Dia menjelaskan, metode ‘omnibus law’ tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Bagaimana mungkin sebuah UU dapat dibentuk tidak sesuai prosedur.

Terlebih lagi, semua proses pembentukan hukum ini dilakukan di masa pandemi, sehingga sangat membatasi upaya memberi aspirasi untuk mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia," jelasnya.

Mempertimbangkan permasalahan mendasar tersebut dan serta menyimak potensi dampak kerusakan yang akan ditimbulkannya secara sosial-ekonomi maka hampir dua ratus akademisi tegas menolak disahkannya RUU Cipta Kerja (Omnibus Law).

Hingga pukul 19.30 WIB kemarin, penolakan ini sudah ditandatangani oleh 136 akademisi.

Bisakah dibatalkan?

Rapat paripurna DPR RI pada Senin (5/10/2020) menghasilkan pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU).

Sebanyak tujuh fraksi telah menyetujui, seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Sedangkan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat menolak pengesahan UU Cipta Kerja.

• Diyakini Bakal Buka Banyak Lapangan Kerja, UU Omnibus Law Disebut Jadi Kabar Baik Bagi Pengangguran

Pengesahan tersebut menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, bahkan memicu aksi demonstrasi di berbagai kota.

Lantas, apakah omnibus law UU Cipta Kerja bisa dibatalkan?

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan tidak ada cara untuk membatalkan UU Cipta Kerja.

"Intinya ya kalau sudah diketok seperti ini, tidak ada lagi.

Tidak ada lagi sama sekali cara untuk membatalkan," kata Bivitri saat dihubungi, Senin (6/10/2020).

Namun, lanjut dia, kalau di atas kertas, terdapat cara dengan mengeluarkan Perppu (Peraturan Permerintah Pengganti Undang-Undang).

"Perppu juga bukan membatalkan, tapi membuat materi muatan UU baru dalam bentuk Perppu menggunakan kekuasaan Presiden untuk mengeluarkan Perppu, 'bila ada hal ihwal kegentingan memaksa'," ujar Bivitri.

Sehingga, Perppu juga bukan prosedur biasa, harus abnormal dengan alasan kegentingan memaksa.

"Jadi sebenarnya enggak ada mekanisme (pembatalan) itu," tuturnya.

Bivitri melanjutkan, dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menuliskan proses pembentukan Perppu mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.

Ia menjelaskan, Perppu merupakan wewenang khusus Presiden berdasarkan Pasal 22 Konstitusi dan dalam hal ihwal kegentingan memaksa, dan tidak termasuk "prosedur tambahan".

Sementara, dalam hal mengajukan permohonan uji materi atau judicial review terhadap UU ke Mahkamah Konstitusi (MK), ia mengatakan juga bukan bersifat "membatalkan".

"Kalau MK itu menguji inskonstitusionalitas, dan belum tentu juga hakim setuju," ujarnya.

Uji yang dilakukan di MK dapat berupa uji formil dan uji materil.

Dia menjelaskan uji formil terkait dengan cara pembahasan, sementara uji materil berhubungan dengan pasal-pasal di dalamnya apakah konstitusional atau tidak.

"Kalau ada yang inskonstitusional maka pasal-pasal yang dimintakan dibatalkan itu jadi inskonstutisional dan karenanya batal.

Tapi itu melalui judicial proses, kalau membatalkan ya enggak ada," tambah Bivitri.

Lebih lanjut, setelah UU telah selesai dibahas, tahapan selanjutnya adalah pengesahan dan pengundangan.

"Pengesahan itu cuma tanda tangan Presiden, dan pengundangan itu yang diberikan nomor," ujarnya.

Kendati begitu, UU yang tidak ditandatangani Presiden juga tetap akan diundangkan.

"Memang adalagi yang namanya Presiden tidak tanda tangan Undang-Undang. Tapi, itu tidak ada pengaruhnya terhadap batal atau tidaknya suatu Undang-Undang," kata Bivitri.

"UU karena sudah diketok, akan diundangkan anyway tapi tanpa tanda tangan presiden," lanjutnya.

Judicial review

Sebagai tambahan informasi, melansir indonesia.go.id, judicial review atau hak uji materi merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.

Dalam praktiknya, judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh MK.

Sementara itu, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

Mengenai judicial review ke MK, pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

Perorangan warga negara Indonesia

Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang
Badan hukum publik atau privat, atau

Lembaga negara

Bagaimana prosedur pengajuan perkara untuk judicial review MK?

Pengajuan permohonan judicial review ke MK diajukan langsung ke gedung MK di Jakarta atau bisa secara online melalui laman http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/.

Permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia baku, ditandatangani oleh pemohon/kuasanya dan dibuat dalam 12 rangkap.

Permohonan yang dibuat harus memuat jenis perkara yang dimaksud, disertai bukti pendukung dengan sistematika:

Identitas dan legal standing Posita

Posita petitum

Petitum

Prosedur pendaftarannya sebagai berikut:

a. Pemeriksaan kelengkapan permohonan panitera.

Belum lengkap, diberitahukan

7 (tujuh) hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi

b. Registrasi sesuai dengan perkara.

7 (tujuh) hari kerja sejak registrasi untuk perkara.

Setelah berkas permohonan Judicial Review masuk, maka dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu) akan ditetapkan jadwal sidang.

Para pihak berperkara kemudian diberitahu/dipanggil, dan jadwal sidang perkara tersebut diumumkan kepada masyarakat.

Selain itu, perlu juga diketahui tentang pemberian salinan permohonan saat memasukkan berkas permohonan ke MK.

1. Pengujian undang-undang

Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR
Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung

2. Sengketa kewenangan lembaga negara

Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon

3. Pembubaran Partai Politik

Salinan permohonan disampaikan kepada Parpol yang bersangkutan

4. Pendapat DPR

Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden

https://batam.tribunnews.com/amp/202...salah?page=all

Pilihan jawaban sesuai SOP

A. Ratusan akademisi tsb tidak baca

B. Ratusan akademisi tsb kadrun


akumidtorcAvatar border
amiruyoAvatar border
bingsunyataAvatar border
bingsunyata dan 4 lainnya memberi reputasi
1
1.1K
26
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan