

TS
robbola
cinta arga
CINTA ARGA
Judul : Cinta Arga
Nisa tengah membeli semua kebutuhan yang diperlukan untuk memasak. Tangan mungil putrinya tak henti ia genggam. Sesekali anak manis itu berceloteh dan bertanya banyak hal. Sampai akhirnya gadis kecil itu merengek saat melihat boneka barbie yang dijual di pasar.
"Mama, Lusi mau boneka itu," celoteh gadis berusia lima tahun sambil menunjuk pada deretan boneka yang berjajar dengan rapi.
"Sayang, Mama nggak bawa uang sekarang. Nanti aja ya belinya," bujuk Nisa, seorang janda muda yang bekerja sebagai buruh cuci gosok.
"Maunya sekarang, nggak mau nanti."
"Sayang, jangan keras kepala seperti itu. Mama nggak bawa uang, Nak," ucap Nisa dengan menatap wajah manis putrinya.
"Ya udah ... Lusi marah sama mama. Nanti nggak mau makan, kalau nggak beli boneka itu," ucapnya cemberut dengan mata yang hampir basah.
Nisa menarik napas, lalu mengambil sisa uang belanja dengan maksud meminjamnya dulu. Setelah di rumah atau gajian, baru ia akan membayarnya.
"Berapa harga boneka itu, Pak?" tanya Nisa pada akhirnya.
"Lima puluh ribu, Bu."
"Ya sudah, Pak. Saya beli satu ya."
Penjual itu tersenyum. Gadis kecil itu kegirangan seraya mengambil boneka yang disodorkan oleh penjual. Sementara Nisa membayar boneka yang diinginkan putrinya.
_____
"Bu, tadi uang sisa belanja saya pinjam dulu. Saya lupa bawa uang, anak saya merengek minta dibelikan boneka. Uangnya akan saya ganti saat gajian nanti," kata Nisa dengan sungkan.
Bu Hanipa menatap Nisa dan putrinya yang berdiri di dekatnya, hendak berpamitan pulang.
"Memangnya berapa banyak uang yang kamu pakai?"
"Hanya lima puluh ribu, Bu. Nanti saya ganti lagi," balas Nisa menatapnya.
Wanita itu tersenyum, lalu menyentuh rambut Lusi.
"Suka bonekanya?"
"Suka."
"Kalau memang suka, ibu kamu nggak perlu gantiin uang membeli boneka. Anggap saja, saya sedang memberi hadia padanya," ucap Hanipa menatap Nisa.
"Bu, saya akan menggantinya."
"Tidak perlu, anggap saja itu hadiah buat anak kamu."
"Tapi, Bu," ucap Nisa.
"Sudah, tidak perlu diganti. Ini sudah sore, pekerjaanmu susah beres, kan? Kalau begitu kalian boleh pulang. Tapi ingat, besok harus datang lagi." Pesan ibu Hanipa pada Nisa.
"Terima kasih, Bu. Kalau begitu saya pamit dulu. Assalamu'alaikum," pamit Nisa seraya berlalu dengan menuntun anaknya.
****
Hari sudah menyongsong pagi. Seperti biasa, sebelum pergi ke rumah Bu Hanipa. Nisa selalu menyiapkan kebutuhan Lusi, lalu mengajaknya ikut bekerja. Nisa tinggal bertiga di rumahnya yang sederhana. Dirinya, Lusi dan juga Ibunya. Ia bukannya tidak mau menitipkan Lusi pada ibunya. Namun, dirinya hanya kasihan jika ibunya direpotkan oleh Lusi. Maka dari itu ia membawa putrinya bekerja, toh sang pemilik rumah tidak masalah jika membawa Lusi.
"Nanti di sana jangan nakal," pesan Nisa.
"Iya, Mama. Nanti Lusi nggak akan nakal, aku akan main boneka aja," balas gadis kecil itu dengan manis.
"Anak pintar."
Lusi tersenyum, dan mereka berdua langsung pergi ke tempat Bu Hanipa.
_____
"Kalian sudah sampai," ucap Bu Hanipa.
Nisa hanya mengangguk diiringi dengan senyuman.
"Bu, apa yang harus saya kerjakan terlebih dahulu?" tanya Nisa.
"Tolong bersihkan kamar putraku dulu. Dia sudah pulang tadi malam, tapi sekarang lagi lari pagi. Jadi ... bersihkan dulu ya kamarnya," titah wanita tua itu.
"Baiklah, Bu. Lusi, main di taman depan, ya. Mama mau kerja dulu, jangan nakal," pesan Nisa menatap putrinya.
"Jangan lari-larian juga," timpal Bu Hanipa dengan tersenyum.
Gadis lima tahun itu hanya tersenyum, lalu mengangguk. Kemudian pergi untuk bermain.
*****
Nisa janda muda itu membersihkan kamar yang diperintahkan Bu Hanipa. Sesekali ia tersenyum memandang foto putra dari pemilik rumah. Wajahnya tentu saja tampan, senyumnya manis. Apalagi tatapan matanya begitu menyejukkan. Untuk yang pertama kalinya Nisa masuk ke kamar itu. Kamar yang bernuansa serba putih dilengkapi dengan hiasan indah dinding yang berjajar rapi.
_____
"Hay ... lagi main apa?" tanya seorang pria dewasa pada Lusi.
Arga, putra semata wayang Bu Hanipa. Pria yang kini berusia tiga puluh tahun itu tersenyum pada Lusi, sekaligus juga heran. Untuk pertama kali, ia mendapati anak kecil di rumahnya. Selama ini ia jarang pulang. Waktunya sering dihabiskan di luar kota atau di luar Negeri tentu saja urusan pekerjaan.
"Main boneka, Om."
"Hmm. Om baru melihat kamu, memangnya kamu lagi ngapain di rumah om?" tanya Arga.
"Ikut mama kerja, Om. Mama aku bekerja di rumah ini. Ini rumah om, ya?" balas Lusi, dengan bertanya.
"Iya, ini rumah om. Om baru pulang dari luar Negeri. Nama kamu siapa?"
"Lusi, Om," balasnya.
"Nama yang bagus. Kamu mau ice cream atau cokelat?"
"Mau, Om. Tapi kata mama jangan nerima apa pun dari orang lain, jadi terima kasih," ucap Lusi dengan fokus memainkan boneka.
"Begitu, ya. Bagaimana kalau kita izin sama mama Lusi dulu. Mama kamu ada di sini, kan?" tanya Arga.
Gadis itu mengangguk. Kemudian, Arga langsung menggendong Lusi. Membawanya masuk ke dalam untuk menikmati ice cream dan cokelat. Namun sebelum itu akan meminta Izin pada Nisa. Meski baru pertama kali bertemu dengan Lusi, tapi Arga lengsung menyukainya. Terlihat dari cara memperlakukannya, ya sejauh ini Arga memang dikenal sangat menyukai anak-anak. Namun saat Bu Hanipa memintanya untuk segera menikah, Arga menolak. Pria itu mengatakan belum menemukan wanita yang pas untuk menjadi pendamping hidupnya.
"Mama kamu di mana?" tanya Arga.
"Mungkin lagi membereskan kamarnya, Om," balas Lusi.
"Nak, udah pulang lari paginya," ucap Bu Hanipa.
"Sudah, Ma."
"Lho, kamu kenapa bisa gendong Lusi?" tanyanya heran.
"Nggak sengaja ketemu di taman rumah. Dia anaknya ART baru, Ma?" balas Arga dengan balik bertanya.
"Iya, anaknya yang suka cuci gosok di rumah mama. Kenpa cantik ya?"
"Cantik, manis dan menggemaskan. Arga suka sekali, Ma," ucapnya sambil mengecup kecil pipi Lusi.
"Makanya cepat nikah biar punya anak. Nggak tau apa kalau mama ini udah pengen punya cucu," ucap Bu Hanipa memandang putranya.
"Ma, mulai lagi. Ibunya Lusi di mana? Aku mau mengajak Lusi makan ice cream. Tapi katanya harus minta izin sama mamanya," jelas Arga.
"Lagi beres-beres," ucap Bu Hanipa.
"Ya udah kita langsung makan ice cream aja," ucap Arga.
"Iya, Om."
Arga mengajak Lusi ke dapur untuk memakan ice cream. Sedangkan sang ibu hanya tersenyum melihatnya. Saat tengah asyik memakan ice cream, Nisa datang terkejut melihat putrinya dengan seorang pria.
"Lusi kenapa makan ice cream," ujar Nisa.
"Mama."
Arga terkesiap, lalu memandang Nisa yang baru saja datang. Diperhatikannya wajah janda muda itu, seolah ada daya tarik tersendiri untuk menatapnya.
"Kenapa makan ice cream? Lusi kan lagi puasa," ucap Nisa.
"Lusi lupa, Mama."
"Anak sekecil ini sudah berpuasa, kalau nanti dia sakit bagaimana?" tanya Arga menatap Nisa.
"Saya ibunya, jadi saya tahu dan berhak mengajari anak saya untuk belajar berpuasa," tutur Nisa memandang serius Arga.
"Masih terlalu kecil untuk diajarkan berpuasa," ucap Arga serius.
"Ada apa? Kenapa kalian malah berdebat?" tanya Bu Hanipa.
"Bu, putriku tengah belajar berpuasa. Namun, putramu malah mengajaknya makan ice cream," keluh Nisa menatap sang majikan dengan sungkan.
"Ouh ... maafkan kesalahan putraku. Arga memang seperti itu, sangat menyukai anak-anak. Saat melihat putrimu dia langsung mengajaknya makan ice cream. Dia juga tidak tahu kalau putrimu berpuasa," papar Bu Hanipa panjang lebar.
"Tidak apa, Bu. Pekerjaan saya sudah beres, apa saya boleh pulang?"
"Tentu saja, tapi diantar oleh Arga," jawab Bu Hanipa.
"Bu."
"Antarkan Nisa pulang, ini kemauan ibu," ucap wanita paruh baya itu.
Pria itu menarik napas. Sesuai kemauan ibunya, dia mengantarkan mereka pulang. Sepanjang perjalanan, tak ada yang bicara terkecuali Lusi yang bertanya tentang apa saja yang dilihatnya.
****
Waktu berlalu cepat, Arga sudah satu minggu tinggal di rumah ibunya.Sesekali Agra curi-curi pandang ke arah Nisa saat wanita itu menjalankan tugasnya. Meski baru sebentar bertemu, entah kenapa dia selalu tersenyum saat melihat janda itu menjawab pertanyaan atau bermain dengan putrinya saat pekerjaan telah selesai.
"Suka sama Nisa?" tanya Ibunya mengagetkan Arga.
"Ya, dia cantik, baik."
"Kenapa nggak kamu lamar aja?" tanya Bu Hanipa.
"Emang boleh?"
"Tentu saja, sebenarnya semenjak dia bekerja di sini. Mama memang ingin menjodohkan kalian, tapi kamu sudah menyukainya," katanya dengan terkekeh.
"Doain Arga semoga dia menerima lamaran Arga, Ma," pinta Arga menatap mamanya.
"Pasti."
Arga menarik napas, lalu berjalan mendekat ke arah Nisa yang tengah menyapu halaman.
"Rajin sekali," ucap Arga mengagetkan Nisa.
"Iya, Mas."
"Bisa bicara sebentar? Hanya empat mata," ucap Arga dengan kaku.
"Tentu?"
Keduanya duduk, baik Arga atau pun Nisa sama-sama kaku.
"Saya menyukai kamu, dan ingin menikahi kamu," ucap Arga.
Nisa terbelalak. Jantungnya berdetak begitu cepat, ia seolah sedang bermimpi. Setelah sekian lama menjanda, baru kali ini ada yang melamarnya. Itu pun anak majikannya. Namun, jujur ... dilubuk hatinya ada getaran aneh setiap memandang pria itu.
"Saya janda, Mas. Nggak mungkin Mas Arga suka sama saya," tutur Nisa berusaha tenang.
"Karena kamu janda, jadi saya melamar kamu. Bukan karena kasihan, tapi karena sayang ingin menjadi pelindung kamu dan Lusi," paparnya serius. "Terutama jadi imam buat kamu," katanya lagi.
Nisa menarik napas, hingga menatap nanar ke depan.
"Mas serius dengan ucapan Mas barusan?" tanya Nisa memastikan.
"Iya, Mama juga sudah merestui hubungan ini. Ya ... jika kamu memang menerimanya," balasnya dengan terkekeh.
Nisa tediam, menatap pria yang di sampingnya.
"Kenapa menatapku begitu? Kamu suka sama saya?" tanya Arga penuh harap.
"Iya, Mas. Aku suka sama Mas."
"Jadi ... siap nikah sama saya?" tanyanya.
Nisa mengangguk, sebagai jawaban atas pertanyaan Arga. Keduanya tersenyum bahagia.
Seminggu setelah itu, keduanya melangsungkan pernikahan secara sederhana. Namun mengisahkan kebahagiaan yang tiada tara.
Tamat
Judul : Cinta Arga
Nisa tengah membeli semua kebutuhan yang diperlukan untuk memasak. Tangan mungil putrinya tak henti ia genggam. Sesekali anak manis itu berceloteh dan bertanya banyak hal. Sampai akhirnya gadis kecil itu merengek saat melihat boneka barbie yang dijual di pasar.
"Mama, Lusi mau boneka itu," celoteh gadis berusia lima tahun sambil menunjuk pada deretan boneka yang berjajar dengan rapi.
"Sayang, Mama nggak bawa uang sekarang. Nanti aja ya belinya," bujuk Nisa, seorang janda muda yang bekerja sebagai buruh cuci gosok.
"Maunya sekarang, nggak mau nanti."
"Sayang, jangan keras kepala seperti itu. Mama nggak bawa uang, Nak," ucap Nisa dengan menatap wajah manis putrinya.
"Ya udah ... Lusi marah sama mama. Nanti nggak mau makan, kalau nggak beli boneka itu," ucapnya cemberut dengan mata yang hampir basah.
Nisa menarik napas, lalu mengambil sisa uang belanja dengan maksud meminjamnya dulu. Setelah di rumah atau gajian, baru ia akan membayarnya.
"Berapa harga boneka itu, Pak?" tanya Nisa pada akhirnya.
"Lima puluh ribu, Bu."
"Ya sudah, Pak. Saya beli satu ya."
Penjual itu tersenyum. Gadis kecil itu kegirangan seraya mengambil boneka yang disodorkan oleh penjual. Sementara Nisa membayar boneka yang diinginkan putrinya.
_____
"Bu, tadi uang sisa belanja saya pinjam dulu. Saya lupa bawa uang, anak saya merengek minta dibelikan boneka. Uangnya akan saya ganti saat gajian nanti," kata Nisa dengan sungkan.
Bu Hanipa menatap Nisa dan putrinya yang berdiri di dekatnya, hendak berpamitan pulang.
"Memangnya berapa banyak uang yang kamu pakai?"
"Hanya lima puluh ribu, Bu. Nanti saya ganti lagi," balas Nisa menatapnya.
Wanita itu tersenyum, lalu menyentuh rambut Lusi.
"Suka bonekanya?"
"Suka."
"Kalau memang suka, ibu kamu nggak perlu gantiin uang membeli boneka. Anggap saja, saya sedang memberi hadia padanya," ucap Hanipa menatap Nisa.
"Bu, saya akan menggantinya."
"Tidak perlu, anggap saja itu hadiah buat anak kamu."
"Tapi, Bu," ucap Nisa.
"Sudah, tidak perlu diganti. Ini sudah sore, pekerjaanmu susah beres, kan? Kalau begitu kalian boleh pulang. Tapi ingat, besok harus datang lagi." Pesan ibu Hanipa pada Nisa.
"Terima kasih, Bu. Kalau begitu saya pamit dulu. Assalamu'alaikum," pamit Nisa seraya berlalu dengan menuntun anaknya.
****
Hari sudah menyongsong pagi. Seperti biasa, sebelum pergi ke rumah Bu Hanipa. Nisa selalu menyiapkan kebutuhan Lusi, lalu mengajaknya ikut bekerja. Nisa tinggal bertiga di rumahnya yang sederhana. Dirinya, Lusi dan juga Ibunya. Ia bukannya tidak mau menitipkan Lusi pada ibunya. Namun, dirinya hanya kasihan jika ibunya direpotkan oleh Lusi. Maka dari itu ia membawa putrinya bekerja, toh sang pemilik rumah tidak masalah jika membawa Lusi.
"Nanti di sana jangan nakal," pesan Nisa.
"Iya, Mama. Nanti Lusi nggak akan nakal, aku akan main boneka aja," balas gadis kecil itu dengan manis.
"Anak pintar."
Lusi tersenyum, dan mereka berdua langsung pergi ke tempat Bu Hanipa.
_____
"Kalian sudah sampai," ucap Bu Hanipa.
Nisa hanya mengangguk diiringi dengan senyuman.
"Bu, apa yang harus saya kerjakan terlebih dahulu?" tanya Nisa.
"Tolong bersihkan kamar putraku dulu. Dia sudah pulang tadi malam, tapi sekarang lagi lari pagi. Jadi ... bersihkan dulu ya kamarnya," titah wanita tua itu.
"Baiklah, Bu. Lusi, main di taman depan, ya. Mama mau kerja dulu, jangan nakal," pesan Nisa menatap putrinya.
"Jangan lari-larian juga," timpal Bu Hanipa dengan tersenyum.
Gadis lima tahun itu hanya tersenyum, lalu mengangguk. Kemudian pergi untuk bermain.
*****
Nisa janda muda itu membersihkan kamar yang diperintahkan Bu Hanipa. Sesekali ia tersenyum memandang foto putra dari pemilik rumah. Wajahnya tentu saja tampan, senyumnya manis. Apalagi tatapan matanya begitu menyejukkan. Untuk yang pertama kalinya Nisa masuk ke kamar itu. Kamar yang bernuansa serba putih dilengkapi dengan hiasan indah dinding yang berjajar rapi.
_____
"Hay ... lagi main apa?" tanya seorang pria dewasa pada Lusi.
Arga, putra semata wayang Bu Hanipa. Pria yang kini berusia tiga puluh tahun itu tersenyum pada Lusi, sekaligus juga heran. Untuk pertama kali, ia mendapati anak kecil di rumahnya. Selama ini ia jarang pulang. Waktunya sering dihabiskan di luar kota atau di luar Negeri tentu saja urusan pekerjaan.
"Main boneka, Om."
"Hmm. Om baru melihat kamu, memangnya kamu lagi ngapain di rumah om?" tanya Arga.
"Ikut mama kerja, Om. Mama aku bekerja di rumah ini. Ini rumah om, ya?" balas Lusi, dengan bertanya.
"Iya, ini rumah om. Om baru pulang dari luar Negeri. Nama kamu siapa?"
"Lusi, Om," balasnya.
"Nama yang bagus. Kamu mau ice cream atau cokelat?"
"Mau, Om. Tapi kata mama jangan nerima apa pun dari orang lain, jadi terima kasih," ucap Lusi dengan fokus memainkan boneka.
"Begitu, ya. Bagaimana kalau kita izin sama mama Lusi dulu. Mama kamu ada di sini, kan?" tanya Arga.
Gadis itu mengangguk. Kemudian, Arga langsung menggendong Lusi. Membawanya masuk ke dalam untuk menikmati ice cream dan cokelat. Namun sebelum itu akan meminta Izin pada Nisa. Meski baru pertama kali bertemu dengan Lusi, tapi Arga lengsung menyukainya. Terlihat dari cara memperlakukannya, ya sejauh ini Arga memang dikenal sangat menyukai anak-anak. Namun saat Bu Hanipa memintanya untuk segera menikah, Arga menolak. Pria itu mengatakan belum menemukan wanita yang pas untuk menjadi pendamping hidupnya.
"Mama kamu di mana?" tanya Arga.
"Mungkin lagi membereskan kamarnya, Om," balas Lusi.
"Nak, udah pulang lari paginya," ucap Bu Hanipa.
"Sudah, Ma."
"Lho, kamu kenapa bisa gendong Lusi?" tanyanya heran.
"Nggak sengaja ketemu di taman rumah. Dia anaknya ART baru, Ma?" balas Arga dengan balik bertanya.
"Iya, anaknya yang suka cuci gosok di rumah mama. Kenpa cantik ya?"
"Cantik, manis dan menggemaskan. Arga suka sekali, Ma," ucapnya sambil mengecup kecil pipi Lusi.
"Makanya cepat nikah biar punya anak. Nggak tau apa kalau mama ini udah pengen punya cucu," ucap Bu Hanipa memandang putranya.
"Ma, mulai lagi. Ibunya Lusi di mana? Aku mau mengajak Lusi makan ice cream. Tapi katanya harus minta izin sama mamanya," jelas Arga.
"Lagi beres-beres," ucap Bu Hanipa.
"Ya udah kita langsung makan ice cream aja," ucap Arga.
"Iya, Om."
Arga mengajak Lusi ke dapur untuk memakan ice cream. Sedangkan sang ibu hanya tersenyum melihatnya. Saat tengah asyik memakan ice cream, Nisa datang terkejut melihat putrinya dengan seorang pria.
"Lusi kenapa makan ice cream," ujar Nisa.
"Mama."
Arga terkesiap, lalu memandang Nisa yang baru saja datang. Diperhatikannya wajah janda muda itu, seolah ada daya tarik tersendiri untuk menatapnya.
"Kenapa makan ice cream? Lusi kan lagi puasa," ucap Nisa.
"Lusi lupa, Mama."
"Anak sekecil ini sudah berpuasa, kalau nanti dia sakit bagaimana?" tanya Arga menatap Nisa.
"Saya ibunya, jadi saya tahu dan berhak mengajari anak saya untuk belajar berpuasa," tutur Nisa memandang serius Arga.
"Masih terlalu kecil untuk diajarkan berpuasa," ucap Arga serius.
"Ada apa? Kenapa kalian malah berdebat?" tanya Bu Hanipa.
"Bu, putriku tengah belajar berpuasa. Namun, putramu malah mengajaknya makan ice cream," keluh Nisa menatap sang majikan dengan sungkan.
"Ouh ... maafkan kesalahan putraku. Arga memang seperti itu, sangat menyukai anak-anak. Saat melihat putrimu dia langsung mengajaknya makan ice cream. Dia juga tidak tahu kalau putrimu berpuasa," papar Bu Hanipa panjang lebar.
"Tidak apa, Bu. Pekerjaan saya sudah beres, apa saya boleh pulang?"
"Tentu saja, tapi diantar oleh Arga," jawab Bu Hanipa.
"Bu."
"Antarkan Nisa pulang, ini kemauan ibu," ucap wanita paruh baya itu.
Pria itu menarik napas. Sesuai kemauan ibunya, dia mengantarkan mereka pulang. Sepanjang perjalanan, tak ada yang bicara terkecuali Lusi yang bertanya tentang apa saja yang dilihatnya.
****
Waktu berlalu cepat, Arga sudah satu minggu tinggal di rumah ibunya.Sesekali Agra curi-curi pandang ke arah Nisa saat wanita itu menjalankan tugasnya. Meski baru sebentar bertemu, entah kenapa dia selalu tersenyum saat melihat janda itu menjawab pertanyaan atau bermain dengan putrinya saat pekerjaan telah selesai.
"Suka sama Nisa?" tanya Ibunya mengagetkan Arga.
"Ya, dia cantik, baik."
"Kenapa nggak kamu lamar aja?" tanya Bu Hanipa.
"Emang boleh?"
"Tentu saja, sebenarnya semenjak dia bekerja di sini. Mama memang ingin menjodohkan kalian, tapi kamu sudah menyukainya," katanya dengan terkekeh.
"Doain Arga semoga dia menerima lamaran Arga, Ma," pinta Arga menatap mamanya.
"Pasti."
Arga menarik napas, lalu berjalan mendekat ke arah Nisa yang tengah menyapu halaman.
"Rajin sekali," ucap Arga mengagetkan Nisa.
"Iya, Mas."
"Bisa bicara sebentar? Hanya empat mata," ucap Arga dengan kaku.
"Tentu?"
Keduanya duduk, baik Arga atau pun Nisa sama-sama kaku.
"Saya menyukai kamu, dan ingin menikahi kamu," ucap Arga.
Nisa terbelalak. Jantungnya berdetak begitu cepat, ia seolah sedang bermimpi. Setelah sekian lama menjanda, baru kali ini ada yang melamarnya. Itu pun anak majikannya. Namun, jujur ... dilubuk hatinya ada getaran aneh setiap memandang pria itu.
"Saya janda, Mas. Nggak mungkin Mas Arga suka sama saya," tutur Nisa berusaha tenang.
"Karena kamu janda, jadi saya melamar kamu. Bukan karena kasihan, tapi karena sayang ingin menjadi pelindung kamu dan Lusi," paparnya serius. "Terutama jadi imam buat kamu," katanya lagi.
Nisa menarik napas, hingga menatap nanar ke depan.
"Mas serius dengan ucapan Mas barusan?" tanya Nisa memastikan.
"Iya, Mama juga sudah merestui hubungan ini. Ya ... jika kamu memang menerimanya," balasnya dengan terkekeh.
Nisa tediam, menatap pria yang di sampingnya.
"Kenapa menatapku begitu? Kamu suka sama saya?" tanya Arga penuh harap.
"Iya, Mas. Aku suka sama Mas."
"Jadi ... siap nikah sama saya?" tanyanya.
Nisa mengangguk, sebagai jawaban atas pertanyaan Arga. Keduanya tersenyum bahagia.
Seminggu setelah itu, keduanya melangsungkan pernikahan secara sederhana. Namun mengisahkan kebahagiaan yang tiada tara.
Tamat






pulaukapok dan 14 lainnya memberi reputasi
15
1.3K
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan