Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

evolutionlAvatar border
TS
evolutionl
‘Man of Contradictions’: Mengulas Baik Buruk Kepemimpinan Jokowi

Ada batasan tentang seberapa banyak dan seberapa cepat suatu negara dapat berubah. Kendala-kendala tersebut tergambar dengan jelas dalam perjalanan kepemimpinan Jokowi.

Ada harapan besar untuk Presiden Joko Widodo, atau yang kerap disebut Jokowi. Ketika ia naik ke tampuk kekuasaan di panggung nasional pada 2014, para penggemar mengharapkan diakhirinya korupsi endemik di Indonesia dan dorongan baru untuk reformasi ekonomi yang sangat dibutuhkan. Hasilnya sejauh ini mengecewakan, seperti yang dijelaskan oleh Ben Bland, dalam Man of Contradictions, biografi politik berbahasa Inggris pertama tentang pemimpin petahana tersebut.

Bland melacak kebangkitan Jokowi, dari awal yang sederhana menjadi Gubernur Jakarta hingga presiden dua periode. Mantan jurnalis Financial Times itu (yang kini menjadi analis kebijakan di Lowy Institute) telah meliput Indonesia selama dua dekade dan mewawancarai Jokowi berkali-kali. Hasilnya adalah profil kritis dari pria yang menyerupai (alih-alih melawan) oligarki yang mengakar di negara ini.
Bland memberikan deskripsi yang tidak memihak dan memberatkan tentang kegagalan Jokowi sebagai penjaga demokrasi muda. Seorang pria yang dikagumi karena reputasinya yang bersih justru melemahkan badan antikorupsi.


Jokowi menggali nepotisme, tetapi berakhir dengan dinasti politiknya sendiri yang baru lahir. Dia memutuskan hubungan dengan sekutu dekatnya, seorang etnis Tionghoa dan beragama Kristen, untuk menenangkan pemilih Muslim garis keras di negara yang biasanya dianggap sebagai mercusuar pluralisme di dunia Muslim. Dia telah mengerahkan polisi untuk menargetkan para pengkritiknya dengan dasar yang semakin sistematis.

Kritik yang paling pedas mungkin adalah kurangnya fokus perhatian Jokowi pada pembuatan kebijakan. Dia memenangkan dukungan populer dengan mengejar perubahan bertahap, dan dengan menjadi politisi yang siap kerja.
Saat dia naik pangkat politik, dia membawa semua orang dari pendiri Facebook Mark Zuckerberg hingga Wali Kota London saat itu Boris Johnson untuk “blusukan” ke daerah kumuh dan sekitarnya. Masalahnya, kata Bland, adalah Jokowi gagal mengubah gaya kepemimpinannya untuk memenuhi tantangan pemerintah nasional yang lebih kompleks.
Buku Bland juga mencatat beberapa keberhasilan ekonomi Jokowi. Presiden itu telah meningkatkan anggaran infrastruktur, memotong subsidi bahan bakar, dan memangkas birokrasi yang kemudian meningkatkan peringkat negara ini dalam indeks Kemudahan Berbisnis global. Ia membawa Sri Mulyani Indrawati, seorang ekonom yang disegani, kembali dari Bank Dunia dan diangkat kembali menjadi menteri keuangan.
Namun secara keseluruhan, Bland menggambarkan seorang pria yang tidak memiliki visi besar untuk ekonomi dan yang membuat keputusan penting dalam sekejap. Contohnya adalah rencana mahal untuk membangun ibu kota negara baru di hutan Kalimantan Timur, 1.300 kilometer dari Jakarta.
Lalu ada naluri proteksionis dan pengutamaan badan usaha milik negara. Dia telah mendorong nasionalisasi proyek-proyek yang dikembangkan asing, termasuk tambang emas dan tembaga Grasberg, yang sebelumnya dikendalikan oleh Freeport McMoRan, serta blok gas yang sebelumnya dimiliki oleh perusahaan Total. Investor asing telah terhalangi oleh pendekatan ini, tetapi Bland berpendapat presiden memang meluangkan waktu untuk teman-teman internasional yang menerima keuntungan, domain di mana China berkuasa.
Apakah masalahnya bersifat pribadi atau kelembagaan? Keduanya, menurut Bland. Di Indonesia, lebih mudah berteman dengan lawan politik yang kuat daripada melawan mereka. Jokowi menunjuk musuh bebuyutan dan penantangnya dalam pemilihan presiden tahun lalu sebagai menteri pertahanan, misalnya.

Banyak orang Indonesia masih melihat liberalisme ekonomi sebagai alat penindasan kolonial. Memang, Bland mencatat kebanyakan partai politik tidak mudah terpecah belah oleh ideologi atau kebijakan, dan kebanyakan dari mereka menginginkan peran yang lebih besar bagi negara.

Kegagalan Jokowi untuk memenuhi ekspektasi sejauh ini (dan banyaknya kontradiksi yang diakui dalam judul buku ini) dapat membuat pembaca frustasi mencari narasi yang jelas dan sederhana. Namun Bland telah melakukannya dengan baik untuk tidak mencoba menyederhanakan bangsa yang kompleks yang terdiri dari ribuan pulau secara berlebihan, menurut ulasan Una Galani di Reuters.
Bland memberikan banyak anekdot, meskipun analisis kebijakan ekonomi yang lebih dalam akan memberikan lebih banyak bukti untuk menilai keberhasilan dan kegagalan presiden.
Pandemi COVID-19 telah mengungkap celah dalam kepemimpinan Jokowi, simpul Bland, membuatnya semakin sulit untuk fokus pada titik terang kepresidenannya. Krisis kesehatan telah menghapus kemajuan dalam pengurangan kemiskinan selama lebih dari satu dekade. Namun, Jokowi masih memiliki empat tahun lagi, masih ada banyak modal politik, dan waktu untuk menambahkan bab yang lebih bagus ke daftar pencapaiannya.




===============================================================
Sumber : Sumber

Setelah baca bukunya malah setuju emoticon-Wakaka
Tapi sayang pake bahasa yg alus, kebanyakan bilang ga fokus kesana kesini, padahal kan emg ga ngerti cuakkksssssssss
chandra398
gobanggobing
tien212700
tien212700 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
2.1K
69
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan